SOLOPOS.COM - Siswa SMKN 1 Tanjungsari mengevakuasi perabot dan arsip sekolah di Desa Kemadang, Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul, DI. Yogyakarta, Selasa (28/11/2017). (Desi Suryanto/JIB/Bisnis)

Skenario penanganan bencana banjir di DIY perlu ditinjau ulang agar jika peristiwa banjir besar terjadi ke depannya dapat meminimalisasi jumlah korban

Harianjogja.com, SLEMAN – Skenario penanganan bencana banjir di DIY perlu ditinjau ulang agar jika peristiwa banjir besar terjadi ke depannya dapat meminimalisasi jumlah korban. Aturan pendirian bangunan juga harus diperketat dalam rangka menahan air masuk ke dalam tanah di area pemukiman dan tidak seluruhnya masuk ke sungai.

Promosi Ada BDSM di Kasus Pembunuhan Sadis Mahasiswa UMY

Kepala Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada (UGM) Djati Mardiatno menjelaskan, luapan sungai oya yang terjadi di Gunungkidul diyakini tak pernah terprediksikan oleh masyarakat maupun pemerintah, karena jarang terjadi. Skenario mitigasi yang disusun pemerintah biasanya hanya mendasar pada peristiwa sebelumnya.

Oleh karena itu, perencanaan mitigasi tersebut harus ditinjau ulang dengan mendasarkan pada kejadian banjir besar akibat badai cempaka tersebut. Mitigasi melalui persiapan penanganan kasus terburuk perlu dilakukan untuk meminimalisasi jumlah korban jiwa maupun materi.

“Skenario penanganan kedaruratan harus ditinjau ulang, harus berbasis pada kasus terburuk. Sungai Oya Gunungkidul memang tidak pernah diperkirakan seekstrem itu, termasuk jembatan putus tentu tidak diperkirakan sebelumnya, sehingga skenario antisipasinya belum sampai pada situasi ekstrim itu. Tetapi yang harus dipertimbangkan seharusnya adalah bahwa di sana ada potensi kesana [luapan menimbulkan banjir besar],” terangnya saat ditemui Kantor PSBA UGM, Jalan Mahoni Kompleks Bulaksumur C UGM, Depok, Sleman, Rabu (29/11/2017).

Ia menambahkan, titik rawan banjir di DIY, sebagian besar didominasi di pinggiran sungai, seperti di Bantul, Kulonprogo dan Kota Jogja. Salah satu titik di Bantul yang harus menjadi perhatian adalah ruas sungai setelah pertemuan antara Oya dan Opak kawasan Imogiri.

Karena secara logika, debit air akan bertambah di ruas tersebut karena persatuan kedua sungai. Selain itu, Sungai Progo juga harus dimasukkan kawasan rawan banjir meski pada kejadian kali ini tak banyak memakan korban dibandingkan Oya dan Opak.

Pihaknya sudah pernah menyampaikan kerawanan pertemuan Oya dan Opak itu kepada pemerintah. Mitigasi yang perlu dilakukan yaitu memberikan kesadaran kepada warga bahwa tempat tinggal di sekitar sungai tersebut sangat rawan banjir.

“Kalau relokasi tidak mudah, maka harus disadarkan bawah kawasan itu rawan, sewaktu-waktu bisa terjadi banjir besar. Sosialisasi dan simulasi bencana banjir harus digalakkan. Banjir memang jarang disimulasikan, karena banjir bisa diprediksikan, sehingga sebenarnya masa ada space waktu melakukan evakuasi,” ungkap dia.

Sedangkan, untuk kawasan Kota Jogja merupakan banjir perkotaan yang sering diakibatkan karena buruknya drainase. Melalui IMB sebenarnya pemerintah sudah memiliki aturan terkait pendirian bangunan secara detail. Namun tak semua warga dapat mematuhinya terutama berkaitan dengan pembuatan resapan air hujan.

Djati menambahkan, terkait dengan longsor, pihaknya memetakan kerawanan utama ada di Kulonprogo terutama di perbukitan menoreh, disusul Gunungkidul bagian utara dan Bantul sisi timur. Menurutnya, Kulonprogo paling rawan karena berdasarkan pengamatannya, jumlah pemukiman banyak di kawasan perbukitan.

Pemerintah sendiri telah memasang sejumlah alat peringatan dini longsor. Namun terpenting, pemahaman masyarakat terkait deteksi longsor juga perlu digencarkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya