SOLOPOS.COM - Air terlihat menggenangi bahu jalan yang menghubungkan Kota Solo dengan Kabupaten Sukoharjo di kawasan Tanjunganom, Solo, Minggu (19/6/2016). (Ivanovic Aldino/JIBI/Solopos)

Banjir Solo terjadi di 15 kelurahan.

Solopos.com, SOLO — Sebanyak 8.153 kepala keluarga (KK) dari 15 kelurahan di empat kecamatan Kota Bengawan terimbas banjir akibat hujan lebat wilayah Soloraya dan luapan Sungai Bengawan Solo, Sabtu-Minggu (18-19/6/2016). Sistem manajemen penanggulangan musibah banjir di Kota Bengawan mendesak diperbaiki.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Data yang dihimpun Solopos.com, dari Posko Penganggulangan Bencana Alam Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Solo, Minggu, ketinggian muka air Sungai Bengawan Solo sempat menembus 11,06 meter pada Minggu pukul 05.00 WIB.

Ketinggian muka air sungai terpanjang di Jawa tersebut berangsur-angsur turun pada Minggu siang sampai sore. Pada pukul 09.00 WIB, ketinggian air mencapai 10,32 meter. Sedangkan pada pukul 16.00 WIB, ketinggian air masih di level 9,3 meter. Dalam kondisi normal atau status aman, ketinggian Sungai Bengawan Solo diukur dari pintu air Jurug adalah 6,5 meter.

Kepala Pelaksana Harian BPBD Solo, Gatot Sutanto, menyatakan saat ini Solo berstatus siaga III banjir dan belum memasuki level darurat bencana.

“Kami mendapatkan warning dari BNPB, mulai Jumat-Senin [(17-20)] warga Jawa Tengah akan mengalami cuaca ekstrem,” terangnya saat ditemui wartawan di kantornya, Minggu siang.

Musibah Banjir

Gatot menyebutkan musibah banjir kali ini di luar prediksi berbagai pihak. “Biasanya banjir terjadi saat intensitas hujan masih tinggi seperti di April atau Mei. Tapi nyatanya datang di bulan Juni. Tinggi muka air di Sungai Bengawan Solo tertinggi selama lima tahun terakhir. Banjir di Juni juga jarang sekali,” tuturnya.

Dia pun mengakui penanganan banjir di Juni tahun ini kurang diantisipasi, baik masyarakat maupun pemerintah. Salah satu indikator belum optimalnya penanggulangan musibah banjir, dikatakan Gatot terletak pada belum meratanya pemberian bantuan logistik kepada ribuan korban banjir.

“Hasil pantauan kami, bantuan belum sepenuhnya merata karena datangnya air relatif cepat. Masyarakat terdampak juga kurang sigap. Informasi yang paling tahu itu sebenarnya dari lurah [sebagai pemangku kepentingan paling bawah]. Tapi susah koordinasinya,” jelasnya.

Gatot mendorong reformasi manajemen mitigasi bencana ke depan dengan membentuk desa tanggap bencana di sejumlah wilayah rawan bencana alam.

“Ke depan penanganan akan difokuskan ke kelurahan. Di sana akan dibentuk desa tangguh bencana. Nantinya dipetakan lokasi pengungsian yang sudah disepakati warga dan lurah. Ada data jumlah balita, lansia, dll. Sehingga ketika ada bencana siap.”

Menurut Gatot, dari 15 kelurahan di Pasarkliwon, Serengan, Jebres, dan Laweyan, wilayah terparah yang terdampak banjir kali ini berada di Kelurahan Joyotakan dengan ketinggian air rata-rata yang masuk rumah penduduk, mencapai dada orang dewasa. Sedangkan wilayah terdampak banjir terluas berada di Kelurahan Sangkrah, mencapai sedikitnya 732 KK.

Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Solo, Dono Tumpo, menambahkan dampak banjir di Solo Juni tahun ini hampir sama dengan banjir pada 2007 lalu. “Tahun 2015 lalu banjirnya memang lima kecamatan. Tapi cuma air lewat. Tahun ini [air singgah] cukup lama dan mengganggu masyarakat terdampak,” jelasnya.

Menurut Dono, banjir kali ini disebabkan intensitas hujan lebat dengan durasi lebih dari tiga jam yang melanda kawasan Soloraya, mulai Sabtu sore hingga Minggu dini hari. Padahal, aliran air mulai dari hulu sampai hilir anak sungai yang melintasi dalam kota juga sudah jenuh sehingga mengakibatkan back water.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya