SOLOPOS.COM - Ilustrasi pencabulan (JIBI/Solopos/Dok)

Solopos.com, BANJARNEGARA — Seorang guru ngaji di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng), FK, 27, harus berurusan dengan hukum. Ia didakwa telah melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur, yang notabene adalah muridnya mengaji.

Peristiwa memilukan itu terjadi pada 23 Desember 20021. Kasus ini pun telah ditangani Pengadilan Negeri (PN) Banjarnegara. Guru ngaji di Banjarnegara itu pun saat ini telah menjalani persidangan atas kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pegawai Humas PN Banjarnegara, Arief Wibowo, membenarkan saat ini PN Banjarnegara telah menggelar sidang kasus pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan guru ngaji berinisial FK. Kasus ini terungkap dari laporan orang tua korban ke aparat penegak hukum.

Ekspedisi Mudik 2024

Baca juga: Waduh! Pemeran Video Mesum Gay di Banjarnegara Pelajar SMA Negeri

Arief pun mengungkapkan kronologi perbuatan cabul yang dilakukan guru ngaji asal Cirebon, Jawa Barat itu. Awalnya, FK sedang tertidur di rumah saksi yang merupakan tempat untuk mengaji di Kecamatan Wanayasa, Banjarnegara.

“FK asli Cirebon, di Banjarnegara jadi guru ngaji. Waktu itu mau ada pengajian di rumah saksi yang merupakan tempat ngaji. Terdakwa kebetulan juga tinggal di situ,” ujarnya dikutip Murianews.com, Kamis (7/4/2022).

Kemudian, sekitar pukul 13.30 WIB, FK yang sedang tidur dibangunkan oleh pemilik rumah karena sejumlah anak didik, termasuk korban telah tiba. Namun entah apa yang merasuki FK, tiba-tiba hasrat birahinya muncul saat melihat korban.

Ia pun kemudian mengajak korban menunju ke ruangan lain. Di ruangan tersebut FK melakukan pencabulan, namun tidak sampai melakukan persetubuhan.

Baca juga: Remaja di Sragen Diduga Jadi Korban Pencabulan Pacar dan Temannya

Pasca-kejadian itu korban pun merasa trauma. Ia kemudian mengadukan perbuatan FK ke ibunya yang menindaklanjuti dengan melapor ke kepolisian.

Arief menambahkan hingga saat ini korban masih mengalami trauma. Ia bahkan tidak berani melihat pelaku saat persidangan, hingga akhirnya persidangan digelar secara virtual.

“Ada trauma dan takut [pada korban] di persidangan, terutama ketika melihat terdakwa. Jadi selama persidangan virtual layar terdakwa di nonaktifkan agar korban tidak melihat,” jelas Arief.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya