SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Edgar Morin dalam forum Unesco (2006) mengingatkan para guru bahwa kelas harus menjadi sebuah tempat untuk para siswa belajar tentang aturan-aturan debat atau diskusi yang sportif. Sekolah menjadi laboratorium kehidupan demokratis secara praktis dan konkret.
Di sana mesti ditumbuhkan kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan dan prosedur untuk memahami pikiran orang lain, mendengar dan menghormati suara minoritas dan suara-suara yang berbeda. Belajar memahami sesama haruslah menjadi anasir utama dalam belajar demokrasi. Menghargai pihak lain adalah kata kunci demokrasi.
Kelas dalam pengertian Morin bukanlah sekadar ruangan yang dibatasi dinding-dinding.  Kelas pertama-tama dimaknai sebagai kumpulan siswa, orang-orang muda yang bersama-sama hadir untuk  mengembangkan diri. Bagi guru mengelola kelas pun berarti mengelola banyak kemauan, bukan mengatur ruangan.
Karena itu pula, anak-anak kita belajar berkompetisi, berbenturan, salah mengerti, bahkan bersitegang dengan sebayanya di kelas, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang kuat.
Agar mampu menghargai pihak lain, anak-anak kita butuh kesempatan untuk membiasakannya. Tempo hari saya bersama para siswa dalam satu kelas berakhir pekan di Tempat Pelelangan Ikan, Pantai Depok, Bantul. Sebagai kelas, mereka menyelenggarakan acara kebersamaan selama sehari, mulai dari membeli ikan untuk makan siang, memesan tempat, bermain bola di pinggir pantai, sampai dengan saling kritik mengenai kelasnya.
”Kalau nanti ada kritikan dan menyebut nama-nama tertentu, saya mohon tidak perlu tersinggung. Kita berniat baik untuk suasana kelas yang enak bagi semuanya!”, begitulah permintaan salah seorang di antara mereka untuk memulai pembahasan suasana kelas. Pembicaraan pun berkait dengan hal-hal sensitif, misalnya, saya harap A juga mau membayar fotokopi bahan pelajaran yang sudah dikopikan oleh bendahara; saya tidak suka B ngantuk di kelas lalu membuat suasana kelas menjadi lesu apalagi kalau sampai dimarahi guru, semua menjadi tidak enak;  C  selama ini hanya bergaul dengan kelompok D dan E, berusahalah membaur dengan yang lain juga; E sebaiknya tidak emosional atau berlagak berani kalau menanggapi pelajaran guru F.
Sebagai guru yang mendampingi mereka, dalam rangka menengahi persoalan, saya berusaha memperhalus ungkapan-ungkapan yang terasa tajam bisa melukai hati pihak lain. Tentu saja nama-nama yang disebut secara eksplisit dipersilakan atau malahan meminta sendiri kesempatan untuk menjelaskan balik.
Yang tidak membayar fotokopian memang tidak punya uang, yang ngantukan minta maaf, yang eksklusif bergaul dengan kelompok tertentu memang karena kesamaan interes. Yang mengkritik menjadi paham persoalan pihak lain, yang dikritik pun menjadi tahu bahwa yang dilakukannya selama ini menjadi persoalan bagi teman sekelas.
Demokrasi tidak sama dengan suara terbanyak, atau yang bersuara keras harus dituruti kemauannya. Jika demokrasi dimaknai sebagai penghargaan kepada pihak lain, terutama yang kecil dan lemah, yang berulang-ulang dikenalkan kepada anak-anak kita adalah kemauan untuk mendengarkan. Pada saat berani mengkritiki teman sekelas, di sana juga termuat kerelaan untuk mendengarkan yang dikritik.
Tidak mudah bagi anak-anak kita berdamai dengan diri sendiri ketika ada kritikan pedas ditujukan padanya. Rasa dendam bisa menutupi maksud baik yang ingin disampaikan oleh orang lain. Maksud baik pun bisa menutupi niat menindas atau sekadar meneror pihak yang lemah.
Ketika pembicaraan dalam forum terkait dengan kinerja guru di depan kelas, sebagian siswa menyebut beberapa guru sebagai guru yang tidak enak, keras, terlalu disiplin, memberikan banyak tugas. Sebagian yang lain menyebut guru-guru yang sabar, tidak pernah marah, tugas-tugas yang diberikan tidak berlebihan, karenanya para murid seenaknya, suka jail, atau ngerjain guru.
Dalam situasi pembicaraan seperti itulah, peran guru sebagai penjernih persoalan dan penyimpul, saya harus sampaikan pertanyaan balik ”Guru tegas dan disiplin disebut tidak enak, guru yang sabar dan enak mengajar kok dipermainkan, Anda sebenarnya ingin guru seperti apa? Jangan-jangan ke kelas memang bukan mau belajar, tapi mau main-main?”
Berdemokrasi tidak perlu dikait-kaitkan dengan urusan perpolitikan pemilihan umum, dalam hidup bersama sehari-hari harus demokratis. Anak-anak kita butuh diajari juga.

St. Kartono (Guru SMA De Britto, Jogja)

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya