SOLOPOS.COM - Siti Isnaniah, Dosen IAIN Surakarta Kandidat Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret. (FOTO/Istimewa)

Siti Isnaniah, Dosen IAIN Surakarta Kandidat Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret. (FOTO/Istimewa)

Setiap 21 Februari masyarakat internasional merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional atau International Mother Language Day. Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional ditetapkan oleh UNESCO (badan PBB tentang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan) pada 21 Februari 1999 sebagai upaya pelestarian bahasa daerah yang terancam punah karena ditinggalkan penuturnya. Bahasa daerah ditinggalkan penuturnya akibat globalisasi dan perkembangan teknologi.
Pada 2008 jumlah bahasa di dunia 6.912. Dari sejumlah itu, Indonesia menduduki peringkat kedua (741 bahasa) setelah Papua New Guinea (820 bahasa). Sebagian besar dari 741 bahasa itu adalah bahasa daerah dan yang paling banyak penuturnya adalah bahasa Jawa. Dalam Summer Institute of Linguistics 2006 disebutkan tentang peringkat bahasa dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia.
Peringkat tersebut menunjukkan bahasa Jawa 75,6 juta penutur, bahasa Sunda 27 juta penutur, bahasa Indonesia 17,1 juta penutur (140 juta penutur sebagai bahasa kedua), bahasa Madura 13,7 juta penutur, bahasa Minangkabau 6,5 juta penutur, bahasa Batak 6,2 juta penutur, bahasa Bali 3,8 juta penutur, bahasa Bugis kurang dari 4 juta penutur, bahasa Aceh 3 juta penutur, bahasa Betawi/Kreol 2,7 juta penutur, bahasa Sasak 2,1 juta penutur, bahasa Makassar 2 juta penutur, bahasa Lampung kurang dari 1,5 juta penutur dan bahasa Rejang kurang dari 1 juta penutur.
Bahasa Jawa memang paling banyak penuturnya karena masyarakat Indonesia kebanyakan suku Jawa. Bahkan, di Suriname, bahasa Jawa masih tetap digunakan. Walaupun bahasa Jawa tidak terancam punah, tetapi jika tidak dilestarikan, lambat-laun juga akan punah. Salah satu indikatornya adalah semakin banyaknya keluarga (terutama pasangan muda) yang tidak menguasai bahasa Jawa dalam pergaulan sehari-hari sehingga tidak mengajarkannya kepada putra-putri mereka.
Bahasa daerah yang tidak dilestarikan dikhawatirkan akan punah. Berdasarkan hasil penelitian guru besar Fakultas Sastra UNS, Edi Subroto, sedikitnya 700 bahasa daerah bisa punah dalam waktu tak terlalu lama. Menurut Direktur Jenderal UNESCO, Koichiri Matsuura, pelestarian bahasa daerah perlu dilakukan di Indonesia karena 741 dari 6.912 bahasa ibu di dunia terdapat di Indonesia. Upaya pelestarian bahasa daerah sebagai bahasa ibu harus benar-benar diupayakan karena potensi kepunahan bahasa-bahasa daerah terjadi sangat cepat (Stephen A Wurm: 2001).
Menurut Arief Rachman, kepunahan bahasa daerah di Indonesia di antaranya ditunjukkan data satu dari 50 bahasa daerah di Kalimantan terancam punah, dua dari 13 bahasa daerah di Sumatra terancam punah dan satu bahasa sudah punah. Di Jawa tidak ada bahasa daerah yang terancam punah. Sementara di Sulawesi, 36 dari 110 bahasa daerah terancam punah dan satu bahasa sudah punah. Di Maluku, 22 dari 80 bahasa daerah terancam punah dan 11 bahasa sudah punah.
Di Flores, Timor, Bima dan Sumbawa, delapan dari 50 bahasa daerah terancam punah. Di Papua dan Halmahera, 56 dari 271 bahasa daerah terancam punah. Tetapi, di Papua, sembilan bahasa dinyatakan telah punah, 32 bahasa segera punah dan 208 bahasa terancam punah.
Berdasarkan hasil penelitian Arief Rachman, kondisi tersebut diperparah dengan 72,5% siswa di beberapa SMA di Jakarta tidak menggunakan bahasa daerah untuk komunikasi dalam keluarga karena kebanyakan orangtua menganggapnya tidak penting. Bahasa yang berkembang di sana adalah bahasa prokem dan asing supaya dianggap modern.
Itulah yang menjadi hal penting dan mendasar dari peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional. Jika bukan kita, siapa lagi yang akan peduli dengan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Perlu diingat bahwa sifat dari bahasa adalah universal (menerima masukan atau serapan dari bahasa lain) dan diversity (tertutup/tidak mau menerima serapan dari bahasa lain) sehingga ditinggalkan atau penuturnya sangat sedikit, contohnya adalah bahasa Kawi. Saat ini jarang generasi muda yang bisa berbahasa Kawi. Bahasa Jawa secara umum saja tidak bisa apalagi bahasa Kawi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Akuisisi Bahasa
Kepentingan lain dari peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional adalah peran seorang ibu dalam mendidik anak untuk menguasai bahasa. Bahasa yang dikuasai ibu tentu akan diajarkan kepada putra-putrinya. Jadi, jika ibu tidak menguasai bahasa daerah, anak yang notabene sebagai generasi penerus juga tidak akan menguasainya.
Penguasaan bahasa pertama kali oleh anak disebut pemerolehan atau akuisisi bahasa. Hitam-putihnya bahasa pertama anak sangat tergantung dari kompetensi bahasa ibunya. Ada tiga teori pemerolehan bahasa. Pertama, mentalistik yakni setiap anak yang lahir ke dunia memiliki kemampuan berbahasa. Chomsky dan Miller (1957) menyatakan sejak lahir anak memiliki alat untuk berbahasa yang disebut language acquisition device (LAD) yang berfungsi memungkinkan anak memeroleh bahasa ibunya.
Pada masa ini, ujaran-ujaran anak tergantung dari apa yang didengarnya dan biasanya berbentuk tahap ujaran satu kata atau holofrasis. Pada tahap ini, bahasa ibu sangat berperan dan penguasaan bahasa oleh anak diperoleh secara alamiah. Anak selalu menirukan bahasa-bahasa di sekelilingnya, terutama ibunya. Kalau yang keluar dari mulut ibunya berupa kata-kata yang baik, anak juga akan berkata baik, demikian pula sebaliknya.
Kedua, kognitif yaitu turunan dari mentalistik. Penguasaan bahasa anak merupakan hasil proses kognitif yang terus berkembang. Jean Piaget (1954) menyatakan bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif.
Ketiga, behavioristik yaitu anak yang lahir tidak membawa kompetensi berbahasa, tetapi lingkunganlah yang akan memengaruhi bahasa anak. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa anak diperoleh secara sengaja dari pengalaman dan proses belajar di sekolah. Banyak kasus anak yang bahasa pertamanya bahasa Indonesia, sedangkan bahasa keduanya justru bahasa Jawa/ daerah. Bahasa Jawa/ daerah diperoleh di sekolah hanya sebagai tuntutan kurikulum muatan lokal sehingga lambat-laun bahasa Jawa/daerah pasti juga akan punah.
Kesadaran dan penguasaan bahasa daerah sebagai bahasa ibu perlu tertanam kuat di hati anak/generasi muda sehingga dengan sendirinya akan tumbuh rasa bangga menggunakan dan memelihara bahasa daerah. Ada beberapa upaya revitalisasi, pelestarian dan pengembangan bahasa daerah. Di antaranya pendokumentasian bahasa ibu, penyusunan kamus bahasa ibu, memasukkan dan memopulerkan kata-kata dalam bahasa ibu ke dalam bahasa Indonesia, penyusunan modul bahasa daerah, pembelajaran bahasa daerah yang komunikatif di sekolah dan melakukan kreativitas dalam penggunaan bahasa.
Jika hal-hal tersebut bisa terlaksana dengan baik, bahasa daerah tetap akan lestari dan hidup di masyarakat. Diperlukan kerja sama yang baik antara berbagai pihak, terutama pemerintah dan masyarakat untuk menjaga dan melestarikan eksistensi bahasa ibu sebagai bahasa  daerah, baik dalam bidang hukum, pendidikan, sosial-budaya, perekonomian, maupun komunikasi terutama media. Selamat Hari Bahasa Ibu Internasional!

Ekspedisi Mudik 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya