SOLOPOS.COM - Anak muda yang menjadi pekerja di rumah produksi handycraft Galang Wood Work milik Diki Hendaryanto, Jumat (25/11/2022). (Solopos.com/Hawin Alaina)

Solopos.com, SALATIGA–Tidak ada kata terlambat untuk terus menggali potensi diri.

Begitulah kata yang tepat untuk Diki Hendaryanto, 48, seorang sarjana teknik yang sempat mengawali karier sebagai arsitek.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Setelah cukup lama bergelut di bidang kontraktor akhirnya pada 2013 memutuskan untuk berhenti dan menjadi wirausaha.

Beberapa usaha pernah ia coba mulai dari berjualan kue kering dan sebagainya. Namun, usaha kerajinan dari kayu yang membuatnya mantap dan memutuskan untuk menekuninya, tepatnya pada 2018.

Dalam usaha itu, kali pertama yang ia buat adalah lampu hias dari pipa bekas. Awalnya hanya iseng.

“Saya belajarnya autodidak. Tidak ada yang mengajari. Background saya lulusan arsitek. Tapi jatuh dan saya merasa tidak nyaman untuk mengulangi lagi. Saya pengen nyoba-nyoba aja pakai pipa bekas,” ungkap Diki saat ditemui Solopos.com di rumah produksi di Perumahan Nobo Residence Nomor 5, Noborejo, Argomulyo, Salatiga, Jumat (25/11/2022).

Berbekal dasar yang ia dapatkan semasa menjadi arsitek, ia terus mencoba kerajinan dari pipa tersebut.

Namun, pasarnya cukup sulit dan proses pembuatan juga memakan waktu yang lama. Ia mencoba untuk membuat mebel dari meja kursi.

“Setelah itu saya bikin mebel. Tapi saya rasa pasarnya tidak begitu luas. Butuh armada dan terlalu rumit, kemudian saya simpelkan lebih kecil lagi dan pemasaran bisa lebih luas dengan handycraft ini,” beber pria asal Malang ini.

Setelah tiga bulan fokus untuk mengerjakan handycraft dari bahan kayu bekas pabrik. Kemudian memposting di media sosial dan market place.

Akhirnya orderan mulai masuk dan cukup banyak permintaan. Bahkan ia mendapatkan distributor dengan skala cukup besar. Akhirnya Diki merekrut karyawan yang usianya 20 tahunan.

“Saya pilih anak-anak muda yang susah cari kerja. Tapi dia memiliki niat untuk bekerja saya ajari mulai memegang mesin dan lain-lain,” ujar dia.

Pilihan itu sengaja diambil Diki selain untuk membantu anak-anak muda, juga untuk mengajari anak-anak muda untuk berwiraswasta. Tidak hanya menunggu untuk bekerja di pabrik.

“Ini ada tiga pekerja di tempat saya. Awalnya kerja di pabrik. Selalu waswas kalau ada mesin baru datang, siap-siap 3-4 orang di PHK,” kata Diki.

Risiko merekrut anak-anak muda bukan tanpa alasan. Sebab ia benar-benar mengajari dari nol dan harus telaten.

Namun, ia juga punya toleransi, yaitu satu hari kerja harus bisa dan niat untuk bekerja.

“Saya mendapatkan masukan dari sesepuh kampung sebelah untuk merekrut anak-anak muda yang susah mencari kerja. Akhirnya atas rekomendasi sesepuh tadi, ada yang masuk dan saya yakin. Setengah hari sudah bisa pegang mesin,” ungkap dia.

Menurut dia, anak-anak muda harus lebih diberikan kepercayaan dan kesempatan. Sebab potensi mereka sebenarnya besar, jika ada orang yang bisa mengarahkan. Setelah itu mereka akan memiliki kepercayaan diri. Terlebih waktu mereka banyak longgar.

“Kalau pas orderan banyak itu kan mereka bisa lembur dan produksi juga lebih cepat. Tidak banyak izin ini dan itu,” bebernya.

Diakuinya, setelah itu jalan untuk bisnisnya dipermudah. Seperti mendapatkan tempat produksi yang membayar dengan ringan dan orderan yang mulai banyak.

“Pada prinsipnya itu kalau ada niatan berbagi. Tidak hanya profit di situ, berkembangnya bisa pesat. Saya lebih enjoy di sini dan mewadahi anak-anak,” terang dia.

Menurut dia, keunggulan produk miliknya adalah pada inovasi dan kreasi. Misalnya produk talenan ada lima model. Disadarinya imajinasi itu didapatkan dari basic awalnya sebagai arsitek.

“Saya tidak mau monoton. Saya suka tantangan terus saya coba-coba inovasi itu. Kadang itu saya buat dan pajang di rumah. Ada orang ke sini lihat-lihat kemudian di beli orang,” ungkap dia.

Sementara untuk kayu yang digunakan untuk membuat handycraft adalah Jati Belanda atau Pinus. Diambil dari Temanggung bekas pabrik palet.



Kayu limbah dari pabrik. Selain itu juga dari kayu mahoni. Sehari di tempat produksinya Diki bisa membuat 50 talenan. Jika lembur sampai 80 buah.

“Jadi kita kejar terus karena permintaan distributor banyak, perbulan dari 500-1.500 talenan dan nampan,” kata dia.

Diakui produk itu yang paling cepat laku. Karena di pasaran belum banyak dan modelnya juga simpel dan rapi. Selain itu untuk pembeli untuk penggunaan pribadi paling laris adalah tempat tisu. Biasanya dipakai untuk kafe dan yang talenan itu untuk foto kerajinan.

Terkait pemasaran, produk yang Diki beri nama Galang Wood Work itu dijual secara offline dan online.

Selain itu pada event pameran. Omsetnya sekarang sudah jutaan rupiah per bulan. Sebetulnya banyak tawaran untuk ekspor dan produksi secara massal.

Namun, Diki menahannya. Sebab ia mau fokus untuk membentuk anak-anak muda yang telah direkrutnya terlebih dahulu.

“Jadi masih fokus membentuk tim worknya. Kalau ini sudah mantep, tim worknya solid. Baru mau bikin apa gitu bisa saya,” jelas dia.

Ke depan Diki akan terus merekrut anak muda lagi. Selain itu juga akan membuat galeri untuk produk miliknya.

Sambil menyiapkan diri untuk membuat produk secara massal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya