Soloraya
Selasa, 23 April 2024 - 15:32 WIB

Spek-HAM: Ada 75 Kasus Kekerasan di Soloraya, 69 Persen KDRT

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pelaku KDRT. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO—Penanganan Kekerasan Berbasis Masyarakat (PPKBM), Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spek-HAM), Fitri Haryani mengatakan tren kasus kekerasan pada 2023 didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.

“Tertinggi masih KDRT sebagai ranah privat, ada 69% dari total yang ada. Disusul kedua kekerasan seksual ada 8,25%,” kata dia dalam pemaparannya ketika Launching Data Kasus di Gedung Sekretariat Bersama Solo, Selasa (23/4/2024).

Advertisement

Secara keseluruhan terdapat 75 kasus kekerasan di Soloraya. Berdasarkan data Spek-HAM terdapat 52 kasus KDRT, 6 kasus kekerasan dalam pacaran, 11 kasus kekerasan seksual, dan 6 kasus kekerasan pada gender seksual minoritas. “Kekerasan pada gender seksual minoritas terjadi pada komunitas waria misalnya,” kata dia.

Sedangkan bentuk kekerasan yang dialami korban pun beragam. Fitri mengatakan korban mengalami kekerasan psikis (42), fisik (47), seksual (14), dan penelantaran (27). Dia mengatakan satu korban bisa mengalami lebih dari satu bentuk kasus kekerasan.

“Misal ada korban KDRT yang sampai mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual hingga terkena Infeksi Menular Seksual (IMS),” kata dia. Sedangkan untuk usia, baik sebagai korban maupun pelaku juga beragam. Namun, Fitri mengatakan mayoritas rentang usianya adalah 25 sampai 40 tahun.

Advertisement

Spek-HAM juga mencatat dalam lima tahun terakhir kasus kekerasan di Soloraya mengalami peningkatan. Tercatat pada 2019 terdapat 68 kasus, pada 2020 terdapat 80 kasus, pada 2021 terdapat 71 kasus, pada 2021 terdapat 74 kasus, dan pada 2023 terdapat 75 kasus.

Dampak kekerasan bagi korban bisa bermacam-macam, baik fisik maupun psikis. Menurut Fitri, luka fisik bisa dialami korban kekerasan hingga mengakibatkan rawat inap di rumah sakit. Sedangkan secara psikis korban bisa mengalami depresi yang akut.

Sedangkan dalam penanganannya, kasus kekerasan seksual menghadapi berbagai tantangan. Misalnya pada kasus KDRT, menurut Fitri proses pidana memerlukan waktu yang lama. Tidak jarang ada korban yang merasa takut ada dendam yang ditimbulkan setelahnya, sehingga memilih menempuh proses hukum perdata.

Advertisement

“Lalu di beberapa daerah, pemerintah belum memiliki UPT [unit pelayanan terpadu] yang khusus menangani kasus semacam ini sehingga layanan yang diberikan belum maksimal,” lanjut dia.

Guna mencegah terjadi kasus kekerasan, Fitri mengatakan perlu melakukan integritas antara layanan milik pemerintah dan non-pemerintah. Selain itu menurutnya perlu melakukan optimalisasi implementasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)  

“Ini sebagai upaya untuk pencegahan, penanganan serta pemulihan bagi korban kekerasan seksual serta sebagai ruang untuk akses keadilan bagi korban,” kata dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif