SOLOPOS.COM - Dwi Ema Wati

Dwi Ema Wati, guru Bahasa Indonesia SMPN 1 Karangdowo, Klaten, Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (JIBI/SOLOPOS/ist)

Belum hilang dari ingatan kita ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memakai bahasa gado-gado (campuran Inggris-Indonesia) saat membuka perdagangan Bursa Efek Indonesia di Jakarta, 3 Januari 2011 lalu. Hal itu tentu memunculkan penilaian kontroversial. Namun, kontroversi yang mengemuka dari berbagai pihak tetap tidak menyurutkan sikap SBY untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia ”yang tidak baik dan tidak benar”.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pada 25 Mei 2011 lalu, SBY malah berpidato dengan bahasa Inggris dalam pembukaan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-16 Gerakan Non Blok (GNB) di Nusa Dua, Bali. Dari dua kejadian itu, Presiden SBY dinilai banyak kalangan telah melanggar UU No 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Ini, menurut saya, sesuatu yang sangat memrihatinkan.

Bagi insan kebahasaan, Oktober adalah bulan yang sangat identik dengan bulan bahasa (Indonesia). Di bulan inilah bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional dan sekaligus bahasa pemersatu di negeri ini. Pada saat itu, 28 Oktober 1928, para pemuda generasi penerus bangsa merasa bangga karena merasa memiliki salah satu identitas sebagai suatu bangsa, yaitu bahasa Indonesia. Apakah kebanggaan itu masih berdenyut di dalam jantung kebangsaan kita saat ini? Mari kita jawab bersama.

Saat ini, banyak sekolah di Indonesia yang lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia. Dari hal kecil saja, di beberapa sekolah, penamaan ruangan termasuk ruang kelas sebagian besar– bahkan semuanya–menggunakan bahasa Inggris. Sepertinya pihak sekolah merasa lebih percaya diri dengan menuliskan library daripada ”perpustakaan” sebagai penunjuk ruang perpustakaan.

Di pintu masuk toko-toko dan kantor-kantor tertulis open, push, close. Bila diamati lebih jauh lagi, di koran, majalah, buku-buku, hasil penelitian, website, blog, dalam percakapan informal, rata-rata pengguna bahasa Indonesia mencampurnya dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Padahal, sesungguhnya dalam bahasa Indonesia telah tersedia kata-kata yang dimaksud dan sudah termasuk kata yang populer.

Bahkan dalam dunia jurnalistik sering ditemui penggunaan kata bahasa asing yang sebenarnya tidak ”jelek-jelek amat” jika tetap menggunakan bahasa Indonesia. Contohnya kata reshuffle seakan lebih keren daripada perombakan. Memang hal itu hanya mengikuti penyebutan yang dilakukan para pejabat pelaku aktivitas. Namun, tak ada salahnya jika dunia jurnalistik tetap mempertahankan keutuhan bahasa Indonesia.

Mari melihat Jepang. Negeri Jepang adalah bangsa yang paling teguh memegang budaya. Siapa saja yang berkunjung ke Jepang, mau tidak mau harus bisa berbahasa Jepang, minimal untuk percakapan sehari-hari. Jangan harap bahasa Inggris atau bahasa lainnya laris di sana, sekali pun bahasa itu dianggap sebagai bahasa penghubung antarbangsa. Pemerintah Jepang memfasilitasi orang asing yang belajar bahasa Jepang dengan dua jenis aksara, yakni Hiragana dan Katakana. Akan tetapi, tidak semua orang asing diajari untuk bisa menguasai bahasa Kanji.

Sikap
Dari sikap tersebut, masyarakat Jepang jelas mempertahankan kultur masyarakatnya melalui sikap berbahasa. Masyarakat Jepang terbuka kepada orang asing untuk memahami budaya mereka dengan syarat harus menguasai dahulu bahasa mereka. Masyarakat Jepang cenderung protektif dengan bahasa mereka dengan tidak memberikan kesempatan kepada orang asing yang belajar bahasa Jepang untuk serta merta menguasai seluruh aksara Jepang.

Sikap berbahasa inilah yang menjadi perisai baja bagi orang Jepang dalam mempertahankan budaya mereka dari pengaruh budaya asing. Sebenarnya keinginan mereka sederhana. Mereka tidak ingin bahasa mereka terpinggirkan oleh bangsa lain. Dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat seremonial, terutama yang dihadiri oleh orang asing, bahasa Jepang tetap menjadi bahasa utama dan selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk orang asing. Sungguh berbeda dengan Indonesia.

Setelah Jepang, mari melihat Italia. Di negara ini sangat sulit ditemukan hal-hal yang tidak menggunakan bahasa Italia. Seluruh rambu jalan menggunakan bahasa Italia. Majalah dan koran berbahasa Inggris sangat sulit dicari. Walaupun ada, itu hanya di tempat-tempat tertentu dengan harga yang lebih tinggi dan tersedia beberapa eksemplar saja. Masyarakat Italia merasa sangat bangga dengan bahasanya. Hingga para pendatang, baik itu turis, investor atau imigran, harus memahami bahasa Italia, walaupun hanya dasar-dasarnya.

Padahal penduduk dunia yang menggunakan bahasa Italia hanya 61 juta orang dan menempati urutan ke-24 bahasa yang paling banyak digunakan di dunia. Berbeda dengan bahasa Indonesia (yang masuk dalam rumpun Bahasa Melayu) yang hampir digunakan oleh 175 juta orang. Fakta tersebut menempatkan bahasa Indonesia pada urutan ke-9 bahasa yang paling banyak digunakan di dunia. Bangsa Indonesia perlu berbangga dengan fakta ini.

Semestinya bahasa Indonesia menjadi sebuah kebanggaan bagi bangsa Inbdonesia. Bahasa Indonesia pantas untuk dipertahankan. Bukankah bahasa Indonesia memiliki fakta yang sangat menarik? Bahasa ini menduduki peringkat ke-3 di Asia dan peringkat ke-26 di dunia dalam hal tata bahasa terumit di dunia. Bahasa Indonesia juga mendunia di dunia maya, buktinya Wikipedia berbahasa Indonesia telah menduduki peringkat ke-26 dari 250 Wikipedia berbahasa asing di dunia dan peringkat ke-3 di Asia setelah bahasa Jepang dan Mandarin.

Bahasa Indonesia juga menjadi bahasa ke-3 yang paling banyak digunakan dalam tulisan blog di wordpress. Satu fakta lagi, masih lekat dalam ingatan saya, banyak mahasiswa asing belajar Bahasa Indonesia di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Mungkin di universitas lain juga demikian. Ada beberapa dosen yang dengan kreatif mengajari mereka berbahasa Indonesia dengan baik.

Salah satunya seorang dosen yang mengajari mereka dengan cara berlatih mengiklankan sebuah produk. Setelah selesai mempresentasikan produk di depan kelas dengan sukses, ada senyuman bangga di wajah para mahasiswa asing tersebut. Lalu, adakah senyum kebanggaan itu di denyut jantung kebangsaan kita? Sesuatu yang ironis memang, saat bangsa lain berbondong-bondong mempelajari bahasa Indonesia dengan bangga, malah ada yang sibuk meniadakannya.

Bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia sudah selayaknya dijaga. Para petinggi negara yang menjadi figur teladan bagi masyarakat seharusnya memperlihatkan sikap setia kepada salah satu identitas ini. Apabila para petinggi negara bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, rakyat tentu saja termotivasi untuk melakukan hal yang sama.

Guru-guru di sekolah sebaiknya juga memilih teknik yang tepat dalam mengajarkan bahasa asing dengan tetap mempertahankan keutuhan penggunaan bahasa Indonesia. Media cetak maupun elektronik pun tidak kalah penting perannya untuk mempertahankan keutuhan bahasa Indonesia. Media adalah makanan masyarakat dari bangun tidur hingga tidur kembali.

Akhirnya, semua elemen bangsa memang seharusnya menjaga keutuhan bahasa Indonesia sesuai dengan porsi masing-masing dan tentunya secara maksimal. Jika tidak, awas, bahasa Indonesia bisa tinggal cerita!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya