SOLOPOS.COM - Aktivitas pertambangan manual di alur Kali Woro, Kecamatan Kemalang, Klaten, Rabu (8/7/2020). (Solopos-Taufiq Sidik Prakoso)

Solopos.com, KLATEN – Reboisasi pada kawasan lahan kritis terutama di lahan eksplorasi pertambangan menjadi kewajiban dan tanggung jawab pengelola usaha.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Klaten, Srihadi, mengatakan sudah ada pelaku usaha yang melakukan reboisasi di tempat mereka melakukan kegiatan pertambangan.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

“Sebagian besar belum. Banyak yang melakukan hanya mengambil, tetapi tidak melakukan reklamasi kembali,” kata Srihadi, Selasa (31/8/2021).

Disinggung identifikasi lahan kritis akibat kegiatan pertambangan terutama di wilayah lereng Gunung Merapi, Srihadi mengatakan belum ada kajian dari DLHK. Dia mengakui pernah ada rencana kajian lahan kritis pada 2020 lalu. Namun, kajian urung dilakukan lantaran ada refocussing anggaran untuk penanganan Covid-19.

Baca juga: 72 Kios di Pasar Nglangon Sragen Jadi Hunian Warga 1 RT Secara Turun-Temurun, Kok Bisa?

Kegiatan reboisasi pernah dilakukan DLHK bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah di bekas lokasi pertambangan wilayah Desa Kendalsari, Kecamatan Kemalang pada 2020. Namun, reboisasi yang dilakukan belum bisa mencakup seluruh lahan kritis.

Srihadi mengatakan kewenangan DLHK Klaten terbatas terkait pengendalian aktivitas pertambangan. Pasalnya, kewenangan perizinan berada pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Kalau untuk aktivitas pertambangan yang resmi, mereka sudah punya jaminan reklamasi. Kalau prosesnya sudah berakhir, reklamasi harus terwujud. Hanya saja itu kewenangan di ESDM bukan di kami,” kata dia.

Baca juga: Diputus Kekasih, Buruh Asal Klaten Ditemukan Meninggal di Kamar Indekos Sukoharjo

Srihadi berharap kewajiban untuk menghijaukan kembali bekas lokasi pertambangan bisa direalisasikan para pelaku usaha. Hal itu dimaksudkan agar kegiatan eksplorasi pertambangan tak mengganggu kelestarian alam.

Diberitakan sebelumnya, sebanyak 31 sumber air di Klaten teridentifikasi mati alias tak ada lagi debit air. Matinya sumber mata air itu terjadi sejak era 1990an hingga saat ini. Selain faktor banyaknya sumur dalam, matinya sumber air diduga karena faktor eksplorasi alam dengan aktivitas pertambangan di wilayah hulu.

Kabid Sumber Daya Air (SDA) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Klaten, Harjaka, mengatakan salah satu cara untuk menjaga debit sumber air dengan melakukan reboisasi. Selain itu, pembuatan embung konservasi dilakukan untuk menangkap air yang bisa meresap ke dalam tanah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya