SOLOPOS.COM - Ilustrasi intoleransi. (freepik)

Solopos.com, SOLO—Sempat terlintas di pikiranku saat mengikuti workshop literasi keberagaman untuk guru tentang betapa indahnya keberagaman itu. Aku membayangkan betapa indahnya hidup saling bertoleransi dalam keragaman di negeri tercinta Indonesia.

Bayangan itu muncul tatkala menyaksikan betapa hebat dan fasihnya semua yang hadir dalam acara tersebut. Baik narasumber maupun peserta sangat memahami betul pentingnya toleransi di Tanah Air.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tidak bisa dipungkiri, semua orang setuju bahwa toleransi patut dijaga demi menjaga keutuhan persaudaraan. Kita tak boleh memandang perbedaan sebagai perpecahan. Semua orang tahu toleransi merupakan kunci perdamaian bagi masyarakat Indonesia yang kaya akan keragaman, baik itu suku, ras, agama, sosial, politik, dan lainnya.

Namun, bayangan yang indah tadi sirna seketika karena ternyata berbeda dengan realita. Faktanya, pemahaman akan teori-teori toleransi yang banyak dikuasai warga Indonesia tidak berarti apa-apa saat kita menilik masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran dalam bentuk intoleransi.

Masih segar di ingatan kita sederetan kasus-kasus intoleransi yang terjadi pada akhir-akhir ini. contohnya pembakaran tempat ibadah, perusakan tempat ibadah, perusakan makam, pelarangan ibadah, pengeboman tempat ibadah, maupun kasus-kasus penistaan agama. Lucunya deretan kasus itu terjadi di tengah masyarakat yang tahu betul akan arti pentingnya toleransi.

Melihat fenomena yang ada, alangkah baiknya apabila pendidikan toleransi tidak diberikan secara teoritis saja, namun perlu juga dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Saat ini, kita sangat memerlukan keteladanan dari pemimpin negeri, pemimpin agama, maupun pemimpin-pemimpin di berbagai lini kehidupan.

Masyarakat benar-benar membutuhkan figur pemimpin yang mampu menanamkan nilai-nilai toleransi di tengah keberagaman. Ironi sekali kiranya di saat kita haus akan hadirnya teladan dari pemimpin, tokoh-tokoh maupun public figure justru memberikan contoh yang buruk.

Kita justru disuguhi tontonan praktik intoleransi yang dilakukan mereka. Sebagai contoh, banyak tokoh politik memainkan politik identitas demi mencari dukungan massa. Mereka memanfaatkan identitas agama, etnis, suku, dan budaya mayoritas demi menarik simpati masyarakat.

Teladan

Praktik seperti ini tentunya bisa menjadi jembatan perpecahan yang pasti mengancam persatuan dan kesatuan masyarakat di tengah keragaman yang ada. Dengan kondisi seperti ini, lagi-lagi kelompok minoritas lah yang selalu menjadi korban.

Jadi, sekali lagi, para tokoh sebagai panutan masyarakat justru memberi teladan yang tidak baik. Demi kepentingan politik, mereka mencabik-cabik kesatuan dan persatuan di tengah pluralisme.

Cara-cara mereka pun akhirnya diikuti oleh banyak orang, tidak hanya di bidang politik, tetapi juga do berbagai sendi-sendi kehidupan. Demi mendapatkan simpati, keuntungan, dan lain sebagainya.

Sekarang kita bisa melihat, banyak perusahaan yang mencari karyawan yang seagama, memilih teman maupun relasi dengan kesamaan latar belakang suku, bahkan yang lebih parah adalah perumahan, tempat indekos, rumah makan, bahkan makam pun punya agama.

Kondisi tersebut jelas akan menciptakan dikotomi di masyarakat yang akhirnya rentan menimbul perpecahan. Apabila kondisi ini dibiarkan, lambat laun toleransi yang kita yakini sebagai pemersatu keberagaman hanya menjadi mimpi.

Masyarakat jenuh disuguhi perselisihan, permusuhan, perseteruan, dan adu domba. Masyarakat merindukan agen-agen pembawa perdamaian. Kami juga haus figur pemimpin di negeri ini yang mau menjadi teladan yang baik dalam hal toleransi.

Penulis adalah guru di SMAN 1 Sukoharjo.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya