SOLOPOS.COM - Kue keranjang. (Antara)

Solopos.com, SOLO—Tahun baru Imlek membuka kenangan indah tentang masa kecil saya. Saya tumbuh di sebuah kampung kecil di tengah Kota Solo. Kampung Sambeng namanya.

Kampung di Kelurahan Mangkubumen, Kecamatan Banjarsari, tempat di mana saya dilahirkan dan menikmati masa kanak-kanak itu sangat menyenangkan. Kampung yang asri dan rumah-rumah di sana kebanyakan memiliki halaman luas, penuh berbagai tanaman buah. Pohon-pohon itu menciptakan kesejukan. Lingkungan yang ideal untuk bermain dan bercengkerama dengan teman-teman.

Promosi Pegadaian Resmikan Masjid Al Hikmah Pekanbaru Wujud Kepedulian Tempat Ibadah

Masa kanak-kanak saya lalui dengan teman-teman di SD Negeri Purworejo 35 Solo. Para siswa angkatan 1977 kebanyakan tinggal di Kampung Sambeng, Munggung, Manahan. Namun, memang ada sebagian yang tinggal di Sumber.

Walaupun belum ada sistem zonasi, kedekatan tempat tinggal membuat persahabatan kami tetap terjalin sampai sekarang. Walaupun kami berbeda agama, tidak ada persoalan yang timbul.

Pada saat itu, kampanye soal toleransi belum gencar gaungnya seperti sekarang. Namun, rasa menyayangi dan menghormati lebih kami kedepankan daripada membahas perbedaan di antara kami.

Agama yang dianut penduduk di kampung saya beragam, selain juga ada sebagian warga yang merupakan etnis Tionghoa. Ada yang mempunyai usaha toko kain di Pasar Nongko, toko kelontong, pengusaha rumah makan, dan lain-lain. Namun, sebagian besar memiliki usaha.

Kekayaan itu tidak membuat mereka sombong, justru sebaliknya mereka tetap dapat membaur dengan warga. Hidup rukun dan saling menghormati sehingga di Kampung Sambeng saat itu tercipta kehidupan yang harmonis serta menyenangkan.

Tahun baru Imlek bagi saya identik dengan kue keranjang yang selalu dibagikan tetangga etnis Tionghoa. Kue keranjang disebut juga dengan Nian Gao atau dalam dialek Hokkian Ti Kwe, yang wadah cetaknya berbentuk keranjang, adalah kue yang terbuat dari tepung ketan dan gula serta bertekstur kenyal-lengket (Wikipedia).

Kue keranjang menyimbolkan kesehatan, kemakmuran, dan kebahagian. Fungsi utama kue ini adalah untuk sesaji pada upacara sembahyang leluhur. Tujuh hari menjelang puncak tahun baru Imlek.

Sebagai sesaji dan dianggap berharga, kue ini tidak dimakan sampai Cap Go Meh atau malam ke-15 setelah tahun baru Imlek. Setahun sekali kami bisa menikmati kue keranjang. Ada yang menyebutnya kue bakul atau dodol Tionghoa yang menjadi salah satu makanan favorit saya.

Saat itu, kue keranjang merupakan makanan yang cukup mahal bagi keluarga saya. Pemberian kue yang mungkin dipandang orang lain sepele, tetapi bagi saya itu menjadi kenangan manis karena bisa merekatkan persaudaraan antara etnis Tionghoa dengan pribumi.

Kue keranjang juga bermakna sebagai penutup hal-hal buruk pada saat Imlek berlangsung. Penganan ini melambangkan sebuah keyakinan agar selalu mendapat kebaikan di masa depan.

Trauma

Interaksi antaretnis ini diharapkan bisa memperpendek kesenjangan yang kadang terjadi antara kaum pribumi dengan kaum pendatang. Dengan begitu kesalahpahaman dan konflik antaretnis bisa diminimalisasi.

Sayangnya kehidupan yang tertata indah dan serasi sempat ternodai dengan sejarah kelam, terjadinya konflik rasial antara etnis Tionghoa dengan pribumi Jawa yang terjadi di Solo pada 1980 silam. Konflik itu sebenarnya dipicu masalah sepele, hasutan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab hingga akhirnya meluas dan menjadi aksi anti-Tionghoa yang bersifat anarkis.

Dampak kerusuhan itu juga terjadi di kampung saya. Sebuah peristiwa yang cukup menyisakan rasa trauma mendalam.

Rumah-rumah ditulis milik pribumi, warga bahu-membahu menjaga keamanan kampung, terutama tetangga yang beretnis Tionghoa. Namun, ternyata, ada pihak-pihak yang memperkeruh suasana.

Serombongan pemuda naik motor berteriak-teriak sambil membawa senjata tajam mulai menjarah serta membawa barang-barang tetangga saya yang beretnis Tionghoa. Barang-barang itu kemudian dibakar di depan rumah.

Gudang Toko Halim juga dibongkar, barang-barang dijarah dan dibakar. Suasana begitu mencekam dan menakutkan bagi saya yang masih berumur 10 tahun.
Untung keadaan dapat segera diatasi, sehingga suasana menjadi kondusif. Konflik antaretnis itu meninggalkan rasa sakit dan luka bagi pihak-pihak yang menjadi korban.

Untuk mencegah terulangnya konflik antaretnis, saya kira generasi muda, terutama siswa, sedini mungkin harus mendapatkan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan agama.

Pendidikan multikultural menekankan filosofi pluralisme budaya ke dalam sistem pendidikan yang didasarkan prinsip-prinsip persamaan (equality), saling menghormati, menerima, dan memahami, serta komitmen moral untuk sebuah keadilan sosial.

Waktu berlalu. Sekarang ini, saya tinggal di Kampung Talangrejo, Kelurahan Sragen Kulon. Kampung saya termasuk wilayah yang memiliki keberagaman tinggi. Ada beberapa tetangga beretnis Tionghoa yang juga hidup membaur dengan warga, mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan kampung.

Saya yakin bergaul dengan banyak etnis akan memperkaya wawasan kita mengenai keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Persaudaraan saya dengan keluarga Koh Deni dan Cik Lina yang terjalin sejak saya menikah dan mengikuti suami tinggal di Sragen adalah salah satu contohnya.

Salah satu yang saya sukai, tiap tahun baru Imlek, saya selalu mendapat kiriman kue keranjang. Kue itu kemudian saya bagi saya sebagai simbol keberkahan dan kerekatan persaudaraan. Beberapa kejadian juga menambah keyakinan saya bahwa keberagaman adalah keniscayaan. Pandemi Covid-19, salah satunya. Pandemi banyak menyadarkan kita untuk meningkatkan hubungan silaturahmi tanpa memandang perbedaan.

Anak-anak yang berbeda etnis juga sering bermain sepak bola bersama. Walaupun mereka berbeda, tetapi mereka setara. Saling menghormati dan menyayangi selalu saya selipkan apabila sedang menasihati anak-anak. Dengan memahami konsep multikultural secara sederhana dan sedini mungkin, mereka akan mempunyai wawasan yang luas, dapat menempatkan diri, dan selalu menghargai orang lain.



Sejarah kelam bangsa Indonesia, terutama konflik antaretnis, benar-benar menyisakan rasa trauma mendalam. Bukan hanya bagi korban, namun juga masyarakat yang menjadi saksi kebrutalan massa yang tidak terkendali hanya karena ada hasutan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan mengembangkan rasa empati, toleransi, dan prasangka positif, masyarakat akan hidup tenteram, damai, dan bahagia.

Selama dunia masih berputar, perbedaan tak pernah pudar
Terbawa keangkuhan manusia, tak ingin membagi rasa
Bukalah mata hati kita, bayangkan masa depan dunia
Bersatu rasa untuk melangkah demi meraih harapan dunia yang indah
Bayangkanlah kita semua, berjalan Bersama menuju hidup damai sejahtera
Sempatkanlah untuk melihat di sekitar, ada kesenjangan antara manusia
Lihat sekitar kita….

Lagu Krakatau yang berjudul Sekitar Kita itu membuat saya bersenandung sambil menulis. Kue keranjang, tetangga yang baik, dan trauma masa kecil, semua berputar-putar dalam benak saya. Semuanya itu memberi pelajaran berharga pada saya untuk menjadi manusia yang baik.

Penulis adalah guru di SMA Negeri Kerjo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya