SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Mulyanto Utomo
Wartawan SOLOPOS. (FOTO/Istimewa)

Sahabat saya, Raden Mas Suloyo, tiba-tiba membuat istilah baru, ”kaderisasi koruptor”, ketika Sabtu malam Minggu lalu, seperti biasa, kami ngudarasa di warung hik News Café di kampung saya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Lema baru, ”kaderisasi koruptor”, itu meluncur dari mulut Denmas Suloyo ketika diskusi kelas kampung kami gayeng membahas sang jenderal polisi yang menjadi tersangka kasus korupsi, memiliki istri muda mantan Puteri Solo dan harta berlimpah-limpah, termasuk yang di dekat rumah kami semua.

Elok tenan ya Pak Jenderal ini. Bayangkan, kita sampai tidak tahu hlo kalau punya tetangga jenderal, padahal rumahnya magrong-magrong di dekat sini. Jabatan terakhirnya Gubernur Akpol. Itu kan kira-kira seperti kepala sekolah gitu, ta? Hla, kalau kepala sekolahnya terindikasi melakukan tindak korupsi begitu apa tidak berbahaya… bisa-bisa terjadi kaderisasi koruptor,” papar Denmas Suloyo panjang lebar.

Kuwi apa meneh ta, Denmas, istilah kok ’kaderisasi koruptor’, ada-ada saja sampeyan ini. Kaderisasi itu kan biasanya kepada hal-hal yang positif. Masak kaderisasi kok koruptor,” kata Mas Wartonegoro, kawan akrab Denmas Suloyo, sesaat mendengarkan kalimat pembuka Denmas Suloyo.

”Loh ini penting! Bayangkan, di negeri kita ini kasus korupsi kok tidak ada berhentinya. Seperti mati satu tumbuh seribu. Apa ini bukan karena ada ’kaderisasi koruptor’… ada orang-orang yang di atas sana, para elite, para pejabat, melakukan tindakan sistematis sehingga koruptor sulit dibernatas, diwariskan secara turun-temurun karena ada yang mengader,” kata Denmas Suloyo dengan opini liarnya walau terkadang waton sulaya.

Ayaksampeyan ini thik tambah ngedab-edabi gitu. Sudahlah kalau bicara yang konkret saja, biar kami ini bisa paham jalan pikiran panjenengan itu,” timpal Mas Wartonegoro.

”Ya sudah jelas, ta, apa yang saya sampaikan. Ketika korupsi itu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wewenang, jabatan, bahkan posisi strategis dalam sebuah instrumen negara, apalagi jika lembaga itu sebuah institusi pendidikan, tambah rusaklah negeri kita. Tambah merebaklah korupsi di Republik ini,” jelas Denmas Suloyo.

“Logikanya bagaimana, Denmas?” tanya saya.

“Misalnya, karena sang koruptor tadi kepala sekolah, sudah telanjur kaya raya, punya istri muda, cantik lagi, butuh biaya perawatan yang tinggi pula… maka tidak menutup kemungkinan dia akan terus-menerus melakukan korupsi, wong kalau mengandalkan gaji jelas tidak cukup. Misalnya, dengan mengutip sekian puluh juta rupiah setiap siswa yang mau sekolah di tempat dia. Nah, si siswa yang bersedia membayar tinggi, ketika sudah lulus nanti pasti akan mencari uang pengganti… maka dia sudah sejak dini pasti sudah berencana korupsi. Apa hal itu tidak sama dengan kaderisasi korupsi?” kata Denmas Suloyo panjang lebar.

Kami yang mendengar logika berpikir Denmas Suloyo pun tertawa bersama, sembari manggut-manggut. “Ha.. ha.. ha… benar juga analisa sampeyan itu. Untungnya tindakan Pak Kepala Sekolah cepat ketahuan ya…” kata Mas Wartonegoro.

Begitulah obrolan kelas kampung di lincak warung hik kami. Sekumpulan warga ngobrol untuk melepas penat, berdiskusi dengan tema sekenanya. Sekali pun tidak dilandasi teori-teori ilmiah, apa yang menjadi buah pikiran masyarakat kelas bawah ini sering kali justru melegakan hati.

Membuat kami puas menyampaikan unek-unek, keluh kesah diselingi tawa terbahak-bahak. Semua sadar apa yang kami diskusikan sebatas sebuah obrolan yang tidak membawa efek besar bagi perubahan negeri.

Namun, jika kita cermati, apa yang keluar dari benak rakyat paling bawah seperti Denmas Suloyo, Mas Wartonegoro dan kawan-kawan mereka, bisa jadi juga merupakan buah pikiran banyak warga di negeri ini. Ketika rakyat telah muak, jenuh, jemu dengan perilaku korup para elite maka revolusi bisa saja kembali terjadi.

 

Keuntungan Pribadi

Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan! Itulah kalimat sakti yang bisa jadi akan membuat negeri ini berjuang lagi dari titik nol. Korupsi, menurut Kartono (1983), adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.

Korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.

Saya kutip tulisan akademisi dari Universitas Sumatera Utara, Erika Revida, yang menyatakan bahwa pada kenyataannya korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, akibat sulitnya memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak, sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti.

Namun, ekses perbuatan korupsi merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Korupsi adalah produk dari sikap hidup seseorang/kelompok yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak.

Akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi di mata masyarakat. Kalau sudah begini, betapa besarnya bahaya kerusakan yang ditimbulkan para koruptor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya