SOLOPOS.COM - Ilustrasi suap jaksa di Lampung. (Suara.com)

Solopos.com, LAMPUNG — Tawar menawar harga keringanan hukuman terpidana kasus illegal logging di Lampung menggunakan kode belah semangka. Transaksi tersebut diungkap istri terpidana yang kecewa karena janji tidak terpenuhi setelah transaksi.

Seorang istri di Lampung, Desi, diminta membayar sejumlah uang kalau ingin suami mendapatkan hukuman ringan dalam sidang pidana. Uang raib tapi vonis tak memuaskan. Padahal kedua pihak sudah tawar-menawar harga beristilah belah semangka.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Desi dan anaknya tengah menyantap mi saat mobil putih memasuki area parkir pertengahan Agustus 2020 malam. Dari mobil turun lelaki berperawakan sedang berjalan ke kedai Mi Aceh di Kemiling, Bandar Lampung. Desi yang datang lebih dulu sengaja memilih tempat duduk di bagian depan kedai agar bisa melihat ke halaman parkir.

Baca Juga : Jurnalis Suara.com Diintimidasi Jaksa Kejakti Lampung, Begini Ceritanya

Dia mengingat lelaki yang belum pernah dijumpai itu mengatakan akan datang memakai mobil putih. Desi langsung mendekatinya. “Pak Anton ya?” tanya Desi.

“Ya,” jawab lelaki itu. Desi segera mengajak Anton untuk duduk bersama dia dan anaknya. Lelaki yang memakai kaus putih berkerah dan celana panjang kain itu memesan kopi dan telur setengah matang. “Gimana, gimana?” kata Anton, memulai pembicaraan.

“Tolong pak dibantu supaya vonis suami saya ringan. Kasihan pak, anak saya masih kecil-kecil. Masih sekolah semua,” Desi memohon sembari menyatakan ada uang yang disiapkan bila lelaki itu membantu.

“Gak bisa bu. Uang suami ibu itu enggak laku buat saya. Lebih baik ibu berdoa saja supaya suami ibu divonis ringan dan segera bertemu keluarga,” Anton menyanggah.

Baca Juga : Polisi Cabuli Istri Tersangka, Kapolsek Kutalimbaru dan Kanit Dicopot

Desi menangis mendengar jawaban Anton. “Ya pak, tolong banget lah pak. Tolong bantu. Sebisa mungkin diringanin.”

Anton berkukuh tidak mau membantu. Desi dan anaknya akhirnya memilih pulang. Sementara Anton masih menikmati kopi dan telur setengah matangnya. Pikiran Desi Sefrilla buncah dalam perjalanan pulang. Jauh-jauh menempuh perjalanan 40 kilometer dari rumah di Kabupaten Pringsewu ke Bandar Lampung, tapi orang yang ditemui enggan menolong.

Awal Kasus

Semua berawal dari lima bulan. Cecep Fatoni, suami Desi, menerima tawaran penebangan kayu Sonokeling di Dusun Umbul Solo, Kecamatan Way Lima, Pesawaran. Cecep memiliki usaha serkel atau gesek kayu. Selain itu, dia juga membuka usaha penyewaan alat berat.

Setelah ditebang, kayu-kayu itu diangkut memakai dua truk milik Cecep untuk dibawa ke rumahnya. Tapi dalam perjalanan, truk-truk tersebut dicegat polisi kehutanan. Karena tidak ada dokumen sah, pembawanya ditangkap serta barang muatan disita. Pembawa kayu itu mengakui aktivitas mereka perintah Cecep.

Baca Juga : Gendeng! Seorang Kepala Dinas di Buol Otaki Kecurangan Seleksi ASN

4 Maret 2020, Cecep ditangkap Polda Lampung di sebuah penginapan di Bandar Lampung. Dikutip dari Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, penebangan kayu Sonokeling itu erat terkait kasus pembalakan liar. Kasus ini meluncur ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Kejaksaan menunjuk Anton Nur Ali sebagai jaksa penuntut umum (JPU).

PN Tanjungkarang menetapkan perkara itu akan diadili Surono sebagai hakim ketua bersama dua anggotanya, yakni Zuhairi dan Siti Insirah. Desi tak ingin suaminya dihukum berat maka berinisiatif mencari bantuan. Ibu lima anak itu menghubungi jaksa Anton Nur Ali.

Desi mendapatkan nomor jaksa Anton setelah mengontak sejumlah orang. Nomor itu sama dengan nomor yang dihubungi Suara.com saat meminta konfirmasi, Jumat (22/10/2021). Desi mengirimkan pesan singkat via WhatsApp ke nomor tersebut pada 24 Agustus 2020. “Assalamualaikum pak, ini saya istri Cecep, bisa ketemu enggak Pak?”

Baca Juga : 3 Orang Ditangkap Di Sumedang, Jual Beli Sabu Lewat Medsos

Namun, pesan singkat itu tidak berbalas. Dia lantas memutuskan mencoba menelepon. “Saya coba telepon, diangkat. Terus dia minta ketemu di Mi Aceh Kemiling. Sekitar dua hari kemudian, saya dan anak pergi menemuinya, selepas isya,” cerita Desi kepada Suara.com, Sabtu (23/10/2021).

Desi duduk di ruang tunggu kantor Kejaksaan Tinggi Lampung, Jalan Jaksa Agung R Soeprapto No 226, Talang, Kecamatan Telukbetung Selatan, Kota Bandar Lampung, beberapa hari setelah persamuhan di kedai. Desi datang dengan tiga anak dan satu keponakan. Staf Kejakti menanyai keperluan Desi. Dia menjawab hendak bertemu jaksa Anton.

Staf itu meminta kartu identitas, lalu menyuruh Desi meletakkan barang bawaan di loker. Tak lama, Desi diminta naik ke lantai dua menemui Anton. Dia mengajak satu anaknya. Desi bergegas masuk ke ruang kerja Anton. Desi kembali memohon bantuan. “Suami ibu ini ancamannya 15 tahun. Kayaknya berat. Kalau mau ngeringanin, bukan saya wewenangnya,” kata Anton.

Pertemuan itu tidak membuahkan hasil. Beberapa hari kemudian, Desi kembali menemui Anton di ruang kerjanya. Lagi-lagi, Desi memohon bantuan. “Saya sudah menyiapkan Rp60 juta pak.”

Baca Juga : Sukmawati Soekarnoputri Pindah Agama, Buya Yahya: Murtad Berkhianat

Istilah Belah Semangka

Anton bergeming. Anton mengatakan uang sebesar itu masih belum mencukupi untuk mengurus keringanan vonis Cecep. Sebab, Anton mengakui harus memberikan uang ke sejumlah pihak seperti atasannya dan hakim. “Harus ‘belah semangka’, begitu dia mengistilahkan,” kata Desi.

Desi lantas bertanya berapa uang yang harus disiapkan agar hukuman suaminya ringan. “Dia bilang seratus [Rp100 juta],” ungkap Desi.

Desi tidak langsung menyanggupi, tapi meminta waktu mencari uang sesuai permintaan. Ketika itu, sidang kasus suami Desi masih tahap pemeriksaan saksi-saksi. Butuh waktu 10 hari bagi Desi mengumpulkan Rp100 juta. Dia menguras tabungan hingga menggadaikan sawah. Begitu uang terkumpul, Desi kembali menemui Anton.

Dia sengaja tak membawa masuk Rp100 juta tunai ketika menemui Anton di ruang kerja. Uang itu ia letakkan di dalam mobil. Namun, sang jaksa marah ketika itu. Dia tak mau menerima uang itu karena dirinya lama menunggu tapi Desi tak memberi kabar. “Gak bisa, gak bisa, udah telat. Apa adanya aja,” kata Anton.

Baca Juga : Minta Tarif PCR Rp300.000, Pemerintah Ogah Beri Subsidi

Pulanglah Desi dengan tangan hampa. Kemudian, ponsel Desi berdering, Jumat (4/9/2020). Pada layar utama tertera nomor ponsel yang belum tersimpan di phonebook. Desi tak sempat menerima panggilan tersebut. Barulah ketika Desi memeriksa ponsel, dia mengetahui ada pesan singkat via layanan SMS. Nomor itu pula yang sebelumnya menelepon.

“Ass bisa saya hubungin ibu,” isi pesan singkat dari nomor tak dikenal itu.

“Waalaikum salam maaf ini siapa ya?” balas Desi.

“Saya anton, saya WA kok tidak dibales.” Desi mengakui kuotanya habis sehingga tidak bisa membuka aplikasi WhatsApp. Nomor tak dikenal yang mengaku Anton itu lalu meminta Desi membuka WA yang ia kirim. Setelah mengisi kuota internet, Desi membuka aplikasi WA.

Baca Juga : Colek Puan soal Harga PCR, Susi Pudjiastuti: Di India Cuma Rp96.000!



Masuk pesan dari nomor yang sama dengan si penelepon maupun pengirim SMS, isinya juga sama. Desi lalu mengecek foto profil WA nomor tersebut, potret seorang lelaki berdiri di depan mobil berwarna putih. Dia betul-betul mengenali sosok itu.

“Maaf pak, WA saya baru aktif,” tulis Desi via WA.

Jangan Teriak-Teriak

“Gimana sudah ada belum biar tuntutan minggu depan,” balas orang itu.

Desi membalas bahwa ia sudah menyiapkan uang sejak bertemu Anton kemarin lalu.

“Tolong bilang suaminya kalo mau dibantu jangan teriak-teriak,” balas orang mengaku Anton ini.

Menurut Desi, maksud jangan ‘teriak-teriak’ yaitu tidak boleh meminta bantuan ke orang lain mengenai masalah ini. Orang itu lalu meminta Desi menemuinya di parkiran Kejati Lampung sambil membawa sebagian uang tunai keesokan hari. Uang itu diminta diletakkan di jok depan mobil miliknya.

Baca Juga : Tes PCR Bakal Jadi Syarat Wajib Semua Transportasi, Segini Harganya

Sementara sisa uangnya dikirimkan melalui transfer hari itu juga sebelum salat Jumat. Sebab, dia mengklaim akan berkoordinasi dengan hakim. Untuk memastikan orang itu Anton, Desi meminta izin menelepon. Namun teleponnya tidak diangkat. Orang itu beralasan dirinya yang akan menghubungi Desi nanti.

Desi lalu meminta orang tersebut mengirim nomor rekening sebagai tujuan transfer uang. Dikirimkanlah nomor rekening BCA atas nama Abdul Rohman. “Ibu tf 30 sisanya besok 70 bawa ke kntr taro di mbl.”



Orang itu juga mengatakan akan memberikan hukuman maksimal bagi Cecep jika Desi tidak yakin terhadap dirinya. Setelah percakapan via WA, Desi mentransfer Rp30 juta ke rekening Abdul Rohman. Dia kembali mengirimkan pesan singkat memberitahukan sudah mengirimkan uang.

Orang itu kembali meminta Desi menemuinya di parkiran Kejati Lampung keesokan hari. Tapi, setelah itu, ia mengirimkan pesan singkat berupa ralat, yakni agar sisa uang diantarkan pekan depan sebelum sidang.

Baca Juga : Mantan Presiden Korsel Roh Tae-woo Tutup Usia, Ini Sosoknya

Ajakan Video Call tak Senonoh

Tak hanya uang, dalam percakapan WA dengan Desi, orang itu juga sempat mengajukan pengiriman foto serta panggilan video mengarah pada hal tidak senonoh. Dia meminta Desi tidak bercerita ke siapa pun, termasuk kepada suami perihal permintaan itu. Bahkan, dia menawarkan Desi mendapat setengah uang yang ia minta agar tutup mulut.

Desi membalas pesan itu dengan mengatakan tidak mengerti maksud permintaan panggilan video. Orang tersebut balik menjawab dengan menyebut sepemahaman Desi mengenai permintaan video call dan foto tersebut. “Yang saya minta tidak sampai tinggal bareng seperti yang suami ibu lakukan.”

Orang mengaku Anton itu kembali mengancam melalui WA apabila permintaannya tersebar maka akan mengambil langkah banding terhadap perkara suami Desi. Desi tidak memenuhi permintaan mengirim foto dan video call itu. Keesokan hari, orang mengaku Anton ini tiba-tiba minta ditransfer Rp10 juta ke rekening atas nama Abdul Rohman.

Baca Juga : Melaju 55 Km/Jam, Bus TransJ Mandek setelah Tabrak Bus TransJ Depannya

Karena Sabtu dan tidak memegang kartu ATM, Desi meminta waktu. Namun orang itu langsung marah-marah. Ia mengancam menelepon hakim dan meminta hukuman suami Desi disesuaikan dengan pasal yang dikenakan. Lalu, orang mengaku Anton ini meminta nomor rekening Desi untuk mengembalikan uang Rp30 juta yang sudah ditransfer.

“Kirim rekening bu Cecep sekarang. Pasal apa adanya saja saya kasih buat Cecep.”



Awalnya, Desi menolak karena masih berharap dibantu. Namun, orang itu terus mendesak, Desi mengirimkan nomor rekeningnya. “Tapi ya sampai sekarang tidak ada (pengembalian uang),” kata Desi.

Selama percakapan via WA dengan orang mengaku Anton itu timbul keraguan di hati Desi. Apakah orang itu benar jaksa Anton atau bukan? Kecurigaan Desi ini muncul ketika orang tersebut mulai berbicara di luar topik permintaan uang, misalnya istri kedua Cecep serta meminta foto maupun video call.

Baca Juga : Jabatan Kapolres Nunukan Dicopot, Ini Profilnya

“Jaksa kok kayak begini. Sampai dia ngajak VC (video call) jangan ada siapa-siapa. Ngajak uang dibagi dua,” kata Desi.

Laporkan Kasus Penipuan

Takut menjadi korban penipuan, Desi memutuskan melapor ke Polres Pringsewu, 10 September 2020. Dia melaporkan pasal dugaan penipuan. “Saya tidak menuduh Pak Anton. Justru saya melapor ini karena merasa menjadi korban penipuan. Nanti biar hukum yang membuktikan,” kata Desi.

Setahun lebih sejak laporannya diterima di Polres Pringsewu, barulah Desi mendapatkan informasi tindak lanjutnya. Dia mengakui mendapat surat panggilan klarifikasi atas laporannya dari Polres Pringsewu pada 19 Oktober 2021. Bersamaan dengan surat pemanggilan itu penyidik juga mengirimkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penelitian laporan.

Dalam surat yang ditandatangani Kasat Reskrim Polres Pringsewu, Iptu Feabo Adigo Mayora, dijelaskan langkah yang sudah dilakukan polisi. Penyidik mengecek TKP di BRI Link Ambarawa, Pringsewu. Penyidik telah memeriksa karyawan dan pemilik BRI Link itu. Langkah lanjutan penyidik, yakni berkoordinasi dengan BCA untuk mengetahui alamat dan pemilik nomor rekening atas nama Abdul Rohman.

Baca Juga : Sadis! Maman Dikubur Hidup-Hidup di Kaki Gunung

Selain itu, polisi juga akan meminta rekening koran pemilik BRI Link. Langkah terakhir yang akan dilakukan polisi adalah mengundang saksi Anton Nur Ali. Sabtu (23/10/2021), Desi diperiksa penyidik kurang lebih lima jam. “Cuma menanyakan kronologi laporan penipuan itu,” kata Desi.



Kasat Reskrim Polres Pringsewu, Iptu Feabo Adigo Mayora, enggan berbicara saat dimintakan konfirmasi mengenai laporan Desi. “Hubungi humas saja,” kata Feabo.

Namun, sampai Senin (25/10/2021), humas Polres Pringsewu tidak merespons permintaan konfirmasi. Air muka Cecep Fatoni tenang saat mengikuti sidang vonis secara daring dari Mapolsek Kemiling, Rabu (23/9/2020). Selain Cecep, jaksa Anton juga mengikuti sidang dari tempat sama. Desi ikut serta menonton.

Baca Juga : Diduga Dipenggal Taliban, Ini Sosok Atlet Voli Mahjabin Hakimi

Pasal Dakwaan

Jaksa Anton mendakwa Cecep dengan dakwaan alternatif kesatu dan kedua. Pada dakwaan alternatif pertama, jaksa menjerat Cecep memakai Pasal 94 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 19 huruf a juncto Pasal 83 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 12 huruf d Undang-Undang Republik Indonesia No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Memakai rentetan pasal itu ancaman hukuman paling singkat 8 tahun dan paling lama 15 tahun penjara.

Dakwaan alternatif kedua, jaksa Anton menjerat Cecep memakai Pasal 83 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 12 huruf d UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Hutan juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Kalau hakim menyetujui penggunaan pasal-pasal ini ancaman hukuman lebih ringan yaitu pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.

Dalam surat dakwaan alternatif, terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis. Lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tindak pidana yang paling tepat dapat dibuktikan.

Baca Juga : Eks Mensesneg Sudi Silalahi Meninggal Dunia, Dimakamkan di TMP Kalibata

Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya. Sebaliknya, jika salah satu telah terbukti, maka dakwaan pada lapisan lain tidak perlu lagi dibuktikan. Dalam bentuk surat dakwaan ini antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung “atau”. Artinya, jaksa dan hakim dapat memilih dakwaan pertama atau kedua yang akan dikenakan dalam proses penuntutan maupun vonis.

Menariknya, Jaksa Anton memilih dakwaan alternatif kedua dalam surat tuntutannya. Hukumannya lebih ringan dari dakwaan alternatif pertama. Cecep dituntut pidana penjara dua tahun dan enam bulan. Sementara majelis hakim dalam pertimbangannya memutuskan memilih dakwaan alternatif kedua, sebagai pembuktian unsur-unsur pidana yang dilakukan Cecep.

Pada putusannya, majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 2 tahun enam bulan bagi Cecep. Majelis hakim menyatakan Cecep melanggar Pasal 83 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 12 huruf d UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Hutan jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Setelah mendengar putusan majelis hakim, Cecep dan Desi tidak terima.

Baca Juga : Penuh Liku, Kisah Cinta Putri Mako Jepang hingga Rela Tinggalkan Istana

Mereka marah kepada Anton yang ada di dalam ruangan. “Gimana sih pak. Bapak minta uang segini, kami siapin. Memangnya cari uang gampang? Cari uang itu susah pak,” cecar Desi menuding Anton.

Anton bergeming. Dua orang polisi yang ada di ruangan melerai kegaduhan. Cecep terbawa suasana hingga ikut marah ke Anton. “Saya tunggu kamu di luar,” balas Anton.

Intimidasi Jurnalis

Jurnalis Suara.com, Ahmad Amri, mendapat intimidasi dari jaksa Anton Nur Ali saat berupaya mengonfirmasi kasus dugaan penerimaan uang dari Desi Sefrilla. Jumat (22/10/2021), Ahmad Amri mengirimkan pesan ke Kasi Penkum Kejati Lampung, I Made Agus Putra Adyana, untuk mengonfirmasi dugaan penerimaan uang. Agus membalas dengan minta waktu bertemu siang hari itu juga.

Siang pada hari yang sama, Ahmad Amri berada di ruangan wartawan Kejati Lampung untuk menunggu Agus. Ketika itulah ia melihat Anton melintas hendak keluar kantor. Amri berlari menemui Anton untuk mengonfirmasi informasi. Namun, Anton mengajak Amri berbicara di ruangannya. “Iya ke ruangan saja, simpan dulu HP dan barang-barang kamu, karena aturannya tidak boleh bawa HP ke dalam ruangan,” kata Anton ke Amri.

Amri awalnya sempat menolak, karena ponsel adalah alat kerjanya sebagai jurnalis. Kemudian, ada seorang berpakaian preman mempertegas agar Amri meletakkan barang bawaan ke dalam almari, termasuk ponsel serta tas. “Sini bapak, handphone dan tas disimpan di loker ini. Bapak bawa kuncinya, baru bapak ke atas, aturannya begitu, ” kata lelaki itu.

Baca Juga : Korban dari Kapolres Nunukan Minta Maaf, Akui Tak Laksanakan Perintah

Setelah menuruti perintah itu, Amri bersama Anton naik ke lantai dua, ke ruangan yang disebut belakangan. “Silahkan duduk di situ. Sebenarnya dari kemarin, waktu kamu WA sebelumnya, saya sudah bawa dua orang cari kamu, tetapi enggak ketemu,” kata Anton ke Amri.

Lalu, Anton mengatakan dirinya banyak berteman dengan wartawan senior. Amri tidak diberi sela untuk mengonfirmasi benar tidaknya dugaan penerimaan uang dari keluarga terdakwa.

“WA kamu ke saya sudah saya screenshot, dan sudah saya kirim ke petugas Polda Lampung. Kamu memojokkan saya, kena UU ITE kalau saya laporkan ke Polda. Sebab dalam WA, kamu bilang saya menyuruh keluarga terdakwa mengirim uang ke saya. Ini tahun 2021, enggak mungkinlah saya berani begitu. Coba kamu tes ke jaksa lain terkait perkara, kamu mau kirim uang ke Jaksa itu, karena berkaitan dengan perkara pasti enggak berani. Kalau Jaksanya berani terima uang, saya kasih kamu dua mobil,” tantangnya.

Anton menjelaskan, semestinya Amri lebih dulu menelepon dirinya dan meminta waktu bertemu, “Jangan main WA atau SMS. Kan enak bertemu, kalau WA atau SMS ada bukti, bisa di-screenshot dan dilaporkan kamu, kena UU ITE,” kata Anton lagi.

Baca Juga : Sukmawati Jalani Puncak Ritual Pindah Hindu, Dijaga Ketat Pecalang

“Nanti kalau ada orang yang menelepon kamu, itu orangnya saya. Maaf ini saya mau ke polda ngurus kasus UU ITE juga. Terserah kamu, saya enggak pandang siapa orangnya. Kalau saya sudah terusik, saya laporkan. Saya bukan jaksa baru, kemarin sore, saya juga pernah di LSM. Maaf saya buru-buru ke polda, ” kata Anton, lantas meninggalkan ruangan.

Konferensi Pers

Setelah awak media ramai memberitakan intimidasi tersebut, Kejati Lampung menggelar konferensi pers, pada hari yang sama. Dalam konferensi pers itu, jaksa Anton membantah menerima uang dari keluarga terdakwa. “Terus masalah terima uang transfer itu, saya jawab bahwa saya tidak terima, kalau memang ada bukti, laporkan dan saya siap diborgol,” kata Anton.

Kasi Penkum Kejati Lampung, I Made Agus Putra Adyana, mempertegas pernyataan rekan sekerjanya itu. Agus membantah dugaan Jaksa Anton menerima uang. “Terkait, informasi yang dikonfirmasi rekan kita, dari jurnalis Suara.com, Jaksa Anton membantah dan tidak pernah menerima uang sebesar Rp30 juta itu.”

Anggota Komisi III DPR RI, Santoso menegaskan Jaksa Agung ST Burhanuddin harus turun tangan dengan membentuk tim khusus untuk mengusut tuntas dugaan ‘tawar-menawar harga’ perkara di Lampung tersebut. “Jaksa Agung harus bertindak atas adanya dugaan jual-beli perkara itu. Jika terbukti, maka jaksa tersebut harus diberi sanksi keras, karena menciderai integritasi institusi Kejaksaan RI,” kata Santoso, Senin (25/10/2021).

Baca Juga : Korban Pemukulan Kapolres Nunukan Diproses, Diduga Viralkan Video

Menurut Santoso, Kejaksaan Agung harus segera membentuk tim khusus dan bergerak tanpa menunggu klarifikasi dari Kejati Lampung. “Biar tidak ada konflik kepentingan, maka cukup tim bentukan Jaksa Agung itu saja yang menangani,” kata dia.

Selain itu, Santoso juga mengapresiasi jurnalis yang berani menyajikan skandal ini kepada publik. Karenanya, ia mengecam intimidasi yang menimpa jurnalis Suara.com. “Jurnalis bekerja berdasarkan undang-undang. Kebebasan pers adalah produk reformasi, bagian dari syarat negara demokrasi. Jika ada kode etik yang dilanggar jurnalis, pihak yang dirugikan bisa meminta klarifikasi, bukan intimidasi,” tegas Santoso.

Santoso melanjutkan, “UU ITE jangan dijadikan alat pukul untuk membungkam dan mengebiri kebebasan pers.”

Ketua Komisi Kejaksaan RI, Barita Simanjuntak, menegaskan sudah berkoordinasi dengan Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejagung perihal dugaan jual-beli pasal di Lampung. “Mengenai soal ini, kami sudah berkoordinasi dengan Jamwas Kejagung, untuk segera melakukan pemeriksaan dan klarifikasi terhadap yang bersangkutan,” kata Barita kepada Suara.com, Senin malam.

Baca Juga : Ritual Buang Celana Dalam di Gunung Sanggabuana, Begini Faktanya

Ia mengungkapkan, proses pemeriksaannya masih berlangsung. Barita memastikan tim pengawasan Kejagung bekerja secara profesional mengusut tuntas dugaan tersebut. “Kami terus memantau, mengawasi penanganan kasus ini agar berjalan baik dan benar. Apabila pemeriksaan selesai, hasilnya akan disampaikan kepada kami, sesuai mekanisme kerja,” kata Barita.

Modus Transaksi Kasus

Kejaksaan Agung RI telah memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan Asisten untuk mengusut dugaan permintaan uang terkait orang yang tengah berperkara di Lampung. “Jaksa Agung Muda Pengawasan telah memerintahkan langsung Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung untuk segera mengklarifikasi dugaan permintaan ataupun penerimaan uang,” kata Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Sabtu (23/10/2021) akhir pekan lalu.

Jamwas Kejagung RI, Amir Yanto, dikonfirmasi Suara.com Senin (25/10/2021) malam mengakui sudah bergerak menangani perkara ini. “Terakhir, saya sudah meminta Kajati Lampung untuk menindaklanjuti dugaan ini,” kata Amir Yanto.

Yuris Rezha Kurniawan, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, menegaskan bila terdapat bukti permulaan dugaan penerimaan uang terkait perkara ini bisa dilaporkan ke polisi. Dia mengakui kasus penerimaan uang yang melibatkan jaksa masih cukup sering terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. “Kalau dilakukan pemetaan, ada lima modusnya,” kata Yuris.

Baca Juga : Tukang Ojek Punya Lahan Rp160 Miliar Jadi Korban Mafia Tanah

Modus pertama memuluskan proyek dengan dalih pengawalan. Modus ini marak terjadi saat masih ada Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah atau TP4D. Contoh kasusnya, seorang jaksa di Yogyakarta terjaring operasi tangkap tangan KPK.

Modus kedua, memeras yang sedang berperkara. Misalnya, kata Yuris, pemerasan terhadap kepala sekolah dengan dalih akan dijerat perihal dana BOS, seperti yang terjadi di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Modus ketiga, menghentikan atau tidak menindaklanjuti dugaan perkara korupsi. Temuan atau indikasi adanya praktik korupsi dibarter dengan pihak tertentu, agar perkaranya tidak dinaikkan ke pengadilan.

“Selanjutnya, modus keempat adalah mengatur tuntutan. Saat persidangan, jaksa bersepakat dengan pihak tertentu, semisal untuk menggunakan pasal yang lebih ringan, mengatur tuntutan, dan lain-lain. Itu pernah terjadi di kejati DKI, menjerat aspidsus DKI.”

Kemudian modus kelima, berkomplot dengan terpidana untuk memperingan eksekusi. Kasus Jaksa Pinangki, yang seharusnya jadi eksekutor putusan pengadilan, justru membantu terpidana menghindar dari eksekusi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya