SOLOPOS.COM - Joko Riyanto Alumnus Fakultas Hukum UNS-Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Joko Riyanto
Alumnus Fakultas Hukum UNS-Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Sebuah berita yang cukup mengejutkan akhir-akhir ini adalah ditemukannya bakso yang dioplos dengan daging babi atau celeng. Selain mengoplos bakso menggunakan daging babi, pada kemasan bakso tersebut juga terdapat label halal MUI (Majelis Ulama Indonesia). Logo tersebut berada di sebelah kanan kemasan bakso dengan corak warna biru. Berita tersebut sangat mencemaskan masyarakat terutama para penggemar bakso. Terkhusus bagi umat Islam, karena daging babi diharamkan untuk dimakan. Mengoplos daging babi dengan daging sapi sungguh perbuatan biadab dan tak bermoral, hanya mementingkan keuntungan ekonomi belaka tanpa memperhatikan efek negatifnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Persoalan pengoplosan bakso daging sapi dengan daging babi tidak hanya karena mahalnya daging sapi atau murahnya daging babi, tetapi ada “keyakinan” dari para pedagang bakso atau pedagang makanan bahwa daging babi itu memang lezat bila dimakan. Tentu pengaruh kelezatan inilah yang kemudian mendorong ide kreatif dari para pedagang makanan/pedagang bakso secara sembunyi-sembunyi kemudian mengoplos dengan daging babi tanpa memikirkan dampak keributan yang lebih besar yang bakal ditimbulkannya.

Ini artinya, teror makanan berbahaya di sekitar kita! Produk makanan berbahaya ternyata dapat dijual bebas. Anehnya produsen dan pengusaha makanan seperti tidak merasa berdosa memasukkan unsur zat-zat berbahaya tadi ke dalam makanan olahan yang dikonsumsi masyarakat. Kalangan pedagang makanan menyatakan tahu akan dampak bahaya yang disebabkan oleh daging babi atau pengawet-pengawet makanan yang mereka campur (oplos) dengan daging (makanan) yang dijual, namun tetap menggunakannya. Hal ini terjadi karena demi omzet dan memprioritaskan penjualan produk sehingga uang di atas segalanya sehingga produsen rela mengorbankan kesehatan orang lain.

Ironisnya, para konsumen tak menyadari bahaya yang mengancam kesehatan bahkan keselamatan jiwa akibat kandungan daging babi atau bahan berbahaya dari makanan tersebut. Di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen seakan tak menyadari teror makanan berbahaya yang mengancam. Hal ini menunjukkan susahnya jadi konsumen pangan di Indonesia karena setiap saat selalu diperhadapkan dengan bahaya di balik berbagai jenis makanan dan minuman.

Selain merupakan daging yang mengandung kolesterol tertinggi, daging babi juga menjadi mediator “mujarab” bagi tempat berpindahnya puluhan penyakit yang semula ada dalam hewan babi untuk kemudian pindah ke dalam tubuh manusia. Seorang ilmuwan Jerman Dr Murad Hoffman dalam bukunya menyatakan bahwa memakan dading babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolesterol dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh yang mengakibatkan kemungkinan terserang kanker, usus, iritasi kulit, eksim dan rematik (Cecep Hidayat, 2012).

Keterbatasan ekonomi disinyalir masih merupakan salah satu faktor utama yang mendorong masyarakat mengonsumsi produk makanan dalam bentuk harga yang murah tanpa disertai sikap waspada. Selain faktor ketidaktahuan masyarakat terhadap keamanan, kelayakan dan mutu produk makanan serta masih minimnya sistem pengawasan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan) dan jajaran Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) termasuk sistem penegakan hukum (law enforcement).

Meskipun pihak BPOM dan pihak terkait sering melakukan pengawasan, sidak dan razia serta menemukan makanan berbahaya dan bakso babi, tapi pihak pengedar dan produsen jarang mendapat sanksi sesuai undang-undang yang berlaku. Karena tak pernah dihukum, ditambah dengan kondisi masyarakat yang saat ini sedang mengalami krisis kepercayaan, mengakibatkan di setiap aspek kehidupan kerap terjadi kebohongan publik guna meraup untung besar.

Sebenarnya, dalam UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen ditegaskan bahwa konsumen memili hak informasi atas produk tertentu. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur atas suatu produk sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf c UU No 8/1999 merupakan suatu hak yang penting bagi konsumen. Adanya hak informasi produk bagi konsumen, di pihak produsen menimbulkan kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas, jujur kepada konsumen (Pasal 7 huruf b). Sayangnya, hak informasi ini terabaikan.

Di sisi lain, pengawasan yang dilakukan BPOM dan pihak terkait kurang efektif. Mereka hanya melakukan pola kerja yang ritual dan rutin, yaitu menggelar operasi makanan berbahaya dan daging berformalin atau oplosan menjelang perayaan hari besar saja. Itu pun hanya dilakukan pada tempat belanja yang besar, sedangkan yang kecil dan rumah produksi luput dari pengawasan. Dengan demikian, perlindungan terhadap konsumen sangat lemah.

Perbuatan mengoplos bakso dengan daging babi jelas melanggar Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen tentang komposisi yang dicantumkan dalam label makanan. Produsen dianggap tidak jujur karena menuliskan daging sapi pada kemasan, padahal setelah uji tes laboratorium, bakso tersebut mengandung bahan dasar daging babi. Produsen bakso babi bisa dikenakan sanksi hukum denda sebesar Rp2 miliar atau penjara maksimal 5 tahun.

Hemat saya, pemerintah perlu menindak tegas produsen, pengrajin, pengedar, penjual dan pihak terkait bakso babi dengan mengajukan mereka ke pengadilan sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap perlindungan konsumen pangan. Menindak secara tegas sesuai dengan hukum yang berlaku akan memberi efek jera. Selama ini, pelaku pengedar makanan berbahaya di pengadilan dianggap sebagai tindak pidana ringan. Bukankah makanan berbahaya seperti bakso babi berisiko menimbulkan penyakit yang bisa memakan korban jiwa?

Pemerintah harus segera mengambil andil untuk masalah bakso oplosan tersebut. Bakso dengan bahan daging babi juga harus segera ditarik dari pasaran agar tidak merugikan konsumen. Pemerintah harus konsisten memberi perlindungan kepada konsumen pangan mengingat hak konsumen kerap dilanggar oleh kekuatan bisnis makanan yang menjanjikan keuntungan besar. Perangkat hukumnya sudah ada, yakni PP No 69/1999 tentang Pelabelan Pangan, UU No 7/1996 tentang Pangan, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No 36/2009 tentang Kesehatan.

Selanjutnya, dibutuhkan upaya yang sistematis dari pemerintah, BPOM, MUI, YLKI, produsen dan masyarakat untuk mengantisipasi penjualan bakso babi dan makanan serta minuman yang berbahaya. Masyarakat juga harus bisa selektif mungkin dalam membeli bakso dan produk makanan serta minuman. Sementara bagi produsen dan pelaku usaha, perlu ditumbuhkan sikap yang jujur dan bertanggung jawab, menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi serta meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin.

Penulis adalah Alumnus Fakultas Hukum UNS -Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya