SOLOPOS.COM - Ilustrasi, JEMAAH--Umat Islam sedang menunaikan salat jemaah. Mereka bersegera memenuhi panggilan azan. Melalui azan itu, umat muslim diajak belajar disiplin. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Ilustrasi, JEMAAH--Umat Islam sedang menunaikan salat jemaah. Mereka bersegera memenuhi panggilan azan. Melalui azan itu, umat muslim diajak belajar disiplin. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Azan atau pengajian di masjid, musala atau surau di Indonesia meniscayakan pengeras suara. Tradisi azan dan pengajian dengan pengeras suara ini boleh dikatakan merupakan ”identitas” Islam di Indonesia.

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Identitas ini dipersoalkan Wakil Presiden (Wapres) Boediono ketika memberikan arahan dalam pembukaan Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Jumat (27/4/2012) lalu.

Wapres meminta kepada DMI untuk membahas pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid. Wapres berkata,”Kita semua sangat memahami bahwa azan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban salat”.

Menurut Wapres, apa yang dia rasakan barangkali juga dirasakan orang lain yaitu bahwa suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat dengan telinga.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, dia berkata,”Ketika kaum muslimin tiba di Madinah, mereka berkumpul untuk melaksanakan salat dengan menggunakan hitungan waktu tanpa azan. Pada suatu hari mereka berdiskusi mengenai panggilan salat. Sebagian mereka mengusulkan penggunaan lonceng seperti yang dipergunakan oleh orang-orang Kristen. Sebagian lain mengusulkan penggunaan terompet bagai tanduk yang dipergunakan oleh orang-orang Yahudi. Umar mengusulkan, “Sebaiknya tugaskanlah seseorang untuk menyerukan panggilan salat.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Hai Bilal! Berdirilah, lalu kumandangkan azan untuk panggilan salat.” (HR Bukhari)

Ketika Masjid Nabawi selesai dibangun, Rasulullah SAW mensyariatkan azan. Rasulullah SAW kemudian menunjuk Bilal bin Rabah  untuk mengumandangkan azan karena ia memiliki suara yang merdu. Bilal mengumandangkan azan sebagai pertanda dilaksanakannya salat lima waktu. Sejak saat itu, Bilal mendapat julukan sebagai Muadzdzin Ar-Rasul  dan ia menjadi muazin pertama dalam sejarah Islam.

Penyuluh agama di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Karanganyar, Zuhaid, menuturkan azan di dalam fikih merupakan syariat. Ulama beda pendapat terkait azan. Kebanyakan ulama, termasuk Ibnu Taimiyah dan Syeh Al Bani, menyatakan azan termasuk kategori fardu kifayah. Sedangkan sebagian ulama lainnya menyatakan azan termasuk kategori sunah.

Ulama yang memasukkan azan sebagai fardu kifayah menganggap azan sangat penting sebagai panggilan bagi umat Islam untuk salat. ”Azan itu seruan. Logikanya kalau yang namanya seruan atau panggilan itu keras. Dipanggil dengan suara keras saja tidak ada yang datang apalagi sayup-sayup,” kata Zuhaid saat ditemui Solopos.com di Masjid Kantor Kemenag Karanganyar, Selasa (1/5/2012).

Pengurus Bidang Kajian Dewan Masjid Indonesia (DMI) Karanganyar itu menuturkan antara azan dan zikir ataupun doa tidak bisa disamakan. Azan dalam pandangan ulama fikih memang harus keras sedangkan zikir dan doa boleh keras dan boleh lirih.

Sebenarnya kalau umat Islam benar-benar menghayati azan tidak mungkin menjadi orang yang bodoh, orang yang tidak terpelajar dan orang yang terbelakang. Azan mengajak kepada kebaikan melalui salat. Hal itu menunjukkan umat Islam adalah umat yang disiplin.

Simbol Agama

Ketua Pusat Studi dan Peradaban Islam (PSPI), Arif Wibowo, mengatakan azan harus bisa didengar oleh semua umat Islam. Pada zaman Khalifah Usman bin Affan RA, ketika masyarakat makin majemuk, cara-cara baru azan dilakukan. Usman mengirim orang ke pasar atau tempat-tempat yang ramai untuk azan. Hal itu dilakukan agar umat Islam tidak terlambat mengerjakan salat.

”Azan dan lonceng gereja apabila dipermasalahkan akan berdampak panjang. Jangan hanya yang difokuskan kepada pengajian atau suara azan. Coba bagaimana dengan suara konser-konser yang lebih banyak mudaratnya. Atau orang yang lagi punya gawe atau hajatan,” ujar Arif.

Zuhaid dan Arif menyatakan azan tetap perlu dikumandangkan meski sudah ada pengingat waktu azan seperti handphone (HP), jam weker dan sebagainya. Zuhaid menuturkan azan billisan yang diserukan muazin tetap harus ada.

”Kalau seperti HP dan sebagainya itu sangat individual. Azan di HP bisa menjadi pengingat untuk individu tapi itu tidak bisa menggantikan azan yang berfungsi sebagai seruan untuk umum,” papar Arif.

Menurutnya, ada perbedaan antara negara-negara muslim dengan negara-negara Barat dalam memahami simbol-simbol agama. Suara azan bisa menjadi masalah seperti persoalan jilbab dan simbol agama lainnya.

Soal suara azan, Zuhaid dan Arif menyatakan harus tetap dikumandangkan dengan suara keras. Menurut Zuhaid permasalahan azan merupakan permasalahan muamalah dan ibadah yang tidak akan pernah selesai. Idealnya azan dilakukan dengan suara yang bagus dan tajwid yang benar.

”Lafal azan itu bukan karangan. Azan dari Tuhan atau taufiqi. Coba lihat saja kalimatnya yang dimulai dengan takbir dilanjutkan dengan syahadat,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya