SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ketika ratusan murid sebuah sekolah menengah berjalan menuju gedung wakil rakyat demi mendukung prinsip tertentu, banyak pihak berdecak kagum. Apresiasi dan optimisme mengenai tumbuhnya pola berpikir yang kritis dan berani di kalangan orang muda akan tetap terjaga.    

Pimpinan sekolah pun ikut menebar rasa bangga, bahkan bertepuk dada sebagai yang mendidiknya, sebagai yang melahirkan generasi pemberani. Di waktu lain ratusan murid yang sama pula secara bersama-sama mempertanyakan kebijakan pimpinan sekolah yang di mata murid tidak pantas diteruskan.
   
Jika para murid bereaksi atas persoalan di masyarakat atau luar pagar sekolah, acungan jempol diberikan. Namun, ketika murid melakukan hal yang sama berkait dengan kebijakan internal sekolah, mereka dicap sebagai pendemo, bahkan pembangkang.
   
Anak-anak diajari selalu kritis dan berani mempertanyakan lingkungannya, tetapi  selalu dengan catatan diam-diam, yakni jangan kritik diri sendiri. Murid boleh ramai-ramai menyampaikan pemikirannya kepada wakil rakyat, tetapi tidak untuk kritik kepada kepala sekolahnya sendiri.
   
Murid didorong mengritisi situasi aktual masyarakatnya, kecuali masyarakat sekolahnya sendiri.
Sebagai guru, dalam pembelajaran yang interaktif di ruang-ruang kelas selalu saya tekankan kepada murid berani bicara, bicara, dan bicara, betapapun sederhananya isi pembicaraan mereka.
   
Murid hadir di kelas bukan untuk duduk dan diam. Mereka yang mesti menciptakan situasi yang hidup dan diskusif dengan setiap guru. Mereka mesti meliarkan imajinasi sekaligus belajar mengasah pilihan cara dalam membahasakan ide. Tidak gampang meyakinkan mereka bahwa identitas pribadinya tercermin lewat ide-ide yang diungkapkan, entah lisan maupun tulisan.
   
Aktivitas kritis yang dilakukan murid, meskipun terkadang terasa menyakitkan, merupakan hal penting dalam pertumbuhan jiwa mereka. Hal itu hanya bisa dinilai seberapa jauh murid sebagai individu bergelut dengan aktivitasnya.
   
Niat baik dan tujuan yang jelas yang menjadi penuntun pikiran kritis. Meskipun tidak mudah untuk menunjukkan niat baik, anak-anak mesti terus-menerus dibiasakan melandasi pemikiran dan ungkapannya dengan niat baik. Akan tetapi, pimpinan sekolah dan para pendidik sendiri acapkali memosisikan diri sebagai pihak yang nirkritik, tidak boleh dikritik.
   
Guru cepat memberikan label-label tindakan siswa dengan istilah demo, anarkis, atau sekadar mencari gara-gara, hanya karena menganggap yang dilakukan murid sebagai ancaman kepada kewibawaannya. Yang dilakukan oleh murid di banyak sekolah  hanyalah keinginan untuk berdialog dan berbicara duduk bersama dengan orang-orang yang mendidiknya.
   
Murid butuh didengarkan ketika mencoba mengungkapkan kegelisahannya. Untuk menghadirkan ruang kritis murid, sekolah perlu membangun paradigma organisasi yang mencerahkan. Lazim terjadi di sekolah, struktur organisasi dimulai dari tataran paling atas yakni kepala sekolah, disusul  tataran di bawahnya yang berisi guru beserta jabatan-jabatannya, dan murid berada di tataran paling bawah sebagai sasaran garis komando semua jabatan dan fungsi di atasnya.
   
Mestinya garis-garis komando diganti dengan garis pelayanan, sehingga murid berada di posisi paling atas yang dilayani. Piramida organisasi sekolah dibalikkan, jabatan-jabatan dan fungsinya untuk melayani murid.
   
Jika kesadaran organisasi seiring dengan struktur organisasi yang melayani, tidak akan lagi terjadi menganggap murid sebagai ancaman. Murid yang bermaksud berdialog tidak lagi dilabeli sebagai berdemo. Sekolah diciptakan dan guru dihadirkan pertama-tama untuk murid, bukan untuk yang lain.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya