SOLOPOS.COM - Kondisi bangunan SDN 1 Bener, Ngrampal, Sragen, yang sebelumnya menjadi tempat tinggal dari Willibald Dagobert van Nispen, Jumat (2/7/2021). (Solopos.com/Moh. Khodiq Duhri)

Solopos.com, SRAGEN — Siapa sangka, bangunan SDN 1 Bener, Ngrampal, Sragen dulunya merupakan tempat tinggal dari Willibald Dagobert van Nispen, pemilik pertama Pabrik Gula atau PG Mojo Sragen, yang makamnya konon tak mau dipindah dari tepi Jl. Raya Sukowati Sragen.

Bangunan SDN 1 Bener memang berbeda dengan sekolah pada umumnya. Di kompleks sekolah ini, terdapat bangunan kuno berukuran sekitar 20×20 meter. Tembok bangunan itu cukup tebal dengan lebar sekitar 25 cm. Dulunya, lokasi sekolah ini merupakan rumah Van Nispen.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Nama Willibald Dagobert van Nispen ternyata tidak asing bagi warga sekitar, terutama para sesepuh di Dukuh Pedakan, Kedungrancang dan Wotan, Desa Bener. Dagobert van Nispen dikenal sebagai pengusaha kaya raya yang menguasai ratusan hektare tanah perkebunan tebu di Sragen serta menjadi pemilik pertama dari PG Mojo.

Baca Juga: Bupati Wonogiri: PPKM Darurat Jadi Momentum Disiplinkan Masyarakat

“Menurut cerita dari sesepuh desa, dulu Raja Keraton Solo kerap mampir ke rumah Dagobert van Nispen. Katanya Raja Keraton [Kasunanan Surakarta Hadiningrat] itu datang ke Sragen naik kereta turun di Stasiun Kebonromo. Mungkin dilanjutkan naik kuda karena dari stasiun ke rumah Dagobert van Nispen berjarak sekitar 1 km,” jelas Sukarjo, tokoh masyarakat Desa Bener, kepada Solopos.com, Jumat (2/7/2021).

Dagobert van Nispen tinggal bersama istri yang diketahui sebagai orang Jawa. Dari hasil pernikahannya itu, lahirlah Dagobert van Nispen II. Dagobert van Nispen sendiri meninggal dunia pada 1914. Sepeninggalan Dagobert van Nispen, anak-anaknya masih tinggal di rumah itu.

Namun, ancaman yang datang setelah pecahnya perang dunia kedua 1939-1945, menjadi alasan generasi dari Dagobert van Nispen memilih angkat kaki dari Desa Bener. Konon mereka kembali ke Belanda untuk menyelamatkan diri.

“Sejak ditinggal keluarga Dagobert van Nispen, rumah itu tidak ada yang mengurus, baru sekitar 1960, rumah itu dijadikan sekolah rakyat. Saya sendiri pernah mengenyam pendidikan SD di sana dari 1975-1981,” terang Sukarjo.

Pada bangunan berukuran 20×20 meter itu, terdapat bangunan di bagian tengah yang berukuran sekitar 10×10 meter. Saat masih bersekolah di sana, Sukarjo masih menjumpai beberapa benda yang tergolong langka. Kala itu masih ada dua kursi kayu dengan alas anyaman rotan atau penjalin.

Baca Juga: PPKM Darurat Pulau Jawa dan Bali, Kapan dan Dimana?

Uniknya, dua kursi itu masing-masing setinggi 10 meter dan 5 meter. Di bangunan itu dulunya juga terdapat sebuah lonceng besi yang konon jika dipukul suaranya terdengar hingga radius 10 km.

“Rumah itu seperti didesain sebagai tempat berkumpul para buruh tebu untuk makan. Lonceng itu kemungkinan dipakai untuk memanggil buruh karena sudah waktunya makan. Sementara dua kursi yang tinggi itu kemungkinan digunakan mandor untuk mengawasi karyawan saat makan,” terang Sukarjo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya