SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO—Dari hari ke hari, peredaran hoaks di panggung politik terus bermunculan. Terakhir, polisi menangkap seorang pria yang diduga menyebarkan hoaks ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi) palsu. Hoaks itu disebarkan di akun media sosial Facebook. Sebelumnya, pada awal Januari lalu juga muncul hoaks adanya 70 juta surat suara yang sudah dicoblos untuk pasangan calon presiden/wakil presiden tertentu.

Kabar hoaks juga menimpa kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02. Yaitu adanya kabar yang mengatasnamakan tim sukses Prabowo-Sandiaga yang hendak mengajak emak-emak berjalan sehat bersama di acara Car Free Day (CFD) Jakarta, Minggu (28/10/2018). Padahal berkampanye di Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car Free Day (CFD) dilarang sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2016.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kekhawatiran maraknya hoaks menjelang Pemilu 2019 sepertinya sulit dihindari. Haoks di panggung politik nasional diprediksi masih terus mencuat seiring dengan semakin ketatnya persaingan dalam Pemilu 2019. Semakin mendekati hari H pemungutan suara, hoaks diprediksi bakal terus bermunculan.

Satu kabar hoaks diredam, muncul hoaks yang lain lagi. Satu pelaku diproses hukum, muncul pelaku yang lain lagi. Satu jaringan produser hoaks diberangus tapi muncul produser yang lain lagi. Seolah hoaks sudah menjadi komoditas yang bisa diternak.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merilis, selama Agustus-Desember 2018 ada 62 konten hoaks seputar Pemilu dan Pemilihan Presiden yang tersebar di internet.

Harus diakui, dalam sejarah di berbagai belahan dunia, politik dan kabar bohong tampaknya sering berjalan berkelindan. Perebutan kekuasaan acap kali diiringi dengan penyebaran isu fitnah dan kabar bohong.

Bahkan, penggunaan fitnah juga sudah terjadi sejak berabad-abad lalu. Dalam sejarah Khulafaurrasyidin, misalnya. Seperti dicatat para ahli sejarah Islam, kobaran permusuhan dan fitnah sudah terjadi pada sejarah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. 

Pun dengan di negara-negara maju: proses politik sering diiringi dengan upaya pemecahbelahan kelompok masyarakat melalui peredaran kabar bohong.  Hoaks disebut-sebut ikut berperan dalam kemenangan Donal Trump di Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016.

Sudah ada laporan hasil penelitian yang menyebut adanya proyek manipulasi, disinformasi dan mobilisasi dukungan melalui media sosial dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016. Penelitian yang dilansir pada pertengahan Desember 2018 itu hasil riset dari Komite Intelijen Senat Amerika Serikat bekerja sama dengan Computational Propaganda Project Universitas Oxford, Graphika (perusahaan analisis media sosial), dan New Knowledge (perusahaan keamanan siber).

Dalam dua laporan yang terpisah itu, agen intelijen Rusia disebut-sebut menciptakan ratusan akun medsos palsu yang menyebar informasi palsu dan provokatif. Sentimen primordial masyarakat Amerika diaduk-aduk dengan berbagai prasangka ras dan agama.

Melalui informasi di medsos, diciptakan pandangan biner antara imigran vs penduduk asli, muslim vs nonmuslim, ras kulit putih vs ras kulit hitam dan pembedaan-pembedaan lain.

Dengan dipelopori Internet Research Agency (IRA), propaganda itu disebar melalui berbagai platform: Facebook, Twitter, Youtube, Tumblr, Instagram dan PayPal. Yang menarik, United States Intelligence Community (IC) menyebut IRA adalah sebuah perusahaan di Rusia yang memiliki hubungan dengan pemerintah Rusia. Padahal, selama ini hubungan AS-Rusia tidaklah akur. Keduanya saling berebut pengaruh di berbagai kawasan dan sering terlibat perang proksi di sejumlah negara.

Jika laporan Senat AS itu benar, maka peristiwa ini menjadi catatan sejarah demokrasi yang paling absurd di AS. Hoaks sudah menjangkit di negara maju yang selama ini dikenal sebagai negara kampiun demokrasi. Selama ini, AS juga dikenal sebagai negara penguasa jagat media sosial.

Jika negara sekelas Amerika Serikat saja bisa menjadi korban hoaks, bagaimana dengan Indonesia. Banyak analis yang menyebut pelaksanaan pemilu 2019 juga akan diwarnai dengan peredaran hoaks. Hoaks di pemilu 2019 akan lebih marak dibanding pada Pemilu 2014 lalu. Maka sudah menjadi kewajiban agar kita bersama-sama mengantisipasi munculnyahoaks di panggung politik pemilu 2019.

Dari sisi penegakan hukum, para pelaku hoaks sudah banyak yang diproses hukum. Tapi, tampaknya hoaks akan masih terus bermunculan. Hoaks seperti sudah diternak sehingga bisa beranak-pinak.

Di Indonesia, perangkat UU yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku hoaks juga sangat banyak. Mulai dari KUHP, UU ITE hingga UU pemilu. Dalam UU Pemilu, misalnya, pelaksana kampanye, tim kampanye dan peserta pemilu dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta Pemilu yang lain. UU juga melarang praktik penghasutan dan adu domba.

Penegakan hukum untuk menindak kasus hoaks tampaknya tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Sebab, ya itu tadi, hoaks akan terus bermunculan seiring dengan kemudahan kita mengkonsumsi informasi. Kampanye hindari hoaks, tolak hoaks dan jangan konsumsi informasi hoaks tampaknya tidak akan efektif. Semakin kita kampanyekan hindari hoaks dan tolak hoaks maka semakin orang penasaran ingin mengetahui hoaks itu.

Padahal, hoaks maupun fake news (berita palsu) itu bisa menggerogoti pemikiran dan kesadaran seseorang. Apalagi, jika orang tersebut sudah mengalami candu konsumsi media sosial. Sejak bangun tidur hingga menjelang tidur, mereka terus menerus berselancar di berbagai aplikasi smartphone-nya.

Berbagai informasi baik berupa teks, foto, video, suara, infografis, akan menggerojok ke mata dan telinga seseorang. Berbagai informasi akan masuk dalam alam sadar seseorang. Jika informasi itu faktual, sesuai dengan data serta masuk akal, nalar dan logika maka itu bisa mengasah akal dan logika.

Namun, jika informasi itu bohong maka akan menjadi virus dan racun yang menggerogoti daya tahan tubuh dan akal. Maka untuk melawan racun dan virus dalam tubuh dan pikiran itu diperlukan daya tahan diri yang kuat.

Salah satu caranya memperbanyak membaca karya-karya berkualitas. Mengatasi hoaks dengan cara memperbanyak membaca memang proyek jangka panjang yang harus dilakukan. Banyak membaca merupakan salah satu cara membentengi penyebaran virus hoaks.

Dengan membaca, pengetahuan dan pemahaman kita akan semakin luas sehingga tak mudah terprovokasi dengan hoaks. Dengan membaca, kita bisa mudah melakukan analisis secara mendalam atas fenomena yang ada.

Membaca akan mendorong kesadaran hati nurani dan akal sehat. Membaca buku-buku berkualitas akan semakin meningkatkan pengetahuan sehingga bisa menghindarkan diri kita terpapar hoaks. Pertanyaannya: kapan terakhir kali Anda membaca buku?



*Rofiuddin, anggota Bawaslu Jawa Tengah 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya