SOLOPOS.COM - Vian, seorang pedagang warung angkringan di Alun-alun Klaten mempersiapkan dagangannya Sabtu (19/9/2015). Cikal bakal angkringan berasal dari Klaten tepatnya Desa Ngerangan, Bayat. (Taufiq Sidik Prakoso/JIBI/Solopos)

Asal usul ini terkait Desa Ngerangan yang diyakini merupakan cikal bakal angkringan.

Solopos.com, KLATEN – Warung angkringan atau hidangan istimewa kampung (hik) tentu tak asing lagi bagi sebagian masyarakat.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Warung itu dikenal merakyat lantaran harga makanan yang murah meriah serta menyajikan berbagai varian makanan. Nasi kucing serta wedang jahe menjadi ciri khas makanan dan minuman yang disajikan warung dengan gerobak bertenda itu.

Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Klaten disebut-sebut sebagai desa cikal bakal munculnya angkringan. Desa itu berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Seperti halnya dengan daerah Klaten lainnya yang berbatasan dengan Gunung Kidul, deretan pegunungan menjadi pemandangan ketika memasuki desa tersebut.

Tekstur tanah di Ngerangan yang kering serta sistem irigasi tadah hujan membuat usaha pertanian tak terlalu menjanjikan di desa itu.

“Karena kondisi tanah di sana yang tandus, membuat banyak warga memilih merantau sejak dulu kala. Dari situlah, mereka mulai berjualan makanan dan minuman di perantauan yang kini dikenal sebagai angkringan atau hik,” jelas Camat Bayat, Edy Purnomo, Sabtu (19/9/2015).

Kepala Desa Ngerangan, Sri Hardono, mengatakan awal mula kemunculan warung angkringan ketika sejumlah warga di desanya merantau ke Kota Solo pada 1950an. Saat itu, mereka berjualan makanan dan minuman dilakukan dengan dipikul dan berkeliling kampung.

“Dengan dipikul mereka menawarkan makanan dan minuman itu ke warga dengan kata iki hlo yang disingkat menjadi ghilo-ghilo di sepanjang perjalanan,” tutur dia saat ditemui beberapa waktu lalu.

Lambat laun, usaha tersebut berkembang hingga pada 1970an cara berjualan berubah menggunakan gerobak dorong. “Setelah berjalan gerobak dorong, cara berjualan berubah berupa lapak yang masih menggunakan gerobak sebagai tempat jualan,” katanya.

Kini, usaha itu dikenal masyarakat dengan nama angkringan atau hik. Suksesnya warga di tanah perantauan, membuat semakin banyak warga yang menjalankan usaha warung angkringan.

Terhitung 1.600an warga Ngerangan menggeluti usaha angkringan tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Sri berharap ke depan pemerintah bisa mengangkat nama Ngerangan sebagai desa asal lahirnya penjual angkringan atau hik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya