SOLOPOS.COM - Priyadi (FOTO/Dok)

Priyadi (FOTO/Dok)

Mahasiswa Sastra Inggris
IAIN Surakarta
Santri di Pengajian
Malam Senin Solo

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Nalar dan praktik hedonistis telah menubuh dalam diri generasi muda khususnya mahasiswa. Konstruksi status soial, harga diri dan usaha menunjukkan eksistensi menggelinding di rel materialisme. Mahasiswa adu gengsi buat tampil ”seksi” di lingkungan kampus. Merteka bersaing untuk lekas lulus dan mendapat selembar ijazah guna ditukar di meja lowongan pekerjaan.
Selain itu, kenikmatan bendawi dan imajinasi hidup dalam kepastian gaji, penggandaan angka dalam buku tabungan serta kenikmatan masa senja jadi iming-iming ampuh untuk melakoni ritual kerja dan berburu pekerjaan ”bermartabat”. Tampil biasa dengan berjalan kaki, baju tidak trendi, gadget tak up to date adalah hal haram dan mesti dijauhi.
Berbagai usaha dijalani. Bisnis merupiahkan tugas kuliah/makalah/skripsi, berjualan pulsa, bisnis multy level marketing (MLM) dengan berjuta impian sebagai tawaran menggiurkan dan tak luput pula kerja part-time. Hal itu dilakukan sebab gairah kecemasan terhadap realitas menyakitkan dari kondisi ekonomi. Di sinilah lantas jaringan dibangun. Kian banyak kenalan, berharap kian luas jaringan dan mengalir pula rejeki.
Jim Grote dan John McGeeney (1997) menamai dunia sekarang sebagai ”masyarakat korban”. Semua orang saling berlomba bukan cuma mencari korban tetapi menjadi korban itu sendiri. Pasrawungan tak lagi jadi dasar perekat nilai kamanungsan belaka. Di baliknya ada ladang baru untuk membangun kerajaan jejaring.
Jejaring bekerja, berburu pekerjaan dan menjadikan kenalan sebagai ladang kerja! Bisnis jenis MLM dan sedulur-nya telah membuat kawan, sahabat, pacar bahkan keluarga sebagai tumbal untuk ditarik dalam kaveling pasrawungan berlandaskan nalar ekonomistis.
Lakon orang mencari pekerjaan seperti serial sinetron dalam seribu babak. Pekerjaan dijadikan sebagai dalil sahih untuk menunjukkan keberadaan, harga diri dan konstruksi status sosial dengan berbagai argumentasi. Pekerjaan pun menjadi taruhan ekstase ekonomi dan ironi nasib manusia.
Menjadi menarik ketika tema entrepreneurship (kewirausahaan) ditulis dan dijadikan solusi dengan berharap memperkecil jumlah pengangguran oleh Syaeful Achyar di Mimbar Mahasiswa SOLOPOS (27/3) dengan judul Menyemai Jiwa Wirausaha Mahasiswa. Namun, mesti dilihat apakah benar bisa menyemai bibit jiwa wirausaha mahasiswa di kalangan? Apakah sekolah memberikan stimulus kepada para siswa untuk berwirausaha atau sebaliknya? Selain itu, apakah jiwa wirausaha tidak memberi dampak dalam nalar kehidupan intelektual?

Tradisi Uang Saku
Memori sekolah sebagai pengalaman empiris salah satunya tentang uang saku yang jadi pelajaran berharga bagaimana seorang insan dibentuk menjadi konsumen aktif. Perasaan inferior timbul dari siswa jika tidak memiliki uang saku. Uang saku seperti sebuah kewajiban.
Pemberian uang saku adalah pendidikan mendasar bagaimana seorang siswa menjadi bagian masyarakat konsumtif. Orang tua merasa kasihan dan merasa tak bertanggung jawab jika tak memberikan uang saku.
Sejatinya, di sisi itulah seseorang telah dididik menjadi konsumen aktif. Ditambah sekolah memiliki pagar tinggi untuk memagari siswa agar tidak keluar dari sekolah dengan dalih berbahaya jika siswa jajan di luar dan memudahkan para siswa untuk tak jauh-jauh jajan sebab di dalam sekolah telah tersedia kantin atau kafetaria.

Berbagai produk buku panduan dan buku penunjang pendidikan hadir setiap semester atau bahkan setiap bulan untuk para siswa. Sejak dini (SD) sekolah telah mendidik tentang lelakon konsumtif. Buku panduan dan LKS tersebut jadi barang wajib dibeli! Tak bisa ditawar! Bahkan tiap mata pelajaran terdapat buku panduan dan LKS!
Di lingkungan kampus masih ada dosen mewajibkan mahasiswanya membeli buku hasil karyanya sendiri dengan dalih sebagai panduan mata kuliah. Ini pun biasanya wajib dibeli! Represi-represi tak tertolak itu menumpuk, berkelanjutan dan menjadi memori tersendiri. Itu menuntun pada kebiasaan untuk ”menerima” tawaran dengan memberikan imbalan uang. Hal itu dapat menjadi sebab budaya konsumtif menggurita.

Kapitalisme
Lakon asketisme bagi intelektual muda kampus jadi kebutuhan mendesak. Nalar hedonis-kapitalis jadi hal meresahkan sebab tugas utama intelektual tersingkirkan. Bisa jadi asketisme intelektual adalah solusi tapi sulit dijalani. Sartono Kartodirdjo mengeluarkan risalah Asketisme Intelektual (2009) dan mengungkapkan bahwa asketisme harus dilakoni dengan olah jiwa dalam moral dan spiritual dengan menghilangkan keinginan atau hawa nafsu jasmaniah. Langkah itu adalah tindak penyadaran bahwa kelahiran intelektual di negeri ini ditentukan oleh orientasi kultural-spiritual.
Jalan menjadi wirausaha adalah jalan membentuk nalar kapitalisme. Lelakon pragmatis atas nama status sosial dan material ini harus dieliminasi. Ini bisa jadi penjauhan pengembangan hubungan nalar tradisi dan nalar spiritual dan bisa berakibat tersisihkan atau teralienasi.
Asketisme merupakan ikhtiar menjadi manusia-intelektual tanpa melupakan akar dan jejak sebagai fondasi menjadi manusia-intelektual dengan dasar nalar kultural-spiritual bukan kultural-material. Berwirausaha adalah sebuah jalan besar solusi dari kepadatan dan keramaian pasar berdasar napas kapitalisme dan asketisme intelektual mungkin jadi jalan kecil dan sepi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya