SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Wow…! Masih adakah pembaca budiman yang ingat persis lirik lagu lama ini? Mungkin masih ada! Saya sendiri malahan telah lupa. Paling banter saya menambahkan satu penggal baris saja, ‘…antara Anyer dan Jakartaaaa…’. Maka baris lengkapnya lalu menjadi, ‘Antara Anyer dan Jakarta kita jatuh cinta, antara Anyer dan Jakartaaaa…’.
Nah, tidak disangka-sangka dalam penggalan lirik lagu ini ada kandungan kaidah gramatikanya yang tentu saja penuh makna bagi kita.  Saya katakan penuh makna karena akhir-akhir ini makin banyak orang yang tidak lagi hirau pada kaidah gramatika. Banyak pengguna bahasa yang tidak tahu persis apakah bentuk yang digunakan benar atau salah. Jadi lengkaplah sudah, kini banyak orang lalai pada lafal bahasa, banyak pula orang yang abai pada kaidah gramatika. 
Dalam ranah lafal, kita melihat bagaimana ‘telepon’ diucapkan dengan penuh gaya oleh remaja kita,–mungkin juga kita yang sudah tua–, menjadi [telefon]. Mestinya, bentuk itu diucapkan sesuai dengan tulisan ortografisnya, [telepon]. Kita juga menemukan bagaimana ‘paradigma’ dengan bangganya dilafalkan kaum intelektual seperti bentuk aslinya [peredaim] dengan [e] suku pertama seperti [e] pada ‘ember’, dan [e] suku kedua seperti [e] pada ‘tetap’. Bagaimana pula ‘bentrok’ dan ‘kinerja’ dilafalkan keliru menjadi [bentrok] dan [kinerja] dengan [e] seperti pada ‘sore’. Seharusnya, [e] pada kata-kata itu dilafalkan seperti [e] pada ‘menari’ atau ‘menyanyi’.
Daftar kata yang lebih panjang ihwal kelalaian lafal ini tentu dapat dipanjangkan. Orang bisa saja mengatakan tidak ada lafal standar dalam bahasa Indonesia lantaran masyarakat kita multilingual. Akan tetapi, dalih yang dibuat itu justru melemahkan keinginan kuat kita untuk berhati-hati dengan lafal bahasa kita.
Prof. Harimurti Kridalaksana lewat tulisannya di Kompas pernah mengatakan, tidak perlu kita mempelajari lafal seperti belajar etimologi, bidang yang lazim ditekuni para ahli bahasa. Sesungguhnya dengan berani setia pada lafal yang pernah dikenal, itu sudah berarti kita belajar benar dalam berlafal.
Dalam tataran gramatika, keabaian kita juga memprihatinkan. Saya tegaskan,  ‘antara…dan’ pada judul di atas sudah benar. Akan tetapi pertanyaannya, kenapa orang justru gemar menggunakan bentuk korelatif lain ‘antara…dengan’ atau ‘antara…hingga’ atau ‘antara…melawan’. Maka dalam pemakaian keseharian, tidak jarang kita menemukan bentuk seperti ‘antara Anyer dengan Jakarta’ atau ‘antara Anyer hingga Jakarta’.
Saya rasa tidak salah kalau dikatakan bentuk korelatif keliru di atas terpengaruh bentuk serupa dalam bahasa Jawa, yakni ‘antawisipun…kaliyan’, ‘antawisipun…kalawan’, dan ‘antawisipun…lan’. Dalam bahasa Jawa, ketiga bentuk korelatif itu digunakan secara bergantian. Akan tetapi, tidak selalu bahwa kelaziman yang berlaku dalam bahasa Jawa, harus terjadi pula pada bahasa Indonesia. Maka saya tetap menegaskan, satu-satunya bentuk benar adalah ‘antara…dan’.  
Masih berkaitan dengan ‘antara’, orang masih sering mengacaukannya dengan ‘antar’. Maka, ‘antarkedua negara’ sering dipertukarkan secara keliru dengan  ‘antara kedua negara’. Saya tegaskan pula, ‘antara kedua negara’  tidak benar. Bentuk ‘antara’ selalu harus digunakan secara korelatif dengan ‘dan’ sehingga menjadi ‘antara…dan’. Sebaliknya, ‘antar’ adalah bentuk terikat yang pemakaiannya harus digabungkan dengan bentuk dasar bebas yang menyertainya.
Mari kita temukan lagi bentuk korelatif lain yang juga sering dikacaukan pemakaiannya. Bentuk  ‘tidak…melainkan’ dan ‘bukan…tetapi’, sepertinya juga perlu kita cermati.  Saya tegaskan, ‘tidak’ sebagai adverbia hanya dapat berpasangan dengan ‘tetapi’. Maka, yang benar adalah ‘tidak…tetapi’. Adapun pasangan ‘bukan’ sebagai adverbia adalah ‘melainkan’, maka bentuk korelatifnya ‘bukan…melainkan’.
Nah, keabaian kita pada bentuk korelatif ternyata tidak berhenti di situ. Adverbia ‘tidak…tetapi’ dan ‘bukan…melainkan’ sering dipakai untuk menegasikan jenis kata yang tidak tepat. Bentuk ‘tidak….tetapi’ hanya bisa digunakan untuk menidakkan verba atau kata kerja dan adjektiva atau kata sifat. Adapun ‘bukan….melainkan’ digunakan untuk membukankan nomina atau kata benda.
Jadi, ‘tidak hanya meja tetapi juga kursi’ adalah bentuk salah. Demikian pun ‘bukan hanya mengajar tetapi juga mendidik’ adalah bentuk keliru. Kalau kita bawa ke dalam bahasa Jawa pun bentuk itu jelas. Di dalam bahasa Jawa terdapat bentuk ‘mboten…(a)nanging’ dan ‘sanes…(a)nanging’. Bentuk pertama identik dengan ‘tidak…tetapi’, sedangkan yang kedua identik dengan ‘bukan…melainkan’.
Satu hal lagi yang harus dicermati adalah ‘tidak lain dan tidak bukan’. Bentuk idiomatis itu maknanya ‘benar-benar’, ‘hanyalah’, ‘ialah’ (KBBI, 1189). Akan tetapi, bentuk senyawa itu tidak dapat dijelaskan secara linguistik. Saya cenderung mengatakan,  ‘tidak lain dan tidak bukan’ bersifat idiomatis. Bentuk idiomatis memiliki ciri kesenyawaan. Jadi, tidak dapat seenaknya diubah konstruksinya, direduksi bentuknya, dan dipertukarkan bagiannya. Maka, bentuk di atas tidak dapat diganti menjadi ‘tidak bukan dan tidak lain’, tetapi harus bentuk idiomatis ‘tidak lain dan tidak bukan’.
Sejatinya, masih banyak bentuk kebahasaan lain yang dapat menunjukkan bahwa kita gemar abai pada kaidah gramatika. Nah, kalau terhadap lafal bahasa saja kita lalai, terhadap kaidah gramatika pun kita abai, lalu siapa lagi yang bakal merawat bahasa Indonesia dengan benar?  Ini pertanyaan reflektif, yang harus dalam-dalam dipikirkan banyak orang!         

Oleh R.  Kunjana Rahardi
Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya