SOLOPOS.COM - Rochmad Basuki (Istimewa)

Solopos.com, SOLO -- Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2020 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 5 Tahun 2020 menjadi landasan hokum melanjutjan tahapan pemilihan kepala daerah atau pilkada yang tertunda karena pandemi Covid-19.

Pilkada langsung yang digelar sejak 2005 merupakan realiasi dari kedaulatan rakyat. Dari sisi semangat yang melandasi dan tujuan yang hendak dicapai, pilkada langsung jelas baik untuk dijalankan dan hal ini menunjukkan ada peningkatan derajat demokratisasi di negeri ini.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Pilkada langsung menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan di posisi terhormat. Di situ pula prinsip bahwa kekuasan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat erat melekat. Dalam kenyataannya kita disuguhi perilaku-perilaku dari berbagai pihak yang ternyata merupakan paradoks dari demokrasi.

Kandidat pemimpin yang turut kontestasi berupaya meraup kemenangan dengan segala macam cara: memobilisasi massa, kampanye, sampai dengan praktik money politics atau politik uang. Hampir semua pilkada yang diselengarakan selama ini tak pernah lepas dari isu dan fenomena politik uang.

Ada banyak definisi tentang praktik politik uang. Marcus Miezner memaknai politik uang sebagai pemberian amplop (berisi uang) kepada orang yang datang di acara kampanye pemilihan umum. Amzulian Rifai memaknai politik uang adalah suatu tindakan memberikan sejumlah uang kepada warga negara agar memberikan suara kepada calon pemimpin yang memberi bayaran tersebut.

Makin maraknya praktik politik uang didukung kecenderungan masyarakat yang semakin permisif. Kekecewaan terhadap politikus-politikus yang terpilih menjadi wakil rakyat juga berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Selain itu, sistem pemilihan yang berorientasi pada kandidat juga memupuk tumbuhnya patronase dan klientilisme yang merupakan jalan lebar bagi bekerjanya politik uang.

Biaya untuk bertarung di pilkada telah menembus miliaran rupiah. Kekuatan swadaya kandidat (calon kepala daerah) atau partai politik tidak akan mampu menutup biaya politik tersebut. Situasi ini menjadi ruang potensial bagi para pemodal atau bandar untuk masuk dan bermain.

Ketika kandidat terpilih menjadi kepala daerah, ”kontrak” politik saat pilkada akan menjadi prioritas dengan menempatkan kepentingan masyarakat sebagai kepentingan yang sekunder. Konsep good governance yang melibatkan tiga aktor, yaitu pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, akan tercederai dengan ”perselingkuhan” aktor politik (pemerintah) dengan pihak swasta sehingga akan tercipta fairless (ketidakdilan) di masyarakat.

Situasi ini linier dengan kajian yang pernah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut KPK, untuk maju di pilkada sebagai kandidat kepala daerah membutuhkan biaya Rp20 miliar sampai dengan Rp30 miliar. Sementara harta kekayaan yang dimiliki para kandidat berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) rata-rata Rp6 miliar hingga Rp8 miliar.

Kekurangan biaya inilah yang mendorong para calon kepala daerah mencari sponsor dari kalangan pengusaha atau sektor swasta. Temuan yang sama pernah dirilis Badan Pelentian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. Rata-rata pengeluaran seorang calon kepala dalam pilkada berkisar Rp20 miliar hingga Rp100 miliar.

Sedangkan dana kas yang dimiliki oleh para kandidat rata-rata di Rp11,9 miliar. Karena hal itulah, bantuan keuangan dari para pemodal mau tidak mau harus diterima. Tentu saja dalam proses bantuan politik dari para pemodal dalam bentuk dana sampai dengan miliaran rupiah bukanlah biaya gratis atau karena faktor visi dan misi semata.

Seperti dalam ungkapan ”tidak ada makan siang gratis”, kita bisa bayangkan bagaimana para pemodal ini membiayai segala kebutuhan kandidat terutama kebutuhan dana kampanye, tetapi itu semua tidak akan ada artinya karena para pemodal tersebut akan mendapatkan proyek-proyek yang jumlahnya akan berlipat-lipat dari dana yang dikeluarkan apabila kandidat yang didukung menjadi penguasa daerah.

Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh para pemodal atau cukong menjadi mitra para politikus lokal dalam memburu para kandidat calon kepala daerah. Implikasi dari kehadiran para pemodal dalam pemilihan kepala daerah dapat dilihat pada proyek-proyek pemerintah yang dibiayai APBD.

Proyek-proyek ini secara langsung akan dinikmati oleh para pemodal atau cukong politik tersebut. Tender yang seharusnya dilakukan secara terbuka untuk sektor swasta dan untuk kepentingan masyarakat banyak akan termonopoli secara masif oleh para pemodal atau cukong politik sebagai bagian dari balas budi.

Penderitaan Rakyat

Negara melalui regulasi berusaha mengintervensi politik biaya tinggi tersebut dengan berbagai upaya dan cara. Pertama, pembiayaan kampanye oleh Negara. Pasal 65 ayat (2) UU No. 10/2016 menjelaskan kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota yang didanai APBD.

Kampanye tersebut meliputi debat publik/debat terbuka antarpasangan calon; penyebaran bahan kampanye kepada umum; pemasangan alat peraga; dan iklan di media massa cetak dan media massa elektronik. Ini membuat dana penyelenggaraan pilkada membengkak drastis.

Kedua, pembatasan belanja kampanye. Pasal 74 ayat (9) UU No. 10/2016 menyatakan pembatasan dana kampanye pasangan calon ditetapkan oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dengan mempertimbangkan jumlah pemilih, cakupan/luas wilayah, dan standar biaya daerah.

Ketiga, pemberian sanksi administrasi diskualifikasi sebagai pasangan calon di luar mekanisme pidana (double track procedure). Pasal 73 UU No. 10/2016 mengatur calon kepala daerah dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.

Calon kepala daerah yang terbukti melanggar sebagaimana dimaksud berdasarkan putusan Badan Pengawas Pemilihan Umum provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon. Dalam masa pandemi ini, biaya politik bisa menjadi lebih tinggi karena ada beberapa faktor yang memengaruhi.

Kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak bertemu dengan karakter pragmatis kandidat: menguatnya politik transaksioanl. Biaya politik makin tinggi. Komponen baru biaya kampanye berupa penyediaan alat pelindung diri. Bisa dilakukan efisiensi karena model kampanye yang berorientasi digital, namun hasil dari beberapa kajian menyimpulkan pemilih maupun kandidat lebih menyukai interaksi langsung.

Realitas politik berbiaya tinggi itulah yang menjadi latar belakang utama munculnya para pemodal atau cukong politik untuk membiayai calon kepala daerah di pilkada. Perlu kita cermati juga bahwa kita lebih banyak mendengar berita mengenai kepala daerah yang ditangkap KPK dibandingkan dengan kepala daerah yang diberitakan karena penghargaan atau prestasi.

Dalam catatan KPK per tanggal 9 Oktober 2019, sebanyak 114 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Hal ini tentu harus kita sadari bersama bahwa keberadaan pemodal atau cukong merupakan skema pergeseran bentuk politik uang akibat kegagalan para broker dalam mendistribusikan politik uang, sehingga para kandidat akan mencari sumber pendanaan lain yang bersifat informal dan memiliki keterikatan ekonomi yang pasti

Masyarakat hari ini harus benar-benar diberi pendidikan politik mengenai bahaya politik uang dan diajak menolak politik uang. Seluruh lapisan masyarakat baik itu penyelenggara pemilihan umum, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat harus turut bekerja sama memerangi politik uang.



Politik uang merupakan cacat bagi demokrasi prosedural di Indonesia. Menjadi tugas kita bersama untuk berjuang melawan politik uang atau money politics karena pada hakikatnya seorang pemimpin yang terpilih karena vote buying atau politik uang secara langsung maupun tidak langsung telah mengkhianati pemilih dan dalam jangka panjang telah membusukkan hakikat demokrasi itu sendiri.

Kita berharap para pemimpin daerah yang nanti terpilih dalam pilkada serentak tahun 2020 benar-benar merupakan pemimpin yang secara rasional dipilih karena visi dan misi, bukan pemimpin yang akan menambah penderitaan rakyat yang sudah terpuruk karena pandemi Covid-19 yang sampai sekarang belum diketahui kapan akan berakhir.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya