SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Pada 23 Oktober lalu Kabinet Indonesia Maju diumumkan dan dilantik. Jumlah kementerian ada 34 dan jumlah pejabat setingkat menteri ada empat. Komposisi kabinet terdiri atas 16 representasi partai politik dan 18 representasi kaum profesional atau teknokrat.

Setelah pengumuman kabinet, saya berasumsi keadaan perekonomian yang merupakan cerminan kesejahteraan rakyat akan sama saja. Hal ini didasarkan tiga pertimbangan. Pertama, komposisi kementerian bidang perekonomian hanya menyisakan Sri Mulyani sebagai wakil kaum teknokrat dengan kembali menduduki posisi Menteri Keuangan.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Sri Mulyani akan melanjutkan disiplin fiskal agar defisit tidak semakin melebar. Saya berasumsi Sri Mulyani hanya akan menjadi penjaga APBN dalam rangka ketidakpastian perkembangan ekonomi global dan memastikan perekonomian Indonesia tetap tumbuh.

Kedua, kekhawatiran utama saya terhadap menteri dari partai politik ketika memegang posisi menteri bidang ekonomi adalah korupsi. Masih lekat dalam ingatan saya bahwa ruangan Enggartiasto Lukita digeledah aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kaitan dengan izin impor.

Selain itu, menteri dari partai politik akan terlalu populis dan selalu mengatasnamakan kebijakan untuk rakyat. Perlu diketahui bahwa rakyat itu bukan entitas yang tunggal, melainkan banyak kepentingan. Contohnya rakyat dan pengusaha adalah sama-sama rakyat yang membayar pajak, tetapi kepentingan keduanya bisa berbeda bahkan di dalam kelompok rakyat dan pengusaha itu sendiri juga memiliki kepentingan berbeda.

Jika ekonomi diatur agar mengikuti dinamika kompleks, apakah yang akan terjadi? Bisa saja para politikus yang dipilih oleh rakyat dan dia sendiri merupakan pengusaha akan mengajak pengusaha yang dekat dengan dirinya untuk mendesak menteri keuangan agar menurunkan pajak ekspor dan pajak impor tanpa peduli risiko-risiko jangka panjang perekonomian.

Singkatnya, suku bunga dan instrumen lain dalam perekonomian adalah hasil tawar menawar para politikus atau mencerminkan tarik menarik perimbangan kekuatan politik, bukan ditentukan oleh asumsi rasionalitas dalam perekonomian. Jika ini berlangsung secara terus-menerus, bukan tidak mungkin perekonomian akan jatuh ke dalam krisis.

Teknokrat

Ketiga, saya berpikiran positif saja bahwa ketergantungan terhadap teknokrat berarti negara Indonesia dalam kondisi krisis. Asumsi saya didasarkan atas Hukum Sadli: jika ekonomi sedang krisis, peran teknokrat diperluas. Apakah Indonesia sedang mengalami krisis? Indonesia tidak mengalami krisis, meskipun sama-sama mengalami perlambatan pertumbuhan perekonomian.

Presiden Joko Widodo sepertinya lupa terhadap isi pidato yang dia baca pada waktu pelantikan menjadi presiden masa jabatan 2019-2024 bahwa pada 2045  Indonesia telah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah dan menjadi negara maju dengan pendapatan menurut hitung-hitungan Rp320 juta per kapita per tahun, produk domestik bruto Indonesia mencapai tujuh triliun dolar Amerika Serikat, Indonesia sudah masuk lima besar ekonomi dunia, dan kemiskinan mendekati 0% menjadikan kerja bidang perekonomian makin berat.

Untuk mencapai cita-cita yang demikian luhur pasti perlu teknokrat yang biasa berpikiran jangka panjang, bukan orang partai politik yang hanya akan menjabat lima tahun saja atau malah kurang dari lima tahun. Permasalahan yang disampaikan dalam pidato pelantikan Presiden Joko Widodo jika diurai satu per satu akan panjang.

Saya akan mengaitkan dengan kegeraman Presiden Joko Widodo akhir-akhir ini, yaitu investasi yang tidak kunjung masuk ke Indonesia. Pertama, masalah sumber daya manusia. Bagaimana Tiongkok mau menginvestasikan uang di Indonesia jika para tenaga kerja kita yang berusia produktif hanya memiliki kepandaian setara dengan anak kelas V sekolah dasar?

Permasalahan lainnya, bahwa tenaga kerja sedemikian mahal dan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia sedemikian kaku. Kedua, masalah penyederhanaan izin. Masalah ini sudah hampir bisa diselesaikan melalui 16 paket deregulasi. Indeks kemudahan berusaha sudah naik 40 tingkat dari peringkat ke-112 menjadi peringkat ke-68.

Pertanyaannya, apa masalah yang menghambat investasi itu sendiri? Jawabannya ada di hal pertama. Contoh, investor yang akan menanamkan modal di Indonesia harus menyimpan uang sebanyak pesangon 95 pekan bekerja atau sekitar dua tahun untuk buruh dengan masa kerja selama 10 tahun.

Investor

Bandingkan dengan Vietnam yang hanya 60 pekan. Regulasi ini mempersulit investor karena sang investor juga belum tahu apakah usahanya akan untung atau tidak selama jangka waktu tersebut. Ketiga, masalah transformasi ekonomi. Presiden Joko Widodo mengharapkan ekonomi Indonesia bertransfromasi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa.

Bagaimana investasi akan masuk jika permasalahan dalam hal pertama dan kedua tidak dapat teratasi? Saya masih ingat ketika membaca berita bahwa Presiden Joko Widodo marah-marah karena 33 perusahaan yang relokasi dari Tiongkok tidak satu pun pindah ke Indonesia. Sebagian besar mampir ke Vietnam, Thailand, dan Filipina.

Hal ini bisa terjadi karena ongkos buruh yang mahal di Indonesia, misalnya pabrik tekstil Tiongkok pasti akan merelokasi pabrik ke Bangladesh yang buruhnya lebih murah atau pabrik otomotif yang pasti akan merelokasi ke Vietnam karena alasan yang sama. Industri manufaktur pasti merupakan industri yang berorientasi ekspor.

Komoditas yang bisa diekspor antara lain hasil tambang, hasil industri, dan hasil pertanian. Garda depan agar produksi manufaktur bisa diekspor adalah menteri perdagangan. Perlu diketahui, posisi menteri tersebut selain urusan pertambangan/sumber daya mineral dijabat representasi dari partai politik.

Menteri Perindustrian dijabat Agus Gumiwang Kartasasmita (Partai Golongan Karya), Menteri Perdagangan dijabat Agus Suparmanto (Partai Kebangkitan Bangsa), Menteri Pertanian dijabat Syahril Yasin Limpo (Partai Nasional Demokrat), dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dijabat oleh Arifin Tasrif (duta besar Indonesia untuk Jepang).  Apakah mereka akan dengan mudah bekerja sama?

Kerja Sama

Contoh para menteri tidak bisa bekerja sama adalah industri tekstil kita yang terus-menerus tercekik karena kebijakan pembukaan keran impor kain oleh menteri perdagangan. Inilah ekses negatif kebijakan populis yang mengatasnamakan rakyat, yaitu ego sektoral. Para menteri ikut berkampanye demi elektabilitas partai politik yang diwakili.

Sebaiknya Presiden Joko Widodo mengingat kembali pidatonya bahwa dia tidak ingin lagi memiliki beban dengan melakukan prioritas kebijakan utama seperti revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan sebelum membuat Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja pada awal periode kedua masa jabatan. Jangan ditunda-tunda.

Jika ditunda sampai 2022/2023, menteri ketenagakerjaan yang berasal dari partai politik tentu tidak akan mau kehilangan popularitas sehingga berakibat pada rendahya elektabilitas partai politik yang diwakil. Saya ingin menyitir penutup pidato pelantikan Presiden Joko Widodo, pura babbara’ sompekku, pura tangkisi’ golikku, yang artinya layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang.



Ombak dan arus global kencang sekali. Karena itulah, domestic disturbance harus seminimal mungkin. Benturan antara kapten dan awak kapal harus ditekan seminim mungkin, terutama awak kapal yang berasal dari partai politik. Mereka harus bisa bekerja sama dan berada di jalur yang sama dan arahan yang sama dari presiden, bukan dari ketua partai politik.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya