SOLOPOS.COM - Ilustrasi ganja medis. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO-Ganja medis disebut bisa digunakan sebagai terapi untuk penderita cerebral palsy, bagaimana cara kerjanya? Simak ulasannya di info sehat kali ini.

Sebelumnya viral di media sosial unggahan foto yang menampilkan seorang ibu membawa poster bertuliskan butuh ganja medis saat hari bebas kendaraan atau CFD di Bundaran HI, Minggu (26/6/2022).  Foto ibu yang meminta ganja medis ini awalnya diunggah di akun Twitter penyanyi Andien Aisyah. Ibu yang diketahui bernama Santi itu mengaku mempunyai anak bernama Pika yang menderita penyakit Cerebral Palsy.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., menjelaskan bahwa ganja medis bisa digunakan untuk terapi atau obat penderita cerebral palsy karena di dalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi.

Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.  “Psikoaktif artinya bisa mempengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya ke arah mental,” kata Zullies dalam keterangan resmi UGM, seperti dikutip dari Antara pada Sabtu (2/7/2022).

Ekspedisi Mudik 2024

Baca Juga: Bagaimana Pemanfaatan Ganja untuk Medis dari Perspektif Agama?

Menurutnya senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.

Ia mengatakan bahwa CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Badan Makanan dan Obat Amerika Serikat (FDA). Misalnya, epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.

Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.  “Di kasus yang viral untuk penyakit cerebral palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja,” kata Zullies.

Baca Juga: 30 Negara Ini Legalkan Ganja untuk Medis, Thailand Salah Satunya

Zullies melanjutkan, CBD memang telah teruji klinis dapat mengatasi kejang. Kendati demikian, untuk terapi antikejang yang dibutuhkan adalah CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja.

Sebab ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan THC. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.

“Dikatakan ganja medis, istilah medis ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, misal dengan diseduh, itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis,” paparnya.

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM tersebut pun menuturkan jika ganja bukanlah satu-satunya obat medis untuk mengatasi penyakit termasuk terapi cerebral palsy. Namun, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.

Baca Juga:  Dua Ahli Pernah Menjelaskan Ihwal Ganja Medis di Mahkamah Konstitusi

“Ganja bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni, seperti CBD, terukur dosisnya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten, itu tidak masalah,” kata dia.

Terkait legalisasi ganja medis, Zullies mengatakan obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti BPOM dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.

“Menurut saya, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganja-nya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi,” kata dia.

Baca Juga: Ini Penyebab Cerebral Palsy yang Dikaitkan dengan Pelegalan Ganja Medis

Zullies mengatakan untuk penggunaan ganja medis ini dapat melihat dari obat-obatan golongan morfin. Morfin juga berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama diresepkan dokter. Selain itu, dapat digunakan sesuai indikasi seperti nyeri kanker yang sudah tidak respons lagi terhadap analgesik lain dengan pengawasan distribusi yang ketat.

“Tanamannya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, begitu pun dengan ganja,” kata Zullies.

“Oleh sebab itu, semestinya yang dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komperhensif akan risiko dan manfaatnya,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya