SOLOPOS.COM - Batu penanda di Desa Selokaton, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar. (Istimewa/Dokumentasi Pemerintah Desa Selokaton)

 Asal usul penamaan Desa Selokaton Karanganyar dari batu yang kelihatan.

Solopos.com, KARANGANYAR — Kepala Desa Selokaton, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, Sutarman, tertawa saat ditanya asal usul nama wilayah yang dia pimpin sejak 2013 hingga Januari 2019.

Dia menuturkan dahulu Gondangrejo itu merupakan kawedanan, namun bukan Kawedanan Gondangrejo melainkan Wonoharjo. Informasi itu dia peroleh dari cerita tetua atau orang-orang yang dituakan di desa.

Selain itu, Sutarman mencocokkan dengan arsip di desa maupun kabupaten. Dia melanjutkan cerita tentang asal usul nama Selokaton, salah satu desa di Kecamatan Gondangrejo itu berasal dari dua kata, yakni selo dan katon.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

“Selo itu batu sedangkan katon itu kelihatan. Ada batu besar diameter dua meter lah. Ada di bawah pohon asam. Batu itu kelihatan dari jalan raya. Nah itu menjadi ciri khas atau tanda,” kata Sutarman saat dihubungi, Jumat (19/1/2018).

Tanda yang dimaksud Sutarman adalah tanda bagi pedagang maupun pejalan kaki. Dahulu, pedagang dan warga jalan kaki dari arah Gemolong ke Solo melewati Gondangrejo. Mereka akan beristirahat di Selokaton.

“Penandanya batu itu. Jalan kaki kalau istirahat di watu ketok seka ndalan, watu ketok. Orang jalan kan perlu istirahat. Dulu kan kemana-mana masih jalan,” ujar dia.

Dia menggambarkan Jalan Solo-Purwodadi yang sekarang padat dilalui kendaraan roda dua dan empat itu jalan dari tanah yang dipadatkan dahulu. Jalan itu jalur utama pedagang menjajakan barang-barang dari desa ke kota. Sutarman meneruskan cerita tentang aktivitas sejumlah warga yang masih mempercayai ritual Jawa, yakni jalan kaki saat Malam Satu Suro.

“Dahulu itu warga akan jalan kaki dari desa ke Keraton Solo. Setiap Malam Sura dari arah Gemolong ke Keraton Solo mau lihat kerbau. Pernah saya ikut. Ya pas saya sudah agak besar. Tradisi jalan kaki itu sebelum banyak kendaraan seperti sekarang,” tutur dia.

Kembali pada cerita tentang batu tadi, sejumlah warga dan pemerintah desa setempat masih merawat batu peninggalan jaman dahulu. Mereka meyakini bahwa batu itu adalah lambang sejarah asal usul desa. Menurut Sutarman, sejumlah warga masih ada yang meletakkan sesaji di sekitar batu.

Mereka membuatkan pagar di sekitar batu dan pohon asam. Hal itu dilakukan bukan untuk mengeramatkan batu dan pohon, tetapi untuk memelihara sejarah desa. Setiap tahun, warga melaksanakan bersih dusun di sekitar komplek punden batu. Warga menganggap batu itu sebagai ciri khas desa.

“Dahulu masih ada yang datang untuk meletakkan sesaji dan bertapa. Kalau sekarang hanya sedekah bumi. Letaknya tidak jauh dari balaidesa, ke utara 500 meter. Sampai sekarang enggak ada yang berani merusak batu itu atau memecah batu. Itu batu warna hitam seperti batu kali,” ungkap dia.

Warga Desa Selokaton sepakat merawat batu itu sebagai simbol dan bagian dari sejarah desa. Bahkan, dia membuat peraturan desa (perdes) tentang asal usul situs desa. Langkah itu untuk memastikan bagian dari sejarah desa tetap dipelihara.

“Biar masyarakat tahu, anak cucu ikut memelihara. Sejarah jangan sampai dilupakan. Biar enggak terputus ceritanya,” ungkap dia.

Hingga kini, Sutarman masih terobsesi mengumpulkan cerita dan arsip tentang sejarah berdirinya Desa Selokaton. “Saya punya rencana belum kesampaian. Sejarah berdirinya Selokaton ini sejak tahun berapa dan disahkan sebagai desa itu tahun berapa. Ini masih saya cari. Ini kan penting supaya anak cucu melek sejarah,” ungkap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya