SOLOPOS.COM - Dua orang warga Desa Cangkol, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, mencanting atau menghiasi kain untuk dibuat batik dengan corak bunga, Selasa (2/10/2012). Tidak banyak warga setempat yang kini masih menekuni profesi sebagai pembuat batik tulis. (JIBI/SOLOPOS/Farid Syafrodhi)

Dua orang warga Desa Cangkol, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo,
mencanting atau menghiasi kain untuk dibuat batik dengan corak bunga,
Selasa (2/10/2012). Tidak banyak warga setempat yang kini masih menekuni
profesi sebagai pembuat batik tulis. (JIBI/SOLOPOS/Farid Syafrodhi)

Wilayah Bekonang, Sukoharjo, sempat dikenal sebagai salah satu sentra produksi batik tulis. Sekitar 50 tahun yang lalu, warga Desa Bekonang dan sekitarnya masih banyak yang berprofesi sebagai pembuat batik. Saat itu aktivitas warga yang membatik bisa dijumpai di banyak sudut Bekonang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Namun sayangnya belakangan aktivitas membatik itu makin sepi. Keterampilan orang-orang terdahulu dalam membuat batik, rupanya tidak selamanya berhasil diturunkan ke generasi berikutnya. Para generasi penerus itu lebih memilih profesi lain daripada menekuni batik. Untung saja, masih ada generasi penerus seperti misalnya pasangan suami istri, Harsono dan Yayuk. Mereka adalah generasi kedua yang mewarisi keterampilan membatik dari orangtuanya masing-masing. Mereka menjadi satu-satunya pengusaha batik yang mempertahankan batik tulis Bekonang.

“Di pinggir jalan Bekonang ada patung orang sedang menyanting. Kalau ada orang luar melihat patung itu, tentu berpikirnya mereka masuk ke desa sentra batik. Tapi pembatik yang ada sekarang tinggal sedikit,” ujar Yayuk saat ditemui Solopos.com. Ia dan suaminya sejak 30 tahun yang lalu sudah berkomitmen untuk tetap mempertahankan kekhasan batik tulis Bekonang. Hal itu mereka lakukan lantaran saat ini sudah tidak banyak warga yang berkecimpung membuat batik. Agar batik tersebut tidak punah, maka keduanya kini juga membina enam kelompok perajin batik di Desa Cangkol, Kecamatan Mojolaban. Setiap kelompok terdiri atas 10 orang.

Selain itu, untuk mempertahankan batik tulis tetap dikenal oleh masyarakat luas, Yayuk dan Harsono tidak berhenti berinovasi. Dulu ketika awal corak kayu manggis digandrungi masyarakat, sambung Yayuk, dia juga ikut membuat. Namun tak berhenti di situ, dia lalu menciptakan corak yang lain, misalnya yang terbaru adalah corak daun pohon talok. Bila ada kesempatan pameran batik, ia akan menampilkan corak baru tersebut kepada masyarakat. “Sebisa mungkin memakai pewarna alami dan pelan-pelan pewarna kimia kami tinggalkan, sebab kebanyakan orang saat ini memilih batik yang
menggunakan bahan pewarna alami,” terang Yayuk.

Hal serupa juga diungkapkan Harsono. Mempertahankan kekhasan batik tulis ternyata tidak mudah. Terlebih lagi saat ini sudah ada batik cap dan printing yang siap bersaing di pasaran dengan kain batik tulis. Bahkan pernah produk batik tulis milik Harsono dan Yayuk tidak laku di pasaran selama setahun. “Kami sempat terpuruk dan berpikir untuk
meninggalkan produksi batik tulis seperti warga lainnya. Tapi kalau ditinggalkan, sudah tidak akan ada lagi batik tulis khas Bekonang,” jelas Harsono.

Berbekal ketekunan dari tahun ke tahun, keduanya lalu bangkit dari keterpurukan itu. Walhasil, kain batik yang dulu pernah ditolak oleh para penjual kain batik di Jogja, Semarang, Solo, Salatiga dan daerah lainnya, kini berbalik arah. Justru para penjual batik yang dulu pernah mereka tawari itu, kini mencari-cari corak khas tersebut. Selain ke berbagai kota di Indonesia, sambung Harsono, kain batik bikinan brand rumah batik Adibusana yang dikelolanya, kini sudah menembus ke Malaysia dan Singapura. “Harapan kami simpel, agar batik makin dikenal banyak orang dari berbagai generasi,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya