SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Rabu malam lalu di acara talkhow Mata Hati Radio Star Jogja, penulis kedatangan tamu istimewa. Kalau ada sebutan Kyai Mbeling, barangkali dia bisa disebut Dalang Mbeling. Tidak lain maksud penulis adalah Sujiwo Tejo, budayawan yang kerap muncul di berbagai media. Akun Twitter-nya pun banyak di-follow publik karena pernyataannya yang seringkali kritis menggelitik problem sosial, politik dan kepemimpinan saat ini dengan kalimat-kalimat yang terkadang vulgar serta ‘nakal’ pastinya.

Malam itu, penulis sebagai Host Mata Hati mengangkat judul Membaca Wayang dari Mata Hati Sang Dalang. Hadir juga Pak Solihin dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) dan kakak angkatan penulis, Mukhtasar, yang saat ini menjabat Dekan Fakultas Filsafat UGM.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Maklum, karena Senawangi dan Fakultas Filsafat UGM dengan dukungan Yayasan Kertagama siang sebelumnya bersama menggelar seminar tentang Nilai-nilai Wayang beserta aplikasinya bagi Bangsa dan Kemanusiaan. Ki Dalang Sujiwo Tejo sendiri mengakhiri seminar monumental itu dengan pementasan wayang kulit bertajuk Tumuruning Bathari Sri.

Seperti biasa, Mas Tejo sukses mendalang lewat suara bariton-nya yang menggetar-getarkan audiens serta tentu kadang genit menggoda (sinden). Kecakapan teknisnya memainkan wayang juga memukau penonton yang mayoritas hadir dari kalangan akademisi.

Belum lagi kesanggupannya menerjemahkan dan menafsirkan kisah wayang dengan bahasa yang mudah dicerna (gaul) serta inspirasi-inspirasinya yang cerdas kreatif imajinatif filosofis dalam mengaktualisasikan nilai-nilai wayang dengan kondisi kekinian.

Penulis kira, di sini letak kelebihan Sujiwo Tejo sebagai seorang Dalang yang intelektual sekaligus menghayati klasiknya tradisi. Pantas pula bila Solihin sebagai senior Senawangi mengatakan Sujiwo Tejo punya ‘maqom’ khusus di dunia pedalangan Indonesia.

Inspirasi penting lainnya yang penulis tangkap dari Sujiwo Tejo adalah wayang mengajarkan tentang kebenaran sebagai sesuatu yang bukan hitam putih. Life is a grey area. Kebenaran juga dapat dimiliki oleh siapa pun.

Bahkan juga dimiliki oleh seorang Rahwana. Katanya, almarhum Ki Narto Sabdo adalah contoh Dalang yang mampu membuat penonton memahami bahwa kebenaran itu bisa dimiliki oleh Raden Arjuna, atau pun Adipati Karna. Padahal mereka adalah saling bermusuhan dalam perang Baratayuda.

Filosofi dalam wayang tidak sama dengan filsafat Barat pada umumnya. Bagi Barat, kebenaran adalah segalanya, namun bagi dunia wayang (Timur), kebenaran itu masih di bawah kebaikan. Mirip Plato, wayang mengenal goodness sebagai kebenaran tertinggi. Bukan logika Aristotelian yang menyatakan bahwa A=A dan A=Non B.

Namun dalam logika wayang bisa terjadi bahwa A=B. Menurut dunia pewayangan, kebaikan dan kebenaran ada dimana-mana tanpa dibatasi ketokohan. Maka, dengan berani pula Sujiwo Tejo menyatakan bahwa dalam pagelarannya, Semar itu justru momong membela Kurawa, bukan Pandawa. Sesaat pandangan ini mbubrah tata, tapi mari lewat hati kita meng-iqra’-nya.

Melebihi Segala

Sebuah hadits qudsi meng-info-kan bahwa Allah SWT berfirman :Inna rahmati wasi’at kulla syai’. Sejatinya rahmat-KU meliputi segala sesuatu. Saat muslimin meyakini firman Tuhan tadi, tentu saja pandangannya atas mahluk juga diliputi dengan mata kasih sayang.

Yandhuru ummah bi aii rahmah. Sebab tiada yang dilihat oleh seorang muslim yang beriman dan ber-ihsan atas diri mahluk kecuali ada eksistensi Allah pada seluruh ciptaan-Nya.

Tak pelak dengan mudahnya Rasulullah SAW sebagai mahluk terbaik mendoakan orang-orang kafir yang telah memusuhi, menyakiti, menghina, melukai dan mendholiminya. Kanjeng Nabi SAW telah haqqul yaqin melihat mahluk hanya sekadar ciptaan dan wayang bagi Sang Maha Dalang.

Muhammad telah melihat Allah di balik kehadiran setiap mahluk. Kullu man ‘alayha faan, wayabqho wajhi robbika dzuljalaali wal ikroom (segala sesuatu itu adalah fana, dan abadilah wajah Tuhanmu yang Maha Perkasa dan Mulia).

Jika demikian, maka tak ada dendam kesumat dalam diri setiap hamba yang menyadari bahwa dirinya hanya sekadar wayang-nya Tuhan Sang Maha Dalang (sutradara). Hukum ditegakkan karena semangat cinta dan kasih sayang untuk penyempurnaan hidup sang terhukum dan yang menghukum. Bukan nafsu pembalasan yang tak berujung.

Tuhan Yang Maha Samar (Semar) ada dalam setiap anasir alam hingga menahan hati para ahli ma’rifah untuk menghakimi sesama mahluk. Tuhan itu Maha Momong alam semesta, sehingga Ia ada baik di kalangan Pandawa atau Kurawa. Ada pada Rama atau pun Rahwana.

Nah… Jika sekarang ada yang mengambil kesimpulan dan berkata,”Baiklah kalau begitu aku akan menjadi Kurawa atau Rahwana dan akan ku keruk dunia. Toh Tuhan ada pada diriku dan selalu memelihara aku.” Percayalah bahwa itu bukan Tuhan Yang Bicara. Selain itu ingatlah bahwa Duryudana sang raja Hastina mati dikepruk Gada Rujak Polo oleh Bima sang panenggak Pandawa. Kasihan kan?  Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Wibie Maharddika

Pengasuh Komunitas Ashabul Cafe

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya