SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SUKOHARJO — Sejarah Gunung Kunci di dekat Keraton Kartasura, Sukoharjo, yang berwujud gundukan tanah setinggi kira-kira 20 meter hingga kini masih menjadi misteri. Tak ada data resmi yang menerangkan gundukan tanah di areal kira-kira 500 meter persegi yang sekarang ditumbuhi tanaman liar itu.

Namun informasi yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan Gunung Kunci yang oleh sejumlah orang sekitar disebut Segaryasa Kartasura itu merupakan bukit kecil yang dulu menjadi semacam taman sari Keraton Kartasura. Pada zaman kekuasaan Keraton Kartasura dulu, bukit buatan itu merupakan tempat raja enggar-enggar penggalih atau bersantai.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dulu di kawasan itu dipercaya ada alun-alun, dengan kolam segaran yang indah. Kolam itu diperkkirakan letaknya di tempat yang sekarang menjadi lapangan sepak bola. Tempat yang diyakini bekas tempat rekreasi keluarga keraton itu, dibangun pada masa Sunan Amangkurat II atau Sunan Amangkurat Amral (1677-1703).

Salah seorang pinisepuh Kartasura, Sunar Muhammad Munawir, 80, mengatakan kolam atau segaran di Gunung Kunci itu dulu airnya berasal dari arah barat melewati markas Kopassus Kandang Menjangan. Di bukit bagian atas juga ada beberapa makam orang-orang yang diduga ada hubungannya dengan keraton.

“Dulu dari arah barat lapangan tersebut ada saluran airnya. Tapi sekarang sudah menjadi jalan,” ujar dia ketika ditemui di Kartasura, Kamis (22/8/2019).

Dalam bayangannya, dulu segaran itu digunakan raja untuk enggar-enggar penggalih dengan istrinya yang berdomisili di utara Gunung Kunci. Karena itu salah satu kawasan di utara Gunung Kunci atau di timur tembok Keraton Kartasura ada tempat yang namanya keputren atau tempat para kaum perempuan berdomisili.

Mantan Lurah Kartasura tahun 1980-an ini mengisahkan asale nama-nama tempat di sekitar Keraton Kartasura dulu menjadi tempat penting bagi keraton.

Di timur keraton ada Dusun Manggisan, Sedahromo, Sayuran dan sebagainya. Dusun Manggisan ini, ujar Sunar, dulu ada sejumlah pohon manggis yang menjadi kesukaan raja.

Sedangkan Sedahromo yang berada di timur Manggisan, dulu merupakan kebun sirih dan selatan Sedahromo ada Dusun Sayuran yang dulu banyak ditanami sayur-sayuran untuk keperluan keraton.

Sedangkan nama Gunung Kunci itu, papar dia, kemungkinan diambil dari banyaknya tanaman kunci yaitu salah satu nama rempah-rempah di sekitar gundukan tanah tersebut. Rempah-rempah ini kemungkinan dulu sudah banyak dikenal orang untuk berbagai keperluan sehingga banyak orang menanam kunci di kawasan tersebut.

Untuk memudahkan penamaan, gundukan tanah tersebut masyarakat menyebutnya, Gunung Kunci. “Dulu di seputar Gunung Kunci itu banyak tanaman kunci. Karena itu masyarakat setempat sering menyebut kawasan itu Gunung Kunci,” kata Sunar.

Namun kawasan yang dulu menjadi tempat peristirahatan raja Keraton Kartasura saat melepas lelah itu terbengkalai seiring dengan pudarnya masa keemasan kejayaan Keraton Kartasura. Kondisi memrihatinkan ini berlarut-larut hingga saat ini.

Terkait hal tersebut salah seorang tokoh masyarakat di Kartasura, Tri Wahyudi mencoba menghidupkannya dengan merancang tempat itu menjadi kawasan Wisata Kuliner Tempo Doeloe. Untuk itu dia bersama warga meminjam salah tempat di sisi selatan Gunung Kunci didesain menjadi pasar tiban.

Ternyata, ujar dia, saat awal digelar Wisata Kuliner Tempo Doeloe yang menjual makanan tradisional tempo doeloe seperti tiwul, gathot, cabuk rambak, pecel gendar, dan makanan tradisional lainnya bisa menjadi salah satu magnet warga Kartasura, Sukoharjo dan sekitarnya.

Ini terbukti ketika launching Pasar Kuliner Tempo Doloe di Gunung Kunci, Kartasura, Sukoharjo, Minggu Pahing (21/7/2019) dibanjiri ratusan warga yang berdesak-desakan menyesaki kebun milik warga seluas sekitar 400 meter persegi.

Dalam waktu sekitar 20 menit sejumlah dagangan pedagang ludes diserbu pembeli. Bahkan pedagang tiwul mengaku harus adang atau memasak tiwul hingga sembilan kali karena selalu ludes diserbu pembeli.

“Kami tidak mengira kalau pengunjung akan ramai memenuhi lokasi hingga berdesak-desakan. Karena itu kami sepakat meneruskan pasar tradisional itu setiap Minggu Pahing,” ujar Tri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya