SOLOPOS.COM - Kali Cemoro di perbatasan wilayah Kabupaten Sragen dengan Kabupaten Boyolali. Sungai Cemoro berlokasi di perbatasan Desa Keden, Kecamatan Kalijambe, Sragen dengan Desa Ketitang, Kecamatan Nogosari, Boyolali. (Moh. KHodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Asal usul ini terkait cerita sejarah berkaitan dengan Sungai Cemoro di perbatasan Sragen-Boyolali.

Solopos.com, SRAGEN – Kali Cemoro menjadi penanda perbatasan wilayah Kabupaten Sragen dengan Kabupaten Boyolali. Sungai Cemoro berlokasi di perbatasan Desa Keden, Kecamatan Kalijambe, Sragen dengan Desa Ketitang, Kecamatan Nogosari, Boyolali.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Air di Sungai Cemoro tidak pernah surut. Kondisi airnya relatif bersih karena belum banyak terkontaminasi oleh limbah pabrik atau rumah tangga.

Setiap hari, selalu ada warga yang memancing ikan di sungai itu. Warga memancing tidak mengenal waktu. Bahkan, tiap malam hari, masih bisa ditemui warga yang asyik memancing.

Tokoh masyarakat Desa Keden, Samuji, 43, mengisahkan fakta sejarah di balik Sungai Cemoro. Saat ditemui di rumahnya pekan lalu, mantan Kepala Desa (Kades) Keden itu bercerita peristiwa sejarah yang terjadi sebelum Indonesia merdeka.

Berdasarkan cerita yang berkembang di masyarakat, kata Samuji, Sungai Cemoro menjadi saksi bisu kecerdikan warga pribumi untuk memutus akses tentara Belanda.

Saat itu terjadi aksi kejar-kejaran tentara Belanda dengan warga pribumi. Dalam memerangi Belanda, warga pribumi menggunakan siasat dengan cara bergerilya sebagaimana dicontohkan Jenderal Sudirman. Strategi itu terbukti ampuh untuk membuat pasukan Belanda kewalahan dalam mengejar para pejuang kemerdekaan.

Saat menyeberangi Sungai Cemoro melalui Jembatan Kedung Wadung, pejuang memiliki strategi supaya pasukan Belanda tidak lagi mengejar mereka. Jembatan itu sengaja diputus dengan menggunakan bom hasil rampasan dari tentara Belanda.

“Setelah dibom, jembatan itu terputus. Belanda kehilangan jejak pejuang. Mereka tidak bisa menyeberang sungai karena arusnya sangat deras,” jelas Samuji.

Puing-puing jembatan, terutama bagian fondasi, hingga kini masih bisa dilihat di dasar Sungai Cemoro. Di sisi lain, putusnya jembatan itu berdampak tidak baik bagi petani sekitar.

Para petani harus bersusah payah menyeberang sungai jika ingin berladang. Sampai sekarang, para petani di desa Ketitang dan Keden masih berharap jembatan itu dibangun karena menjadi jalur pertanian.

Rencana pembangunan lapangan golf seluas lebih dari 100 hektare di perbatasan Desa Keden dengan Desa Pulutan, Nogosari, membawa angin segar bagi para petani sekitar.

Pasalnya, konsorsium pengusaha yang berjumlah lebih dari 100 orang berencana menghidupkan kembali Jembatan Kedung Wadung. Warga sekitar mendukung rencana pembangunan jembatan itu.

Warga sudah bersedia mengalang dana secara swadaya untuk membangun talut di kanan dan kiri jalan penghubung jembatan yang sudah puluhan tahun tidak berfungsi.

”Selain membangun talut, kami juga menguruk jalan supaya lebih tinggi. Kami sudah mengeluarkan biaya Rp170 juta yang bersumber dari swadaya masyarakat dan dana PNPM,” terang Penanggung jawab (Pj) Kades Keden, Sumardi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya