SOLOPOS.COM - Dosen D3 Teknik Informatika Sekolah Vokasi UNS Muhammad Asri Safi'ie yang magang mengajar di Wales Inggris. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Muhammad Asri Safi’ie, yang biasa disapa Safi’ie, baru saja pulang dari Neath, Wales, bulan lalu. Dia menjalani program magang  sekitar dua pekan dari 28 November-7 Desember 2022.

Wales masih menjadi bagian dari United Kingdom (UK). Pengalamannya di sana sedikit membuka pandangannya terkait sekolah vokasi juga dunia pendidikan secara umum.

Promosi Cuan saat Ramadan, BRI Bagikan Dividen Tunai Rp35,43 Triliun

Dosen D3 Teknik Informatika, UNS itu berkesempatan magang di perguruan tinggi vokasi (PTV) yang bernama NPTC Group of Colleges. Kampus itu berada di kota Neath, Wales, Britania Raya. NPTC adalah kepanjangan dari Neath Port Talbot College. Secara administrasi Neath dan Port Talbot merupakan dua kota yang berbeda di Wales.

Safi’ie bercerita dia bersama rombongan ketika sampai kota Neath langsung disambut dengan hawa dingin. Setidaknya hawa tujuh derajat celcius menyengat di kulit.

Ekspedisi Mudik 2024

“Sedangkan pas mau pulang itu pernah malah minus satu derajat celcius. Hanya kita sudah menyiapkan pakaian dingin dan itu sudah cukup. Saya sendiri terkadang khawatir, tapi ketika ada di sana dan langusung pakai pakaian hangat masih bisa beraktivitas di luar,” kata dia ketika ditemui Solopos.com, Kamis (26/1/2023).

Safi’ie mengaku tidak terlalu kaget dengan budaya setempat. Tidak seperti kota London yang metropolis. Di Neath penduduknya masih beramah-tamah dan gemar menyapa. Terkadang terlihat orang-orang tua atau lansia bercengkrama di taman kota. Hal itu mengingatkannya dengan suasana di Indonesia.

Kebanyakan orang lokal kalau sore terutama manula sekitar pukul 16.00 waktu setempat banyak kumpul dan ngobrol,” imbuh dia.

Baginya tantangan lumayan berat adalah makanan. Di sana tidak cukup tersedia daging yang halal. Baginya yang merupakan muslim, Safi’ie lebih memilih makan sayur ketimbang daging olahan. Pun misal dia menginginkan daging, ada para pedagang dari Pakistan, India, dan Bangladesh.

Di kota yang dia tinggali, mamang menerima para imigran. Bahkan Safi’ie mendapat ceirta dari kolega yang tinggal di Wales, para imigran itu malah diberikan fasilitas pelatihan untuk bekerja. “Memang di kota Neath itu multi etnik” imbuh dia.

Pendidikan di Neath, Wales

Soal sistem pendidikan, dia bercerita di Wales sudah memiliki sistem yang terpisah antara vokasi untuk pendidikan profesi dan sekolah akademik untuk yang ingin menjadi peneliti atau ilmuwan.

“Di sana pendidikan dari kelas satu hingga kelas 10 masih mendapatkan mata pelajar umum.  Sedangkan nanti di jenjang kelas 11 sampai kelas 12 sudah ada penjurusan,” kata dia.

Setelah itu, Safi’ie mengatakan siswa yang mengambil kelas teoritis akan diarahkan ke universitas, sedangkan yang mengambil kelas praktisi akan diarahkan ke sekolah vokasi seperti tempat ia magang mengajar, NPTC Group. 

Di kampus tersebut juga menyediakan program studi setingkat diploma III dan IV jika di Indonesia. “Jadi ada pendidikan dua tahun, kalau di Indonesia setara dengan D3. Ada juga pendidikan tiga tahun, kalau di sini setara dengan D4 sini,” kata dia. 

Untuk memetakan bakat para peserta didik mau ke arah teoritis, praktisi, atau seni, sekolah setempat sudah sejak awal melakukan penelitian terhadap siswanya. 

Meski pihak sekolah dari jenjang SD sampai SMA sudah memiliki database dan memetakan anak didiknya cocok ke mana. Pada akhirnya pilihan ada di individu anak. “Pilihan memang dari siswa, dan itu tidak menjadi keharusan,” katanya.

Sejak awal, kata Safi’ie, pendidikan di Wales mamang ingin ada perbedaan jelas antara siswa yang mengambil jalur akademik dan jalur profesi. “Yang mengambil jalur vokasi nanti dikasih ilmu praktis untuk kerja, kalau yang jalur akademis lebih dikasih paradigma ilmu pengetahuan,” 

Dia mengatakan pendidikan vokasi di sana tidak seperti perkuliahan yang ada di sini, di Indonesia pendidikan dibatasi oleh umur. Sedangkan di sana umur berapapun bisa melanjutkan sekolah ke further education, sebutan untuk sekolah vokasi di Wales.

“Kalau misal lulus kelas 12 dan ingin mengambil perkuliahan juga bisa, bahkan orang yang sudah bekerja mereka menempuh kuliah ya diperbolehkan,” kata dia.

Menurut dia, ide besar pendidikan di sana adalah menganggap warganya sebagai aset yang penting. Maka dari itu otoritas setempat memang benar-benar memberikan fasilitas. Apalagi bagi pemuda untuk tetap berada di negara tersebut

Makanya salah satu bentuk keseriusan pemerintah setempat adalah dengan membuat sistem pendidikan sebaik mungkin. “Karena banyak orang-orang Wales itu pergi ke Inggris, atau pergi ke Eropa, mereka terus menetap  di sana. Risikonya Wales bakal kekurangan penduduk produktif, mereka terus menjadi berpikir untuk membuat satu sistem pendidikan yang berbeda,” imbuh dia. 

Dia juga bercerita tentang pengalamannya mengajar di kampus NPTC Group. Secara sarana prasarana, dia melihat setiap kelas diberi perangkat IT yang lumayan lengkap. 

Dengan prasarana yang lengkap tersebut, baik dosen maupun mahasiswa bisa memilih untuk melakukan pembelajaran secara daring atau luring. “Jadi misalkan ada 12 orang di kelas, mereka boleh menentukan mau daring atau luring,” kata dia.

Suasana diskusi dan pembelajaran di sana pun menurutinya sangat cair. Tidak ada sapaan apapun kepada dosen, bahkan para mahasiswa hanya memanggil nama. Ini membuat jarak hirarki yang jauh menjadi hilang.



“Jadi tidak bersifat feodal ya. Siswa kurang tahu ya langsung tanya aja, jadi tidak ada jarak. Memang diskusi dihidupkan,” kata dia.

Dia mendapat pengalaman menarik saat para mahasiswa sedang mengikuti ujian. Para dosen penguji, sempat diberikan makanan dan minuman.

“Saya tahu saya mau disogok sama kalian, kalian tidak usah suap saya, yang penting ada soal kerjakan saja,” kata dia.

Memang Safi’ie mengatakan penilaian dosen di sana sangat objektif. Terlebih ketika berhadapan dengan ujian. “Karena yang menilai tidak hanya dosen yang mengampu, tapi juga kolega yang lain, atau dosen lain dari kampus lain,” kata dia.

Pada akhirnya, dia tidak mengharapkan Indonesia secara mentah-mentah menerapkan pendidikan seperti di Wales. Yang lebih penting dari itu, kebijakan kurikulum harus dibuat dari bawah ke atas. “Jadi melibatkan masyarakat, tidak dari atas ke bawah,” kata dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya