SOLOPOS.COM - Afrian, siswa kelas VII SMP 2 Prambanan Sleman membasuh wajahnya di Sendang Sebedug, Dusun Klumprit II, Desa Wukirharjo, untuk sekadar membuang rasa gerah seusai berjalan kaki jauh. (Sunartono/JIBI/Harian Jogja)

Kesederhanaan anak-anak sekolah di Perbukitan Prambanan, Sleman, patut dicontoh. Saat rekan-rekan seusianya di perkotaan berlomba menggunakan sepeda motor saat ke sekolah, mereka memilih berjalan kaki. Seperti apa keseharian mereka? Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Sunartono.

Siang itu jarum jam menunjukkan pukul 12.10 WIB. Puluhan anak sekolah di sekitar perbukitan Prambanan berjalan menaiki jalan terjal. Satu persatu mereka dengan gigih melewati perbukitan dengan tas gendong di punggungnya. Mereka yang tinggal di sisi tengah mengambil jalan pintas menuju Dusun Klumprit I dan II Wukirharjo, Prambanan.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Mereka yang berada di sisi utara dan selatan juga berjalan kaki menuju rumah masing-masing. Mereka rata-rata siswa SMP yang memilih sekolah dekat dari bukit tersebut. Naik sepeda motor hanya dirasakan oleh anak dari warga yang mampu secara ekonomi. Tapi jumlahnya sedikit, bahkan lebih banyak yang jalan kaki.

Afrian, siswa kelas VII SMP 2 Prambanan mengakui, jalan kaki menjadi kebiasaannya tiap hari, baik saat berangkat maupun pulang sekolah. Tapi siang itu Afrian agak beruntung. Seorang temannya sempat memboncengkannya. Meski demikian, dia masih harus berjalan kaki sekitar satu kilometer menuju rumahnya di Dusun Klumprit II.

Afrian menjadi salah satu dari puluhan bahkan ratusan siswa SD dan SMP di Perbukitan Prambanan yang harus berjalan kaki untuk ke sekolah. Namun kebiasaan jalan kaki sejak SD itu justru membuatnya mampu membuang jauh keraguan akan rasa capai, menggantinya dengan keyakinan dan semangat menuntut ilmu.

Siang itu, Afrian sempat berhenti di salah satu sumber mata air bernama Sendang Sebedug, untuk sekadar membagus wajah dan kaki, menghilangkan rasa gerah dan lelah. “Sudah biasa jalan kaki. Kalau dapat boncengan lumayan. Tapi seringnya jalan kaki. Saat hujan ya menunggu reda,” ujarnya saat ditemui Harian Jogja belum lama ini.

Tiadanya angkutan umum dan beratnya medan, menjadi alasan utama anak-anak ini harus jalan kaki berkilo-kilometer. Sepeda ontel yang jamak digunakan anak sekolah, tak mampu menaklukkan terjalnya Perbukitan Prambanan. Sedangkan sepeda motor masih menjadi barang mewah bagi mereka.

“Jalan kaki sudah biasa bagi anak-anak di sini. Tidak hanya dua kilometer. Ada yang harus jalan kaki sampai tiga kilometer menuju sekolahan jika rumah mereka di ujung timur bukit [berbatasan Klaten],” ungkap Samijan, Kepala Desa Wukirharjo, Prambanan Sleman.

Faktor kemiskinan menjadi alasan utama mereka tak bisa naik motor. Sementara, orangtua mereka juga tak sempat mengantar karena harus bekerja di sawah. Di Wukirharjo sendiri, dari 3.100 jumlah penduduk dengan 916 kepala keluarga, 45% di antaranya merupakan keluarga miskin.

Tapi kemiskinan memberi pelajaran berharga bagi anak-anak bukit Prambanan. Mereka tidak biasa melanggar aturan lalu lintas seperti anak-anak di perkotaan yang sudah biasa naik motor saat ke sekolah, meski secara aturan, mereka belum boleh mengendarai motor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya