SOLOPOS.COM - Pengguna jalan melintasi jembatan sempit di atas Kali Jenes yang memisahkan wilayah Laweyan, Solo dengan Banaran, Sukoharjo, Jumat (27/3/2015). (Moh Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Asal usul kampung Banaran, Sukoharjo tak bisa dilepaskan dari sejarah Laweyan, Solo.

Solopos.com, SUKOHARJO — Kampung Banaran dan Kampung Laweyan yang bersebelahan dipisahkan Kali Jenes. Anak Sungai Bengawan Solo itu sekaligus menandai batas wilayah Kabupaten Sukoharjo dengan Kota Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kedua kampung ini sebenarnya saling terkait karena menjadi lokasi sentra industri batik. Memang selama ini nama Laweyan sebagai sentra batik cenderung lebih terkenal daripada Banaran. Namun tanpa dukungan dari warga Banaran, Kampoeng Batik Laweyan bukanlah apa-apa.

“Sama seperti di Laweyan, di Banaran masih banyak berdiri industri batik rumahan. Kebanyakan tenaga kerja produsen batik di Laweyan itu juga berasal dari Banaran,” ujar Kepala Desa (Kades) Banaran, Suparminto, saat ditemui Solopos.com, di kantornya, Jumat (27/3/2015).

Pada masa lalu, batik dari Laweyan menjadi komoditas pasar yang banyak diincar oleh para pedagang dari luar kota. Para pedagang dari Surabaya biasa datang ke Kampung Batik Laweyan untuk kulakan batik. Mereka datang melalui jalur Sungai Bengawan Solo dan Kali Jenes untuk sampai ke Laweyan.

“Jadi, tepat di sebelah utara makam desa ini, dulunya ada bandar sungai yang menjadi tempat berkumpulnya kapal-kapal pedagang dari Surabaya. Kata Banaran sebetulnya berasal dari kata bandar. Lidah orang Jawa lebih suka mengucapkannya dengan kata Banaran,” kata Suparminto.

Kondisi Kali Jenes kini sudah berbeda jauh. Puing-puing bandar sungai sudah tidak terlihat. Seiring majunya zaman, sarana transportasi melalui jalur darat lebih dipilih daripada jalur sungai. Dahulu, sungai itu cukup lebar sehingga bisa digunakan sebagai jalur transportasi air. Namun, seiring berjalannya waktu, volume Kali Jenes semakin menyempit.

“Kini pinggiran Kali Jenes sudah banyak berdiri bangunan permanen. Warga juga banyak menanam pohon di pinggiran sungai pohon sehingga membuatnya semakin sempit,” jelas Suparminto.

Pada 1971, kata Suparminto, kondisi Kali Jenes masih jernih. Warga sekitar masih memanfaatkan Kali Jenes untuk kebutuhan mandi dan mencuci. Masih banyaknya ikan membuat Kali Jenes kerap menjadi sasaran para pemancing. “Saking jernihnya air, dulu setiap barang yang jatuh ke dasar sungai itu masih bisa dilihat dari permukaan,” kenang Suparminto.

Kondisi itu jauh berbeda dengan sekarang. Kini Kali Jenes sudah tercemar oleh limbah pabrik. Kebiasaan buruk warga yang membuang sampah ke sungai semakin memperburuk keadaan. “Saya sudah mendengar kabar jika Laweyan dan Banaran akan disatukan dalam paket wisata oleh pemerintah. Saat ini, penataan permukiman kumuh di pinggiran Kali Jenes di Desa Banaran mendesak dilakukan,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya