SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (12/10/2018). Esai ini karya Indra Tranggono, peminat tema-tema kebudayaan yang tinggal di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah indra.tranggono23@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Derita bangsa kita bukan hanya karena gempa bumi dan tsunami di Lombok, Nusa Tenggara Barat, maupun di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Duka terdalam kita juga muncul karena semakin terpuruknya penalaran di republik ini akibat praksis politik yang semakin jauh dari peradaban.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Hoaks merajalela. Bukan hanya media sosial (media arus bawah) yang menyebarkan hoaks, tapi juga media arus utama. Koran, televisi, media online yang selama ini bekerja atas prinsip-prinsip jurnalisme kini begitu gampang meliput peristiwa-peristiwa yang belum tentu berbasis kebenaran.   

Kita kadang-kadang sulit membedakan mana hoaks dan mana berita yang benar. Hoaks, kita tahu, adalah informasi ngibul bin bohong. Hoaks dibuat berdasarkan narasi-narasi imajiner demi memengaruhi opini publik.

Ada sejumlah keuntungan yang bisa didapat, baik keuntungan material maupun imaterial (politik, kekuasaan, dukungan publik, dan lainnya). Berita adalah informasi yang diproduksi kerja jurnalisme. Basisnya adalah realitas sosiologis (fakta, data) dan realitas psikologis (pernyataan terkait peristiwa dari narasumber yang kredibel).

Hoaks memberikan racun kepada publik. Berita memberikan pengetahuan tentang persoalan-persoalan aktual masyarakat. Hoaks berpotensi mengancam kebudayaan karena sesat pikir yang ditimbulkan.

Persoalannya, kini hoaks jadi menu harian masyarakat, terutama yang bergantung pada media sosial. Ada jutaan orang yang berpotensi terpapar hoaks. Cara mengatasinya adalah dengan tidak membaca hoaks.

Artinya, dibutuhkan pandangan kritis sehingga mampu memilah dan memilih mana hoaks dan mana berita yang benar. Jika hal itu bisa dilakukan sebagai gerakan kebudayaan oleh publik, ”kiamat penalaran” pun bisa dicegah.

Gempa dan Tsunami

Jika paparan di atas menunjukkan bencana kebudayaan, esai ini akan membicarakan bencana riil. Nyata. Duka yang menggigit bangsa kita lainnya adalah dihantamnya masyarakat Lombok, Palu, dan Donggala oleh gempa dan tsunami. Ini bencana nyata.

Mereka yang akrab dengan penderitaan selalu dekat dengan Tuhan. Begitu pula saudara-saudara kita sesama anak bangsa di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, yang dihantam gempa dan tsunami.

Tuhan selalu dekat dengan orang-orang bertakwa dalam kondisi apa pun. Termasuk mereka yang tetap tawakal dalam deraan penderitaan akibat perubahan  yang timbul karena dinamika alam.

Dalam konteks keimanan kepada Tuhan, kehadiran perubahan alam bukan kutukan melainkan ujian yang memproses umat manusia meraih kualitas iman sekaligus kualitas kemanusiaan.

Alam merupakan ”buku besar pelajaran” bagi manusia. Tuhan selalu mengajari manusia agar mau belajar dalam berdialektika secara cerdas dengan alam. Artinya, manusia harus memahami bahwa alam tak pernah berhenti berproses demi menemukan kesimbangan baru, sesuai dengan hukumnya.

Lempeng bumi bergeser, gunung berupsi, dan air laut naik merupakan bagian dari proses itu. Manusialah yang harus pandai dan titen (cerdas membaca gejala-gejala alam berdasarkan pengetahuan dan pengalaman) terhadap ”perilaku” alam.

Perlu disadari, manusia bukan pemilik alam melainkan pihak yang nunut (menumpang) hidup di alam sehingga harus memahami hukum alam. Selama ini bacaan yang mengemuka terhadap alam cenderung memosisikan alam sebagai entitas besar yang statis.

Seolah-olah alam tidak berproses. Manusia cenderung mematok rasa aman atas  ”ancaman” dinamika alam. Tidak tahu bahwa di bawah bumi ada dinamika yang terus bergolak. Disebabkan mengabdi pada rasa aman dan sikap mapan itu, manusia cenderung kurang memahami hukum alam.

Dinamika Alam

Ketika terjadi gempa atau gunung meletus, manusia cenderung menganggap alam tidak bersahabat dengan mereka. Sebenarnya dinamika itu terjadi dalam periode tertentu, bisa puluhan tahun, bahkan ratusan tahun.

Selama alam ”diam” atau ”istirahat”, manusia bisa tinggal dengan nyaman. Bisa menjalahi kehidupan dengan limpahan sumber daya alam. Anugerah kenikmatan itu begitu cepat dilupakan ketika alam melakukan ”perhelatan” demi menemukan keseimbangan baru.

Orang-orang lalu salah kaprah menyebut ”bencana alam”. Lebih parah lagi, ”bencana alam” itu dipahami secara keliru sebagai ”kutukan Tuhan”. Hal ini sangat tidak adil dan memojokkan korban. Bencana alam adalah istilah yang kurang tepat.

Ketika bergolak dalam dinamikanya, alam tidak bermaksud menimbulkan bencana. Alam selalu punya niat baik, yaitu menjalani proses narturalnya. Karena itu, menurut hemat saya, istilah yang benar adalah perubahan alam, bukan bencana alam.

Perubahan tersebut menuntut manusia selalu mampu menyesuaikan diri. Bukan memaksa alam untuk ”manut” (menurut) kepada manusia. Derita yang kini menggigit masyarakat Palu juga sangat dirasakan bangsa kita.

 Solidaritas Sosial



Derita para korban selayaknya menumbuhkan rasa simpati dan empati kita. Solidaritas harus digerakkan demi membantu saudara-saudara kita, tanpa memandang agama, suku, ras, dan golongan.

Dalam konteks kemanusiaan, kemasyarakatan, dan kebangsaan, setiap penderitaan menuntut tanggung jawab moral. Moralitas tidak mengenal politik dan diskriminasi. Moralitas merupakan jalan untuk menemukan kebaikan bersama. Bukan kebaikan berbasis primordialisme.

Selama ini, dalam soal penggalangan solidaritas atas penderitaan korban akibat perubahan alam, bangsa kita sudah sangat terlatih dan cekat-ceket  (bekerja cepat) dalam mengatasi persoalan dengan hasil terukur.

Lihatlah dalam kasus gempa dan tsunami di Aceh (2004); gempa di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (2006); gempa di Lombok (2018);  dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa semangat komunal bangsa kita tetap tinggi.

Di tengah liberalisme yang gegap gempita dan masyarakat cenderung tereduksi menjadi individualis, bangsa kita tetap mendudukkan liyan atau the others sebagai bagian dari diri sendiri. Siapa pun sang  liyan itu layak diberi ruang dan dijamin hak-hak hidup dan berkembang mereka.   

Kita pun berharap penanganan yang cepat dan dengan hasil yang optimal bisa dilakukan untuk kasus Lombok, Palu, dan Donggala. Dampak dinamika alam yang menimbulkan korban merupakan keniscayaan karena kita harus tunduk kepada hukum-hukum alam.

Bencana politik dan budaya bukan keniscayaan karena bangsa kita bisa mencegah dan mengatasi. Mencegah berarti menempuh cara-cara politik dengan basis logika (kebenaran), etika (keadaban), moralitas (kebaikan), norma (pranata sosial), dan hukum.

Nasib dan masa depan bangsa ini jauh lebih penting daripada sekadar perebutan kekuasaan melalui pemilihan umum presiden. Politik harus tunduk kepada kebudayaan agar tidak menjelma jadi kewan galak yang memangsa anak-anak bangsa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya