SOLOPOS.COM - Launching atraksi prajurit Keraton Solo di kompleks Keraton Kasunanan Surakarta, Sabtu (6/11/2021) siang. (Solopos/Ika Yuniati)

Solopos.com, SOLO — Asal usul Kota Solo, Jawa Tengah, ternyata tidak lepas dari peristiwa berdarah yang dikenal dengan nama Geger Pecinan. Berdasarkan sejarahnya, Kota Solo berasal dari Desa Sala di tepi sungai.

Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kota Solo, Selasa (1/2/2022), nama Sala diambil karena desa terpencil itu banyak ditumbuhi pohon sala. Letaknya tidak jauh dari Keraton Kartasura yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dihimpun dari berbagai sumber, berpindahnya pusat Kerajaan Mataram dari Keraton Kartasura ke Solo konon terjadi karena pemberontahan etnis Tionghoa. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Geger Pecinan yang kala itu dipimpin Sunan Kuning.

Baca juga: Geger Pecinan Jawa Tengah, Tionghoa & Pribumi Bersatu Lawan Kompeni

Geger Pecinan

Salah satu pemicu pemberontakan itu adalah Pakubuwono II yang ingkar janji membelot ke pemerintah Belanda. Hubungan mesra antara Keraton Kartasura dengan VOC kala itu mencetuskan pemberontakan.

Peristiwa Geger Pecinan di Kartasura itu memiliki sejarah yang panjang. Hal ini bermula dari pembantaian besar-besaran etnis Tionghoa di Batavia oleh pemerintah Belanda pada 1727.

Sampai akhirnya pada Oktober 1740 tercetuslah perang besar antara kaum pribumi dan etnis Tionghoa melawan serdadu Belanda. Perang ini pecah di seantero Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Baca juga: Begini Sejarah Pecinan Semarang Terkait Sunan Kuning dan Pemberontakan Etnis Tionghoa

Para panglima perang dari pasukan koalisi Tionghoa-Jawa adalah Kapitan Cina Sepanjang, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said. Pangeran Mangkubumi kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono I dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa kemudian menjadi KGPAA Mangkunegara I.

Mereka berperang di bawah komando Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning yang sempat menguasai Keraton Kartasura, sebelum pasukan VOC menyerang balik dengan bala bantuan dari sebagian pasukan Mataram dan Pasukan Panembahan Cakraningrat IV dari Sumenep, Madura.

Kala itu laskar Tionghoa juga bersekutu dengan Sunan Pakubuwono II dari Mataram dalam perang besar melawan VOC pada 1741. Namun, pada awal 1742 Sunan Pakubuwono II membelot dengan mendukung VOC.

Baca juga: Menengok Kelenteng Tertua di Semarang dan Sejarah Berdirinya

Keraton Surakarta Lahir

Sementara banyak bupati dan panglima perang Jawa melanjutkan perang melawan kompeni. Selanjutnya, pada Juni-Juli 1742, Keraton Surakarta direbut laskar pribumi dan Tionghoa. Hal ini menyebabkan Sunan Pakubuwono II lari ke Magetan. Sementara Sunan Kuning dinobatkan menjadi raja Jawa dan Tionghoa yang bergelar Amangkurat V.

Selama bersembunyi, Pakubuwono II berdiskusi dengan kerabat keraton untuk mencari lokasi baru sebagai pusat pemerintahan Mataram. Saat itu ada tiga opsi lokasi, yaitu Desa Kadipolo (sekarang Taman Sriwedari), Desa Sala (sekarang Keraton Surakarta), dan Desa Sasewu (sebelah barat Kecamatan Bekonang).

Baca juga: Asyik, Wisatawan Kini Bisa Keliling Keraton Solo Naik Skuter Listrik

Akhirnya, Desa Sala dipilih sebagai pusat pemerintahan baru karena dianggap strategis. Apalagi lokasinya dekat dengan Sungai Bengawan Solo yang merupakan pusat perdagangan dan transportasi saat itu. Setelah dipindahkan, pusat pemerintahan Mataram berubah nama menjadi Keraton Surakarta.

Pada 20 Desember 1742, Sunan Pakubuwono II berhasil merebut kembali Keraton Kartasura dengan dibantu VOC. Pada 2 Desember 1743, VOC menangkap Sunan Kuning di Surabaya, Jawa Timur, kemudian diasingkan ke Srilanka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya