SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 Solopos.com, SOLO—Sejumlah aktivis dan pengidap human immunodeficiency virus/human immunodeficiency virus (HIV/AIDS) di Kota Bengawan mulai mempertimbangkan beralih ke pengobatan herbal.

Mereka akan beralih ke herbal karena menipisnya stok obat antiretroviral (ARV) Fixed Dose Combination  (FDC) jenis Tenofovir, Lamuvidin, dan Efavirens (TLE). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) gagal melakukan tender pengadaan obat ARV FDC jenis TLE pada 2018. Aktivis Yayasan Rumah Lentera Solo, Puger Mulyono, mengaku pasrah jika obat yang berfungsi memperpanjang harapan hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA) itu langka.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pasrah mawon. Obat itu menjadi tanggung jawab pemerintah. Kalau memang tidak ada, anak-anak akan beralih ke herbal. Di daerah Solo Baru ada produsennya. Kandungannya ada yang serupa TLE. Mau bagaimana lagi?” ungkap bapak asuh anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di Selter Solo itu kepada Solopos.com, Senin (14/1/2019).

Puger menyebut informasi gagal tender tersebut didapatnya tahun lalu. Termasuk pengadaan pembelian obat ARV dari India menggunakan dana Global Fund. Stok pengadaan itu, kata dia, hanya sampai Maret-April tahun ini.

Pria berusia 44 tahun itu menyayangkan gagalnya tender tersebut. Konsumsi obat ARV merupakan upaya preventif agar HIV/AIDS tidak menular. Obat itu sekaligus bisa menekan jumlah HIV dalam tubuh pasien hingga tidak terdeteksi sama sekali. Jika obat langka, Puger khawatir penyakit mematikan tersebut akan menyebar. Terlebih bagi orang-orang yang sudah kehilangan harapan.

Puger memprediksi kelangkaan ARV jenis FDC tersebut bakal berefek pada kenaikan harga pada TLE pecahan (bukan FDC). Alasannya, pengidap HIV/AIDS tidak boleh putus mengonsumsi ARV. Kondisi putus obat dapat membuat resistensi virus dan orang tersebut harus mendapat resep lain dengan jenis atau dosis obat berbeda. FDC hanya perlu diminum 1 butir sekali, sementara obat pecahan ARV harus diminum per butir dengan dosis Tenofovir 1 butir, Lamivudin 2 butir, dan Evavirenz 1 butir.

“Kalau pun tidak naik, kami mungkin enggak bisa mengakses gratis. Ada subsidi silang. Harga pecahan TLE yang paling mahal dibayar pemerintah, sedangkan kami harus membeli obat yang murah. Kalau yang punya uang mungkin bisa beli, tapi kalau yang enggak mampu, apa mereka akan dibiarkan mati karena tidak minum obat?” tanya Puger.

Ketua LSM Gaya Mahardika, Dedi Yuwono Sewoko, mengatakan ARV itu akan berganti baju. Obat tersebut akan berganti pabrik dan juga merek dari sebelumnya. Mengenai pergantian pabrik dan merek, Yuwono belum mengetahui secara pasti penggantinya.  “Pabriknya nanti beda tapi fungsi dan komposisi sama. Enggak mungkin subsidi dihentikan, bisa demo semua LSM di seluruh Indonesia,” jelas Yuwono saat dihubungi Solopos.com, Senin.

Yuwono akan mengikuti pemerintah mengenai pergantian obat tersebut. Menurut Yuwono, yang paling penting obat masih dijamin dan ada subsidi. “Yang penting fungsi dan perannya bisa menunjang daya tahan tubuh masih sama. Mereknya apa saya juga belum tahu,” tambah Yuwono.

Di Solo, akses ARV dilayani sejumlah layanan kesehatan seperti Puskesmas Manahan, RSUD dr. Moewardi, RS dr. Oen, RSUD Ngipang, dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM).

Kasubag Humas RSUD dr. Moewardi, Eko Haryati, mengatakan setiap bulan pengakses ARV mencapai 500-an pasien, dengan kasus baru sebanyak 20-an pasien per bulan. Kasus baru itu jamaknya rujukan dari layanan voluntary counselling and testing (VCT) se-Soloraya atau temuan dari pasien rawat jalan dan rawat inap. “Stok obat kami ajukan setiap bulan ke Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Solo. Saat ini di gudang farmasi masih tersedia dan aman, tapi belum ada info soal kelangkaan itu,” kata Eko Haryati saat ditemui Solopos.com di ruang kerjanya, Senin.

Kementerian Kesehatan memastikan ketersediaan obat ARV masih mencukupi meski pada 2018 gagal lelang. Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Engko Sosialine Magdalene, mengakui lelang pengadaan obat ARV jenis FDC pada 2018 gagal. Namun demikian, dia memastikan ketersediaan ARV masih mencukupi.

“Jangan khawatir ketersediaan sudah kami antisipasi. Yang gagal lelang itu yang FDC jadi bisa gunakan alternatif [dosis] lepasan. Kami juga sudah impor pakai Global Fund sehingga persediaan obat cukup untuk 10 bulan ke depan,” ujar Engko di Kantor Kemenkes, Jakarta, Kamis (10/1/2019).

Dia menuturkan  ketersediaan FDC masih cukup untuk empat bulan ke depan. Selama empat bulan pasien masih dapat bertahan menggunakan FDC yang kemudian dilanjutkan dengan alternatif menggunakan ARV dosis lepasan atau tunggal selama enam bulan.

Sementara itu, Engko menyebut pengadaan ARV melalui katalog sudah bisa dilakukan pada triwulan pertama tahun ini sehingga ketersediaan ARV tidak menjadi masalah.

Obat ARV disediakan secara cuma-cuma oleh pemerintah. Kandungan dalam obat ARV mampu menekan jumlah virus HIV di dalam darah sehingga kekebalan tubuh (CD4) tetap terjaga. (Ratih Kartika/Denis Riantiza Meilanova/JIBI)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya