SOLOPOS.COM - Warga melintas di depan Situs Perjanjian Giyanti di Kampung Kerten, RT 001/RW 008, Kelurahan Jantiharjo, Karanganyar, Jumat (18/3/2016). (Sri Sumi Handayani/JIBI/Solopos)

Asal Usul kali ini mengenai kelurahan Jantiharjo Karanganyar.

Solopos.com, KARANGANYAR — Perjalanan menuju situs perjanjian Giyanti di Kelurahan Jantiharjo dimulai dari Karanganyar Kota melalui Jalan Karanganyar-Matesih.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Letak situs di belakang kantor Kelurahan Jantiharjo. Kelurahan Jantiharjo menempati lahan di antara jalan kampung dan jalan Karanganyar-Matesih. Bentuk kantor kelurahan menyudut mengikuti lahan.

Situs berada di dekat sawah yang sedang disiapkan untuk menanam padi pada musim tanam (MT) II. Bagian depan situs terdapat gapura dengan pintu di tengah. Setelah gapura terdapat tanah tanpa bangunan. Mungkin berfungsi sebagai halaman. Lalu situs yang dikelilingi pagar tembok.

Terdapat pohon beringin yang daunnya nyaris menutupi bangunan situs. Penduduk sekitar mempercayai keberadaan situs itu merupakan asal mula Jantiharjo. Kepala Lingkungan (Kaling) Kerten, Kelurahan Jantiharjo, Sujiyanto, mengulangi kisah yang pernah diceritakan bapaknya, Sumongali.

“Bapak saya sebelum meninggal itu beberapa kali cerita. Ada Kampung Janti di dekat situs. Situs itu katanya lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti. Nah, lidah orang Belanda mengucapkan Giyanti itu terdengar di telinga orang Jawa seperti Janti,” kata Sujiyanto saat dihubungi Solopos.com, Jumat (18/3/2016).

Namun, situs itu tidak terletak di Kampung Janti melainkan Kampung Kerten RT 001/RW 008, Kelurahan Jantiharjo. Lalu bagaimana bisa namanya menjadi Jantiharjo? Sujiyanto menjelaskan tetua jaman dahulu menyelipkan doa agar wilayah itu makmur.

“Makanya jadi Jantiharjo. Begitu itu cerita Bapak. Tetua yang bisa menceritakan sejarah sudah meninggal semua. Yang ada tinggal cerita turun temurun. Kami juga sedang membuktikan melalui penelitian sejarah,” tutur dia.

Informasi lain menyebutkan situs itu tempat peristirahatan Pangeran Sambernyawa saat melarikan diri dari kejaran tentara Belanda. Dia menyampaikan salah satu warga pada zaman Belanda, Marto Sugimin, melakukan semedi di situs. Dia menemukan pelana kuda dan sejumlah barang lain.

“Temuan setelah semedi itu diserahkan ke Mangkunegaran. Lalu Pura Mangkunegaran menghadiahi kedudukan sebagai lurah,” ujar dia.

Sebuah yayasan yang peduli sejarah dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meneliti kebenaran informasi itu. Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi baru tentang apakah lokasi itu memang digunakan untuk menyelenggarakan Perjanjian Giyanti atau bukan.

Warga sekitar menyelenggarakan kegiatan rutin setiap tahun yakni Napak Tilas Perjanjian Giyanti. Napak tilas kali terakhir atau ke-261 dilaksanakan pada Jumat (12/2). Kegiatan itu upaya warga dan pemerintah melestarikan sejarah dan budaya.

“Ada kirab sesaji dan gunungan. Lalu warga memperebutkan gunungan berisi hasil bumi dan jajan pasar. Kami berharap Pemkab bersedia campur tangan merawat peninggalan sejarah.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya