SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Entah karena musim kering, panen yang tak begitu baik, atau konsumsi yang melonjak, baru-baru ini kita mendapat asupan informasi gencar tentang kelangkaan kedelai di negeri yang katanya “gemah ripah loh jinawi ini, toto tentrem kerto raharjo” ini.

Tak perlu berkerut dahi untuk memahami kalimat bahasa Jawa kuno itu, yang kata ayah saya, yang pernah mengajar bahasa Jawa, artinya bisa lebih disederhanakan: subur makmur damai sejahtera.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Anehnya, kita juga kerap mendengar ledekan Indonesiasebagai bangsa tempe. Buat saya, ledekan itu, meskipun konotasinya sangat negatif karena merujuk kepada mentalitas yang lembek dan cethek alias dangkal; tidak perlu membuat kecil hati apalagi menjadi kerdil.

Satu hal,tempebukan makanan yang rendah gizi, bahkan rasanya pun enak. Terserah saja produser idiom itu membuatnya sebagai bahan ledekan, tetapi buat sayatempeadalah makanan favorit.

Maka, jangan kok kemudian berharap swasembada kedelai. Alih-alih swasembada, kini negeri kecintaan kita ini malah harus rela impor komoditas kacang-kacangan — untuk tidak mengatakan kacangan —  itu.

***

Kelangkaan kedelai, sebagai salah satu bahan pokok berbagai jenis makanan yang populer diIndonesia, terutama tahu dantempe, boleh dikata seperti gejala kemakmuran dan keemasan ekonomi, yang memang terus membaik.

Lho kok bisa? Jangan buru-buru sewot kalau saya berkesimpulan seperti itu. Secara teori, mungkin akan banyak ekonom tertawa. Tetapi, kelangkaan kedelai buat saya merupakan drama yang sejenis dengan kelangkaan infrastruktur.

Mungkin Anda akan bilang: kesimpulan itu ngawur dan ngoyoworo alias ngelantur. Tentu saya bilang tidak. Ketersediaan infrastruktur yang tampak semakin berjarak jauh dengan kebutuhan negeri yang sedang tumbuh kencang ini, suka nggak suka, adalah akibat dari ketidakmampuan pemangku kebijakan dalam mengejar ketertinggalan untuk menyediakannya.

Ibarat salesman perusahaan yang terus dikejar target, aktivitas penjualan bulan ini hanya berguna untuk menutup target yang meleset bulan sebelumnya, atau target tahun lalu yang tak tercapai. Artinya, situasi seperti itu sama saja menggali lubang baru untuk menutup lubang yang sudah ada.

Maka, kalau tidak ada big bang dalam penyediaan infrastruktur, ia akan terus tertinggal oleh kecepatan laju pertumbuhan ekonomi.

Lantas mengapa produsen tahu dantempesampai mogok memprotes harga kedelai yang mahal?

“Kok, kenapa hargatempedan tahu nggak dinaikin saja. Daripada rugi karena mogok?” begitu rekan duduk saya di pesawat Garuda dalam penerbangan dari Solo ke Jakarta Jumat (27/7) malam.

Logis juga sih.Kandaya beli konsumen sudah semakin meningkat.Kankelas menengahIndonesiaterus bertumbuh, bahkan bertambah 7 juta kelas menengah baru saban tahun.

Artinya, kalaupun harga tahu dan tempedinaikkan, mestinya tidak jadi soal. Wong harga mobil yang naik berlipat-liat saban tahun pun nggak pernah disoal!

***

Broker, dalam bahasa keren, biasanya dikonotasikan bagus. Sebutlah broker saham, broker properti, broker valas dan lainnya, yang disebut sebagai pedagang perantara dalam sebuah mekanisme perantara perdagangan.

Meski penjelasan itu agak mbulet, tetapi dalam bahasa orang kebanyakan, broker sebenarnya tak ada bedanya dengan makelar, atau kalau dalam bahasa para peternak sapi di kampung saya: Blantik.

Maka jangan heran jika ada istilah blantik sapi, yang dalam domain elite dipelesetkan menjadi politik dagang sapi lantaran kekuasaan menjadi komoditas yang diperdagangkan.

Harga selangit komoditas kedelai, yang kini membuat banyak orang ribut, barangkali menjadi contoh mekanisme broker, makelar, tengkulak, atau per-blantik-an itu.

Andai saja mekanisme per-makelar-an dalam banyak komoditas pertanian bisa lebih tertib sesuai mekanisme pasar, tentu harga kedelai yang tinggi tidak perlu membuat repot.

Rupanya di situlah muaranya. Dan tidak hanya kedelai, melainkan beras, jagung, kacang tanah, dan banyak komoditas pertanian lainnya mengalami persoalan yang nyaris sama. Petani menangis karena mekanisme “tataniaga” yang tidak jalan sebagaimana mestinya. Jelas ini bukan sekadar pertani tak punya lahan seperti dalih menteri pertanian.

Anda tentu bisa membayangkan, petani kedelai yang sejahtera, karena memiliki lahan subur alias gemah ripah loh jinawi, dan panen kedelainya dibeli konsumen dengan harga yang pantas, bukan dipermainkan oleh tengkulak alias blantik yang justru mendapatkan margin tak terbatas?

Jika petani kedelai sejahtera, maka sudah barang tentu harapan agar mereka mau menanam komoditas tersebut akan lebih tinggi, karena mereka merasa tidak ‘dikadali’.



Dan dengan begitu, solusinya bukan cuma sekadar membuka keran impor seluas-luasnya, menekan bea masuk serendah-rendahnya bahkan nihil, yang justru malah akan menciptakan problem baru yang tak diinginkan di kemudian hari.

Contek sajalah solusi Pegadaian: Menyelesaikan masalah tanpa masalah. Maka membuka keran impor bagi komoditas pertanian yang menjadi hak para petani justru menjadi paradoks baru lainnya: mengatasi masalah dengan mewariskan masalah.

***

Di jaman Pak Harto, Anda yang mengalaminya tentu pernah atau bahkan sering mendengar setiap pertimbangan kebijakan selalu mengusung  klausula tegas: “demi kepentingan nasional.”

Saya kira di situlah pokok permasalahan yang sebenarnya.  Apa yang disebut national interest kini menjadi hampir langka. Banyak sektor bisnis yang kehilangan roh kepentingan nasional atas nama daya pikat investor internasional.

Saking ekstrimnya, pernah seorang teman ekonom mengatakan kalau perlu presiden pun kita impor sekalian! Buat saya, itu adalah pernyataan kalap yang sangat anti-nasionalisme.

Jika sudah begitu, hanya ada dua cara membaca makna pernyataan tersebut. Sisi pertama, mungkin semakin banyak orangIndonesiayang semakin kehilangan jati diri, atau bahkan lupa ke-Indonesia-annya.

Atau sebaliknya, ia adalah bagian dari para blantik global, yang memang menikmati ‘rente sosial’ akibat globalisasi yang semakin mencengkeram anak-anak negeri yang lupa diri. Bagaimana menurut Anda?

Arif Budisusilo

Dewan Redaksi Harian Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya