SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kamis pagi, ketika menerima koran Kompas di rumah, saya miris juga, meskipun sudah dengar sehari sebelumnya aneka peristiwa nasional di seputar kita. Betapa tidak miris, koran nasional terbesar yang respected ini semua beritanya di halaman depan mengulas tentang kekerasan, terorisme, korupsi, dan kriminalitas.

Media sekaliber Kompas tentu tidak main-main ketika menempatkan semua berita itu di halaman depan. Saya mencoba memahaminya sebagai ekspresi kegalauan, sekaligus pressure kepada pihak yang berwenang untuk bersungguh-sungguh mengatasi keadaan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pasalnya, mana kala kita baca berita dan lihat tayangan televisi sehari- hari, nyaris sarat dengan berita tentang kekerasan warga dan aksi kriminalitas di berbagai daerah. Sebutlah bentrokan etnis di Tarakan, temuan tentang aksi-aksi pre-terorisme di sejumlah tempat, percobaan teror amatiransaya lebih cenderung menduga ini modus baru aksi teror-di Bekasi dengan bom sepeda bunuh diri, serta aksi perampokan di berbagai tempat dengan menggunakan senjata api.

Sejumlah isu keamanan tersebut tentu saja menyisakan kegundahan, kecemasan, bahkan ketakutan terhadap keamanan dan kenyamanan sehari-hari di lingkungan kehidupan kita saat ini. Saya bisa mengerti jika sejumlah pihak sangat optimis mengatakan bahwa berbagai kejadian itu hanyalah dot ataupun noktah dari bagian wilayah Indonesia yang begitu luas.

Tentu itu dalam rangka ingin mengatakan kasus-kasus tersebut tak perlu terlalu dicemaskan karena diasumsikan sebagian besar wilayah Indonesia lainnya pasti aman.

Logika saya mengharuskan bersepakat dengan asumsi teoritis itu, tapi potret terhadap situasi nyata kerap tidak faktual, dan jauh lebih sering dikemudikan oleh kekuatan-kekuatan
perseptual.

Persepsi terhadap situasi keamanan yang memburuk, kekerasan antarwarga yang kian intens, dan ketidakberdayaan aparat keamanan mengendalikan situasi, hari-hari ini jauh lebih betah menghuni alam pikiran, top of mind kita.

***

Dalam bingkai global yang sebenarnya lebih tenang, berbagai aksi kekerasan warga, yang tidak saja menggunakan aneka senjata tajam tetapi juga bedil, boleh jadi bakal menjadi bandul pemberat bagi langkah perekonomian ke depan.

Apalagi Anda juga kerap melihat berbagai tayangan televisi tentang sejumlah perampokan berdarah di berbagai tempat yang ditayangkan secara vulgar pula. Kok, sayangnya, berbagai peristiwa itu terjadi saat sejumlah investor tengah diundang ke Jakarta untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Anda tentu bisa membayangkan seperti apa kesan mereka, ketika kebetulan pula menghadapi kenyataan harus bermacet-ria di Jakarta karena infrastruktur yang statusnya tetap menjadi proyek “akan”. “Saya sebenarnya masih tetap memiliki optimisme terhadap Indonesia.

Tapi kini realistis saja melihat apa yang dilakukan pemerintah slower than expected,” tutur seorang manajer investasi berambut pirang, yang datang bersama rombongan pengelola dana dari Eropa.

Mulanya, memang mereka punya ekspektasi tinggi terhadap pemerintah, yang secara politik mengantungi modal gendut-bukan rekening tambunsekaligus legitimated. Seorang bule dari Belanda yang mengelola dana US$7,5 miliar, kurang lebih Rp70 triliun setahun, malah mengatakan akan menjaga ‘posisi netral’ terhadap Indonesia.

Artinya, dia memperjelas, tidak serta merta mengurangi investasinya, sebaliknya juga tidak menambah gelontoran uangnya ke Indonesia. “Bak buk saja,” begitu kalau boleh pinjam istilah pedagang di Pasar Klewer, Solo, yang dagangannya hanya balik modal tanpa membukukan laba. Saya jadi ingat pertemuan tak sengaja dengan Ignasius Jonan di halaman Istana Wapres, baru-baru ini.

Sambil berdiri di bawah terik matahari, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia itu mengungkap seluk beluk perkeretaapian kita. Sekadar contoh, untuk membereskan penumpang di atap kereta saja, betapa ruwetnya. Seorang kepala stasiun di kawasan Botabek malah pernah ditusuk gara-gara penertiban itu, yang sekali lagi mempertontonkan premanisme lebih berkuasa di atas perangkat negara.

Bangsa ini memang kreatif, sehingga semua yang ‘tak pada tempatnya’ menjadi halal dengan segala cara. Mungkin, “membereskan yang belum beres” semacam itu, membutuhkan tangan Tuhan, bukan lagi tangan manusia. Negara mesti bangun dari mimpinya.

Kita perlu cara sederhana saja: bangun lingkungan sosial yang memberikan rasa keadilan, bukan kecemburuan. Dan itu hanya terjadi jika ada “persekutuan tulus” antara politik, bisnis, dan kekuasaan.

Alangkah sayang jika di antara saudara sendiri di negeri ini terus bertumpah darah demi posisi politik, bisnis, atau apapun, sementara negeri sebelah kian gencar berkoar sebagai bangsa yang damai sejahtera, aman sentausa. Kampanye global “Malaysia Satu”, misalnya, kini mulai mengudara. Jangan sampai mereka punya kesempatan memanfaatkan kelemahan kita, atau cuma menyindir?

Oleh Arief Budisusilo
ANGGOTA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya