SOLOPOS.COM - Batu gilang dipercaya warga digunakan kesatria Pringgodani, Putut Tetuko, untuk membunuh Prabu Baka. Batu itu disimpan di Balai Pathokan di Dusun Pancot, Tawangmangu, Karanganyar. Foto diambil belum lama ini. (Sri Sumi Handayani/JIBI/Solopos)

Asal usul ini terkait kisah berdirinya Dusun Pancot di Tawangmangu Karanganyar.

Solopos.com, KARANGANYAR – Dusun Pancot, Desa Blumbang, Tawangmangu, Karanganyar, dikenal dengan upacara Mondosiyo yang digelar pada Selasa Kliwon Wuku Mondosiyo sesuai perhitungan kalender Jawa. Upacara adat diyakini menjadi rasa syukur atas limpahan berkah dan rahmat dari Allah SWT.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Namun versi lain menyebutkan upacara adat itu juga menjadi ungkapan syukur karena raja yang berkuasa saat itu, Prabu Baka, terbunuh. Konon, dia raja yang terkenal baik, adil, dan melindungi rakyat. Namun, suatu hal membuat dia menjadi doyan makan daging dan darah manusia atau kanibal.

Kepala Lingkungan (Kaling) Dusun Pancot, Sulardiyanto, menceritakan kisah turun temurun yang dipercaya warga di sekitar Dusun Pancot. Dia mengatakan Prabu Baka menjadi kanibal karena menyantap makanan yang dimasak salah satu emban.

“Jari kelingking dan darah emban tercampur ke makanan saat memasak. Prabu Baka mengatakan rasa makanan agak aneh, tetapi enak. Emban mengaku makanan tercampur daging dan darahnya,” kata Sulardiyanto saat dihubungi, Kamis (6/8/2015).

Semenjak saat itu, sang raja menyantap satu demi satu rakyatnya setiap Selasa Kliwon. Hingga tiba giliran anak dari Mbok Randa. Anak perempuan satu-satunya akan menjadi santapan raja. Di antara kesedihannya, seorang kesatria memberikan pertolongan.

“Satria Pringgodani bernama Putut Tetuko. Dia kasihan lalu memutuskan menggantikan posisi anak mbok randa. Bukan malah menjadi santapan raja, Putut Tetuko mengajak raja bertanding. Raja tewas ditangan Putut Tetuko,” tutur Sulardiyanto.

Dikisahkan, raja yang kanibal itu akhirnya mati. “Kepalnya dipancat pakai batu gilang yang ada di dalam itu Balai Pathokan. Katanya gigi taring Prabu Baka jadi bawang putih, mata jadi bawang merah, dan otaknya jadi gunung kapur di Bandardawung. Lalu lokasi peperangan diberi nama Dusun Pancot,” cerita dia.

Oleh karena itu, setiap Selasa Kliwon, wuku Mondosiyo atau setiap tujuh bulan sekali, warga Pancot akan menyiapkan aneka penganan. Mereka membuat banyu badek atau tapai yang difermentasi.

Mereka juga mengumpulkan uang dan beras. Beras untuk membuat gandik atau jadah dari beras. Gandik menjadi makanan khas saat Mondosiyo.

“Satu hari sebelum perayaan, kami membuat sesaji dan menyembelih kambing, sapi, dan ayam. Selain itu, kami juga menyiapkan ayam untuk upacara adat mondosiyo. Warga akan berebut ayam jantan dan betina. Ayam tidak disembelih tetapi dikembangbiakkan,” beber dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya