SOLOPOS.COM - Nurfita Kusuma Dewi

Rencana pemerintah untuk memotong gaji aparatur sipil negara (ASN) sebesar 2,5% untuk pungutan zakat kembali naik ke permukaan. Meski bukan ide baru, usul Badan Amil dan Zakat Nasional (BAZNAS) ini telah direstui oleh Presiden Jokowi pada akhir bulan Maret ini. Peraturan Presiden (Perpres) akan disusun untuk mengatur implementasi potongan zakat bagi ASN yang gajinya telah mencapai nisab dalam satu tahun sebesar 85 gram emas atau setara dengan Rp 85 juta. Sehingga ASN yang menerima penghasilan dari pemerintah lebih dari Rp 85 juta setahun wajib dipotong zakat secara langsung oleh bendahara pemerintah.

Niat baik pemerintah untuk mengoptimalisasi pengumpulan zakat nasional tentu patut untuk didukung. Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia memang memiliki potensi zakat yang besar. Laporan Outlook Zakat Indonesia 2020 menyebutkan bahwa tren pengumpulan zakat di negara kita terus bertambah dari tahun ke tahun, meskipun potensi zakat yang ada belum tergali secara optimal. Puskas BAZNAS menyebutkan bahwa di tahun 2018, pengumpulan zakat di Indonesia baru mencapai 8,2 triliun rupiah atau hanya sebesar 3.4% dari potensi zakat sebesar 233 triliun rupiah. Maka adalah sesuatu yang lazim jika Pemerintah berupaya untuk membantu mengoptimalkan penggalian potensi zakat di Indonesia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Namun demikian, penyusunan Perpres potongan zakat bagi ASN masih membutuhkan kajian yang lebih menyeluruh dengan memperhatikan berbagai aspek. Salah satunya adalah aspek perpajakan. Penghasilan ASN selama ini telah dipotong pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kewajiban pemotongan zakat sebesar 2,5% akan memunculkan persepsi awam bahwa pemerintah telah melakukan pungutan ganda atas penghasilan ASN, yakni pungutan pajak dan zakat.

Zakat sebagai Pengurang Pajak

Masih banyak masyarakat awam yang belum mengetahui perlakuan zakat dalam konteks pajak penghasilan. Zakat telah diakomodasi oleh Undang-undang Pajak Penghasilan sebagai unsur pengurang dalam penghitungan penghasilan kena pajak. Begitu pun dengan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lain yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

Di dalam Undang-undang Pengelolaan Zakat juga telah disebutkan bahwa bukti setoran zakat yang dibayarkan muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Hal ini membuktikan bahwa sinergi pajak dan zakat telah lama diakomodasi oleh pemerintah untuk menghindari terjadinya pungutan ganda pajak dan zakat di masyarakat. Berbagai aturan pelaksanaan pun terbit sebagai tindak lanjut aturan tentang pelaporan zakat di dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak penghasilan.

Optimalisasi Insentif Pajak

Namun dalam praktiknya, jika seorang ASN yang sumber penghasilannya hanya dari gaji pemerintah melakukan pembayaran zakat di BAZNAS atau LAZ kemudian melaporkan bukti setoran zakat tersebut ke dalam SPT Tahunan maka status pelaporan pajak ASN tersebut dapat menjadi lebih bayar. Hal ini terjadi karena pembayaran zakat bagi ASN saat ini masih masuk dalam ranah privat dan sukarela, sehingga bendahara pemerintah belum memperhitungkan zakat sebagai unsur pengurang penghasilan kena pajak setiap bulannya. Sehingga di akhir tahun, potongan pajak penghasilan ASN tersebut menjadi lebih besar dari yang seharusnya dan berstatus lebih bayar.

Secara umum, atas setiap kelebihan pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak maka negara wajib untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajak tersebut melalui mekanisme pemeriksaan. Namun, khusus untuk SPT Tahunan ASN dengan status lebih bayar karena pembayaran zakat maka kelebihan pembayaran tersebut tidak dikembalikan oleh negara. Hal ini terjadi karena pembayaran pajak penghasilan ASN ditanggung oleh pemerintah. Ketentuan ini tertulis dalam Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi.

Jika pemerintah berniat serius untuk merumuskan Perpres tentang potongan zakat bagi ASN, maka manfaat zakat harus hadir lebih nyata sebagai insentif pajak penghasilan. Secara fakta, hal ini akan terwujud jika zakat hadir sebagai kredit pajak sehingga dapat dikurangkan langsung dari jumlah pajak penghasilan yang terutang. Kedudukan zakat terhadap pajak pun akan menjadi substitutif bukan lagi komplementer seperti saat ini. Zakat masuk sebagai salah satu unsur penerimaan negara dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Atas setiap uang zakat yang dibayarkan oleh muzaki mendapatkan Nomor Tanda Penerimaan Negara (NTPN) tercatat dalam Modul Penerimaan Negara sebagaimana dana pajak. Lembaga independen pengelola zakat berada di bawah Kementerian Keuangan sebagai institusi pengelola keuangan negara. Pemerintah dapat menggunakan dana zakat untuk program-program pengentasan kemiskinan yang dimiliki pemerintah dengan tetap mentaati ketentuan syariat penggunaan dana zakat. Uang pajak kemudian membiayai belanja negara yang tidak dapat diakomodir oleh dana zakat. Jika hal ini dapat terwujud, bukan tidak mungkin Indonesia dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia akan menjadi kiblat bagi negara lain dalam pengelolaan dana zakat dan pajak secara profesional dan sesuai syariat. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya