SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Di penghujung bulan Juni ini, saya bertugas mengatur para calon siswa yang akan mengalami wawancara dalam penerimaan siswa baru. Ketika berjubel di lorong menuju meja pencatat, saya katakan “Silakan urut dari yang hadir paling awal!”. Dalam keyakinan saya, pasti tidak semua hadir bersamaan, apalagi seluruhnya paling awal. Namun, yang terjadi adalah rebutan ingin paling depan. Sebagian berebut menempati tempat duduk paling depan, ingin yang terdahulu.

Mengapa anak-anak kita tidak mau belajar menempatkan diri dalam antrean, mau memahami proses, dan mengerti orang lain? Jawaban saya dapatkan pada kesempatan berikutnya ketika
mengikuti acara pelepasan kelulusan siswa kelas akhir. Ada orang tua siswa yang meminta segera ijazah, mendesakkan keinginan mendapatkan tanda lulus anaknya untuk bukti ke perguruan tinggi, sementara blanko ijazah belum dikirim oleh dinas pendidikan. Bahkan, proses penulisan ijazah, penandatanganan, sampai dengan peneraan cap tiga jari, membutuhkan waktu. Anaknya pun menjadi tidak sabar dan tidak mau tahu dengan situasi itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ternyata, anak-anak kita yang tidak sabaran dan tidak mau tahu proses hanyalah hasil keteladanan orang tuanya. Orang Jawa akan menyebut “kacang ora ninggal lanjaran”. Contoh darimanakah untuk mereka yang tidak sabaran antre? Tempo hari saya memulai perjalanan udara dari bandara Medan hingga tiba di Jogja. Ketika calon penumpang dipersilakan naik ke pesawat, antrean panjang yang tidak tertib berjubel di depan gerbang. Mereka yang mencoba urut memanjang harus gelenggeleng kepala ketika dari samping ada serobotan dan susupan
memotong antrean.

Ekspedisi Mudik 2024

Peristiwa yang mirip di bandara lagi-lagi penulis alami ketika menghadiri tiga resepsi pernikahan dalam hari yang sama. Perjamuan model prasmanan yang membiarkan tetamu mengambil sendiri hidangan yang dipilih pun mengharuskan antre. Yang terjadi pada antrean nasi dan lauk adalah potong sini, susup sana, sesel situ, padahal ada yang mencoba tertib urut. Tanpa memandang siapa yang sudah terdahulu berbaris menuju hidangan, mereka menyerobot begitu saja.

Nilai kesabaran
Menempati antrean tidak bisa disamakan dengan mengalah. Di sana ada keutamaan yang mesti dipahami oleh anak-anak kita yakni peduli kepada orang lain. Peduli kepada sesama adalah
nilai yang mesti dihidupi dalam pengalaman sederhana seperti antre makanan. Mendahulukan yang paling membutuhkan, entah karena sakit, lemah, ataupun kekurangan, tercakup dalam dalam nilai peduli sesama.

Bradjanagara (1956) memberikan inspirasi pentingnya anakanak kita dibiasakan keluar dan masuk kelas dengan teratur, dengan tingkah laku yang baik, tidak berjejal-jejal, dan tidak saling-melanggar. Mereka dibiasakan disiplin pada tata-tertib dengan pemahaman bahwa tata-tertib itu demi kehidupan bersama. Pertanyaan refl ektif yang perlu selalu diolah adalah “Mana yang lebih baik, tertib atau berjejal-jejal?” sambil melatihkan kesabaran menunggu sampai pada saatnya mendapatkan giliran.

Akhirnya, anak kita bisa kian tidak sabar jika terlibat di perhentian lampu merah. Betapa jamak terjadi, kendaraan yang di belakang pasti membunyikan klakson keras-keras ketika lampu menyala hijau. Perilaku yang tidak berguna sekaligus abai terhadap keberadaan orang lain yang di bagian depan baru mulai berjalan.

Terhadap situasi demikian, entah di bandara, resepsi pernikahan, atau lampu merah, saya ingin berteriak “Antre, Bung!”. Namun, kalau berteriak, sayapun malahan yang tidak sabar. Biarlah anak-anak kita yang mulai belajar sabar di kelas! ***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya