SOLOPOS.COM - Perjalanan tiga Guru SM3T UNY yang ditugaskan di Pegunungan Bintang, Papua terpencil ini. Karena perang suku tiga guru SM3T UNY harus mengungsi dari distrik Oksamol sampai ke distrik Oklib. (Istimewa)

Diskriminasi ini ternyata banyak yang justru dibentuk oleh pemikiran orang-orang Papua sendiri.

 

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

 

Haranjogja.com, JOGJA-Diskriminasi yang selama ini ada di Papua, menjadi penyebab sejumlah konflik terjadi Papua. Bahkan, diskriminasi ini ternyata banyak yang justru dibentuk oleh pemikiran orang-orang Papua sendiri.

Ekspedisi Mudik 2024

Hal tersebut disampaikan oleh Bupati Jayawijaya, Wempi Wetipo, dalam bedah buku berjudul penulis buku Gunung Versus Pesisir, Dalam Perspektif Nilai-Nilai Hidup Bersama, di University Club Universitas Gadjah Mada, Kamis (31/3).

Sebelumnya ia mengutip hasil penelitian dari Muridan S.Widjojo pada 2014 yang menyebutkan, ada empat hal yang menjadi sumber konflik Papua.

Pertama, marjinalisasi dan diskriminasi disebabkan pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak 1970. Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Penyebab keempat yakni, pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua.

Wempi yang juga menjadi salah satu penulis buku ini menuturkan bahwa, dirinya memilih untuk mengangkat secara spesifik terhadap poin pertama. Menurutnya, watak “etnosentrisme sempit” yang semakin menajam di Papua sendiri, dinilai telah melahirkan diskriminasi dengan istilah “gunung-pantai” di antara masyarakat Papua sendiri. Menurut Wempi, pemikiran ini tidak boleh terus berlanjut.

Buku ini, lanjutnya, ditulis berdasarkan fenomena-fenomena sosial yang sedang terjadi di tanah Papua antar sesama anak Papua. Karena kondisi Papua yang seperti itu secara otomatis hanya akan mematikan semua potensi yang ada dalam diri anak-anak Papua.

“Melalui buku ini, kami berharap masyarakat Indonesia, utamanya rakyat Papua bisa menatap Papua tanpa diskriminasi,” ucapnya.

Dalam diskusi dan bedah buku yang ia tulis bersama Marthen Medlama ini, ia menambahkan secara geografis, wilayah Papua memang terbagi dua yakni pesisir pantai dan pegunungan. Kelompok masyarakat yang tinggal di dua alam Papua ini juga memiliki budaya dan kebiasaan berbeda. Masyarakat pesisir lebih terbuka dan modern karena sudah berinteraksi dengan dunia “luar”. Sedangkan masyarakat pegunungan masih hidup “klasik” dengan mempertahankan keaslian budaya. Awalnya dikotomi gunung-pantai ini bukan masalah besar. Perbedaan masyarakat gunung-pesisir sebenarnya pun sudah ada sejak zaman Belanda. Bahkan sejak bergabung dengan Indonesia pada 1963 lalu, sesama orang Papua hampir tidak terjadi konflik.

“Namun perubahan signifikan terjadi khususnya di era Orde Baru,” terangnya.

Menurut Wempi, pada periode Orde Baru, masyarakat pegunungan Papua menjadi termarjinalkan. Tak heran jika kemudian mayoritas gerakan pemberontakan untuk merdeka lebih banyak disuarakan dari pegunungan. Akibatnya, secara perlahan stereotipe pun terbangun. Masyarakat pegunungan mendapat label negatif dan masyarakat pesisir mendapat label positif.

“Buku ini mengajak semua pihak untuk mengenal lebih jauh tentang fakta yang terjadi terkait dengan konflik yang tersembunyi. Di buku ini pula kami mengungkapkan keinginan membangun generasi mendatang yang tidak bersikap diskriminatif dan rasis dengan terus memajukan Papua di berbagai bidang,” ungkap lulusan Strata Dua Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih dan Strata Dua Pariwisata Universitas Udayana ini.

Gunung dan pantai imbuhnya, bukanlah sebuah perbedaan. Papua yang satu tanpa kecuali harus menjadi darah yang mengalir di seluruh lapisan masyarakat Papua.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM Prof.Sigit Riyanto mengatakan, dari segi momentum buku tersebut dinilai terbit tepat waktu. Hal tersebut terkaitan dengan hasil penelitian LIPI tentang Papua, yang menyatakan kebijakan afirmatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua. Dan mengajak masyarakat perlu belajar dan mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan di Papua selama ini.

“Kita perlu lihat dan mencermati lagi bagaimana dan mengapa terjadi kegagalan pembangunan di sana. Mengingat keunikannya, tampaknya perlu paradigma baru pembangunan dimana semua pihak dan daerah harus terlayani dan tersentuh,” ujarnya.

Sigit menambahkan, buku ini memiliki daya tarik tersendiri dimana persoalan konteks kehidupan dan sosial kemasyarakatan diulas secara menantang. Buku ini juga dinilai menegaskan tentang keberagaman di tanah Papua, yang telah ada sejak lama.

“Tergambar jelas pula, keinginan kedua penulis yang memiliki visi memajukan Papua secara utuh,” ucapnya. (Uli Febriarni)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya