SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (1/10/2018). Esai ini karya Suwarmin, jurnalis Harian Solopos. Alamat e-mail penulis adalah suwarmin@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO — Dunia politik mempunyai 1.000 wajah dengan jutaan persepsi. Politik adalah kumpulan simbol, warna, nuansa, dan aroma, dengan segala pemaknaan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Orang tentu masih ingat baju kotak-kotak dengan paduan warna merah, biru, dan putih. Baju itu menjadi tren, cepat menyebar, bukan hanya dikenakan Joko Widodo, namun menjadi semacam seragam bagi para pendukungnya.

Pada pemilihan presiden 2014, baju kotak-kotak itu masih sayup-sayup mewarnai. Jokowi saat itu berganti gaya.  Dia mulai memperkenalkan “identitas” baru dengan mengenakan baju putih lengan panjang yang setengah digulung, tanpa dimasukkan ke dalam celana.

Tahun lalu, saat pemilihan gubernur DKI Jakarta, Partai Demokrat keberatan ketika  calon wakil gubernur DKI Jakarta nomor urut 3, Sandiaga Uno, mengenakan pakaian tacticool yang merupakan ciri khas Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni.

Heterogen

Di tengah masyarakat Indonesia yang heterogen dan sangat majemuk dengan perbedaan primordial, baju yang dipersepsikan sebagai identitas seorang figur atau tokoh menjadi semacam penghubung kesamaan sikap.

Baju politik semacam ini menjadi kartu truf di tengah masyarakat kita yang belum bisa diajak berpikir terlalu rumit. Masyarakat belum bisa memaknai isu kebijakan fiskal atau pendekatan penanganan kemiskinan sebagai pendekatan kampanye kandidat pemimpin.

Kompetisi politik hampir selalu berupa kompetisi tentang citra diri. Baju politik menjadi bagian bangunan citra itu. Citra lainnya bisa apa saja pilihan narasi kampanye, pilihan perilaku, simbol-simbol tertentu, termasuk di dalamnya salam jari.

Wajar orang yang akan turun ke gelanggang politik memasang seluruh gelar akademik yang dipunyai. Gelar keagamaan tak lupa disandingkan. Jika perlu, sebelum kampanye dimulai orang ”belanja” gelar dulu. Ini bukan semata-mata mereka mencari pengakuan.

Jangan heran pula jika dalam kampanye pemilihan umum, politikus menggendong dan mencium bayi. Itu jamak dilakukan bukan hanya di negeri ini, bahkan aktor-aktor politik negara-negara Eropa dan Amerika pun melakukan taktik ini.

Di Indonesia, kini lazim aktor politik blusukan ke pasar tradisional atau beranjangsana ke permukiman warga di gang-gang sempit. Ini adalah bagian dari membangun citra diri. Ini upaya membangun persepsi, menggaet pasar pemilih, mempersamakan diri dengan pemilih.

Ini adalah bagian dari upaya membangun brand awareness di pasar politik. Jika si tokoh menjadi top of mind di benak mayoritas pemilih, hampir pasti kemenangan bisa direngkuh.

Kalangan ahli mengartikan citra diri sebagai persepsi orang lain dan karakteristik tertentu yang melekat pada diri seseorang. Burns (1993) mengatakan citra diri merupakan gambaran yang dimiliki seeorang tentang dirinya sendiri sebagai makhluk yang berfisik.

Bukan Produk Instan

Citra diri sering dikaitkan dengan karakteristik-karakteristik fisik termasuk di dalamnya penampilan seseorang secara umum, ukuran tubuh, cara berpakaian, model rambut, dan pemakaian kosmetik.

Menurut Maltz (1996), citra diri adalah konsepsi seseorang mengenai orang macam apa dirinya. Citra diri bukan produk instan, melainkan produk masa lalu seseorang, termasuk keberhasilan dan kegagalan, penghinaan, penghormatan dirinya, serta bagaimana orang lain bereaksi kepada dirinya.

Seseorang dengan rekam jejak yang banyak dan baik, seseorang dengan tingkat pengabdian yang baik kepada masyarakat, mestinya mempunyai tingkat popularitas dan elektablitas yang tinggi.

Sekilas urusan baju mungkin bisa masuk dalam bahasan citra diri. Citra diri yang melekat pada baju kotak-kotak Joko
Widodo atau baju tacticool AHY adalah sesuatu yang cair dan tidak terukur. Untuk kepentingan regulasi, sudah pasti diperlukan batasan ”citra diri” yang terukur dan tidak ambigu.

Dalam petunjuk teknis kampanye yang dikeluarkan Gugus Tugas Bersama yang mencakup Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Dewan Pers, yang dimaksud citra diri dalam kampanye adalah logo partai politik dan nomor urut partai politik.

Citra diri calon presiden dan calon presiden adalah nomor urut dan foto atau gambar. Aturan ini terkait jadwal kampanye di media massa yang hanya dibatasi 21 hari, 24 Maret-13 April 2019. Di luar jadwal itu, peserta pemilihan umum dilarang memunculkan citra diri di media massa.

Di sinilah celah seni berkampanye diperlukan. Waktu kampanye yang panjang, namun durasi kampanye di media massa yang relatif singkat, arus kampanye bisa dimainkan melalui simbol-simbol politik yang tidak bisa dibaca sebagai citra diri versi KPU, misalnya baju politik, narasi politik, salam politik, dan lain-lain.

Kemungkinan besar masih akan muncul bumbu-bumbu politik identitas. Mari menikmati kontestasi politik ini secara sehat dan cerdas. Jika ada yang terasa bikin kesal atau marah, ingatlah, ini hanya soal politik: mereka yang bersaing sekarang bisa saja akan bersanding pada masa mendatang.

Jika ada yang terasa kebangeten, ingatlah, ini hanya panggung politik. Mungkin ada di antara mereka yang diminta menjadi gelandang perusak irama permainan lawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya