SOLOPOS.COM - Ilustrasi warteg (Youtube)

Solopos.com, TEGAL — Berjejal di antara bangunan di jalan-jalan kecil perkotaan, disitulah Warung Tegal atau Warteg dijumpai. Dilansir dari situs Liputan6.com, Kamis (23/12/2021), Dosen Sejarah dan Filologi Universitas Padjajaran Fadly Rahman menjelaskan bahwa konsentrasi warteg sebenarnya paling besar berada di kawasan Jabodetabek dan Jawa Barat.

Dia menambahkan warteg juga berperan sebagai kiblat urbanisasi. Awal mula menjamurnya jenis tempat makan ini diawali dari kejadian kurang mengenakan, yakni krisis ekonomi yang terjadi pada era 1950-an hingga 1960-an yang membuat banyak warga Tegal, Jawa Tengah meninggalkan kampung halaman dan hijrah ke kota-kota besar dan Jakarta menjadi tujuan destinasi hijrah kebanyakan warga Tegal saat itu.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kendati demikian, warteg yang sejatinya adalah warung nasi sayur ini secara sejarah sudah ada sejak zaman kolonial. Sederhananya, warteg bisa didefinisikan sebagai warung nasi yang disajikan dengan beragam lauk dan biasanya lauk yang disajikan adalah hidangan khas rumahan yang membuat perut kenyang.

Baca Juga: 6 Menu Andalan di Warteg, Mana Favoritmu?

Pada era 1970-an, istilah warteg menjadi begitu populer sampai era 1980-an hingga dibangun Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) yang dibangun oleh para pemilik usaha warteg sebagai tujuan mewadahi pengusaha warteg yang perlu banguan, seperti pengadaan modal usaha. Alhasil, warteg menjadi simbol solidaritas sesama warga perantauan dan bukan lagi sekedar usaha individu tapi usaha kolektif.

Fadly juga menjelaskan bahwa warteg memiliki karakteristik pada makanannya yang khas masakan rumahan sehingga siapapun yang menyantap hidangan di warteg ini akan merasa ada di kampung halamannya. Di mana pun lokasi warteg, menu yang disajikan rata-rata sama, yaitu menu jenis makanan rumahan.

Salah satu pengusaha Warteg di Jakarta, Sayudi sudah menjalankan usaha wartegnya selama 25 tahun. Dalam periode tersebut, dia sudah memiliki tiga merk warteg, yaitu Kharisma Bahari, Mamoka Bahari dan Warteg Subsidi. Awalnya, saat akan menyewa kios untuk membuka usaha warteg, banyak yang menolak karena dapat membuat bangunan kios rusak dan kotor, apalagi saat itu kompor yang digunakan adalah kompor minyak tanah.

Baca Juga: Kudus Kota Santri Ternyata Punya Lokalisasi Legal

Sayudi saat itu mencoba menghapus citra warteg yang dianggap kotor dan kumuh. Oleh karena itu, dia menamakan warteg pertamanya Warteg Kharisma. Hingga saat ini, Sayudi memiliki 400 cabang warteg dengan tiga merek dagang tersebut. Soal menu, Sayudi mengatakan bahwa 90 persen menunya sama, yaitu menu khas rumahan dan 10 persennya disesuaikan dengan selera pelanggan.

Fadly juga menekankan bahwa seiring berjalannya waktu, segmen warteg bukan hanya kalangan rakyat menengah ke bawah. Selaras dengan pusat perekonomian dan berbagai aktivitas politik di Jakarta akhirnya membuat warteg menarik semua kalangan atau kelompok masyarakat, baik itu kalangan pesohor hingga pejabat publik.

Segmentasi ini diakui Sayudi di mana salah satu unit franchise dari tiga merk yang dia buat saat ini justru banyak menyasar kalangan atas. Hal ini membuat citra warteg yang identik dengan masyarakat kalangan bawah makin terkikis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya