SOLOPOS.COM - Potongan foto yang menghebohkan karena diambil di kantor polisi sesaat setelah Novi Amalia ditangkap. (Dokumentasi)

Potongan foto yang menghebohkan karena diambil di kantor polisi sesaat setelah Novi Amalia ditangkap. (Dokumentasi)

SOLO–Novi Amilia, model yang mobilnya menabrak tujuh orang di Jakarta, beberapa waktu lalu, sempat menimbulkan kehebohan. Sang model ditemukan menyetir dalam kondisi hanya mengenakan pakaian dalam.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dalam kesimpulan sementara pihak kepolisian, si model baru saja mengonsumsi narkoba. Diduga si model mengalami depresi dan mengalami halusinasi.

Novi tidak sendiri. Betapa banyak orang mengalami depresi dari tingkat rendah sampai parah. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu mengeluarkan rilis lebih dari 350 juta warga dunia mengalami gangguan mental.

Sayangnya, masyarakat belum memahami gangguan mental ini. Yang terjadi adalah stigmatisasi terhadap penderita gangguan mental. Hal ini malah menjauhkan penderita dari penanganan atau pengobatan yang ideal.

Kata depresi sering kita dengar namun belum semua orang tahu apa itu depresi. Menurut dr Setyowati Raharjo SpKJ MKes, psikiater di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Solo,  depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang.

Ketika seseorang mengalami depresi, lanjutnya, akan muncul perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan yang disertai perasaan sedih, kehilangan minat dan kegembiraan.

“Bahkan seseorang yang terkena depresi terkadang muncul ide-ide untuk bunuh diri,” terang Setyowati kepada Espos, di RSJD Solo, Senin (15/10).

Tidak Hanya Lansia

Mengutip makalah dr Budi Muljanto SpKJ dari RSJD Solo dalam seminar memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di RSJD Solo, Sabtu (6/10), depresi sering dikaitkan dengan orang lanjut usia (lansia). Hal ini, sambung Budi, tak lepas dari menurunnya berbagai fungsi organ tubuhnya. Depresi pada lansia lebih pada perasaan sedih dan tidak nyaman berupa keluhan fisik, sulit tidur dan gangguan selera makan.

“Kemudian merasa apatis dan sulit konsentrasi, merasa tergantung pada orang lain, terkadang mengisolasi diri dan diliputi rasa cemas serta bingung,” papar Budi dalam makalahnya yang didapat Espos dari RSJD.

Setyowati melanjutkan karena sudah menjadi masalah global, depresi tidak hanya melanda orang lansia. Anak muda juga bisa mengalaminya. “Sebenarnya ada tiga faktor penyebab depresi yakni biologi, psikologi dan sosial,” terangnya.

Generasi muda yang mengalami tekanan psikologi dan sosial juga bisa terkena depresi. Misalnya pelajar yang merasa tertekan dalam sekolah bisa depresi. Lalu, persaingan di dunia kerja juga bisa jadi penyebab munculnya depresi. Bahkan, bunuh diri yang beritanya sering menghiasi media massa, kadang dipicu oleh kemiskinan hingga sakit yang tak kunjung sembuh. “Pengaruh lingkungan sosial yang begitu keras, membuat seseorang mudah terkena depresi,” papar Setyowati.

Lalu, bagaimana menghadapi masalah yang memicu depresi tersebut? Tak usah takut, kita bisa menghindari depresi kok. Menurut Muchsin Doewes, guru besar Fakultas Kedokteran UNS, olahraga bisa jadi menjadi salah satu upaya pencegahan depresi. “Karena dengan berolahraga akan menjaga kebugaran jasmani sehingga kemampuan untuk melaksanakan tugas sehari-hari tanpa mengalami rasa kepayahan berlebihan,” terang Muchsin sebagaimana dikutip Espos dari makalah seminar yang sama.

Dengan kebugaran yang terjaga, tambahnya, orang lansia bisa menjadi TOPP. Apa itu? TOPP adalah tua, optimis, prima dan produktif.

Selain berolahraga, imbuh Setyowati, pencegahan depresi adalah dengan menciptakan kondisi lingkungan yang ramah. “Terutama kondisi di rumah, dibuat senyaman mungkin. Demikian pula di sekolah, suasana belajar-mengajar juga diharapkan tidak ada tekanan yang bisa memicu munculnya depresi pada siswa,” terangnya.

Kalaupun ada anggota keluarga yang mengalami depresi ringan maka bisa dilakukan psikoterapi yang terprogram dengan melakukan beberapa kali pertemuan bersama psikiater.

“Jangan malu ke rumah sakit jiwa. Memang ada stigma masyarakat kalau periksa ke RS Jiwa itu gila atau edan, pola pikir seperti ini yang harus diubah di masyarakat,”  ujarnya.

Mengenai stigma ini, WHO dalam rilisnya, Selasa (9/10), menyatakan memerangi stigma terhadap penderita gangguan mental.  “Inilah sebabnya mengapa WHO mendukung negara-negara dalam memerangi stigma sebagai kegiatan kunci untuk meningkatkan akses terhadap pengobatan,” ujar Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Zat WHO, Shekhar Saxena, dalam  laman WHO.

 

 

Faktor Penyebab Depresi

Apa sebenarnya faktor penyebab seseorang bisa terkena depresi. Menurut Kepala Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Solo, dr Setyowati Raharjo SpKJ MKes, ada tiga faktor.



Faktor biologi. Misalnya pengaruh obat-obatan yang diminum dalam jangka waktu lama. Bisa juga riwayat dari keluarganya yang mengalami gangguan jiwa.

Kemudian faktor psikologi dan sosial. Orang yang mengalami persaingan hidup seperti sekarang ini menjalani hidup penuh ketegangan. Kondisi ini sering mendului terjadinya gangguan mood atau depresi.

“Orang yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis, gejala fisik dan sosial yang khas. Tinggi rendahnya gejala bervariasi pada individu dan juga bervariasi dari waktu ke waktu,” ujar Setyowati kepada Espos, di RSJD Solo, Senin (15/10).

Seseorang yang mengalami depresi, sambungnya, gejalanya terus-menerus merasa sedih, cemas atau suasana hati yang kosong. Lalu muncul perasaan putus asa dan pesimistis, merasa bersalah, tidak berdaya dan merasa tidak berharga.

Kemudian kehilangan minat atau kesenangan dalam hobi dan kegiatan yang pernah dinikmatinya. Yang bersangkutan, imbuhnya, juga mengalami penurunan energi serta mudah kelelahan, sulit berkonsentrasi, sulit mengingat sesuatu dan sulit membuat keputusan.

Tidak hanya itu, lanjut Setyowati, penderita akan mengalami gejala insomnia, pagi hari terbangun atau tidur berlebihan, nafsu makan berkurang atau justru bertambah secara berlebihan. Sehingga, terjadi penurunan berat badan atau malah bertambah berat badan secara drastis.

“Yang membahayakan, seseorang yang mengalami depresi sering gelisah dan mudah tersinggung sehingga kemudian selalu berpikir kematian atau bunuh diri hingga percobaan bunuh diri,” paparnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya