SOLOPOS.COM - Wakil Pemimpin Redaksi Harian Jogja-Abu Nadhif (JIBI/Harian Jogja/dok)

Angkringan Pakdhe Harjo kali ini ditulis Wakil Pemimpin Redaksi Harian Jogja, Abu Nadhif

Harianjogja.com, JOGJA-Dunia dirgantara Indonesia berduka. Langit nusantara merona hitam. Duka menyeruak dari bumi Medan, Sumatra Utara. Hercules, sang pahlawan udara terjatuh setelah mengudara lebih dari 50 tahun di bumi Indonesia. Hercules adalah simbol keperkasaan. Dan, Hercules pun terbukti berjaya mengelilingi langit nusantara sejak era konfrontasi dengan Malaysia pada 1964 silam.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Namun, Hercules tak kuasa melawan takdir. Usia tuanya diikuti kerapuhan fisik. Hercules C-130 dengan nomor registrasi A-1310 tutup usia bersama 113 penumpang, kru dan belasan warga di lokasi jatuh di Jl. Jamin Ginting Medan, Selasa (30/6) lalu. Ratusan orang menangisi keluarga yang menjadi korban.

Duka Hercules bukan hanya duka keluarga para penumpang dan warga Medan yang menjadi korban. Duka Hercules adalah duka nasional. Untuk kali kelima, pesawat andalan itu membawa duka dengan korban ratusan jiwa. Semua kepala tertunduk, termasuk para aktivis diskusi di Angkringan Pakdhe Harjo tadi malam.

“Kalau sudah takdir Tuhan tidak ada yang bisa menolak,” Pakdhe Harjo berkata pelan. Ia mengaduk sebentar tes manis di gelas yang lantas diserahkannya kepada Nyoto.

Tidak ada yang berkomentar. Semuanya membenarkan ucapan Pakdhe Harjo. Tak seorang pun yang bisa menolak takdir Tuhan. Kehendak Tuhan ini pula yang memunculkan beberapa cerita mengharukan tentang musibah Hercules. Salah satunya keluarga Muryanto, 43, warga Dusun Kalongan RT 002/RW 027, Maguwoharjo, Sleman, DIY yang harus merelakan sang adik, Kopda Saryanto, 38, meninggal dalam musibah itu. Duka itu mengulang 24 tahun silam saat kakak Muryanto, Serda Sudiyono tewas dalam musibah jatuhnya Hercules di Condet, Jakarta Timur pada 1991. Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna mengakui penyebab kecelakaan Hercules di Medan dan Condet sama yakni mesin mati.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Hercules. Pesawat ini adalah yang paling tangguh di dunia saat ini. Sebagaimana dikutip dari wikipedia.com, Hercules adalah sebuah pesawat terbang bermesin empat turboprop sayap tinggi (high wing) yang bertugas sebagai pesawat angkut militer di banyak negara di dunia. Ia mampu mendarat dan lepas landas dari runway yang pendek atau tidak disiapkan sebelumnya.

Terdapat lebih dari 40 model Hercules yang digunakan di lebih dari 50 negara. Hercules C-130 menciptakan rekor bagus untuk keandalan dan daya tahannya, berpartisipasi dalam militer, sipil, dan bantuan kemanusiaan. Awalnya Hercules adalah sebuah pengangkut tentara dan pesawat kargo.  Sekarang ini digunakan untuk berbagai macam peran, termasuk infantri airborne, pengamatan cuaca, pengisian bahan bakar di udara, pemadam kebakaran udara, dan ambulans udara.

Indonesia kali pertama menerima hibah 10 pesawat C-130 dari pemerintah Amerika Serikat pada 1964 sebagai penukar tawanan pilot CIA Allen Pope yang membantu pemberontakan Permesta di Sulawesi pada tahun 1958. Setelah itu pada 1975, Indonesia menerima tiga buah C-130B. Pada 1980-an, untuk meningkatkan kemampuan angkatan udara, Indonesia mendatangkan tiga buah C-130H, tujuh buah C-130HS (long body), 1 C-130 MP (patroli maritim), 1 L-100-30 (untuk keperluan sipil), dan enam L-100-30s yang dioperasikan oleh PT Merpati dan Pelita Air untuk keperluan transmigrasi.

TNI AU juga mengoperasikan dua unit KC-130 (versi air refuelling C-130) untuk keperluan pengisian bahan bakar di udara dan sampai hari ini masih beroperasi.

Sejak menggunakan Hercules pada 1960-an, tercatat pesawat ini celaka sebanyak lima kali. Pertama pada 3 September 1964 ketika Hercules C130B nomor T-1307 yang dipiloti Mayor Djalaludin Tantu hilang kala menyusup ke wilayah udara Malaysia. Seluruh awak dan penumpang dinyatakan gugur dalam tugas.

Musibah kedua terjadi pada 21 November 1985. Ketika itu Hercules C-130 H nomor AI-1322 menabrak Gunung Sibayak, Sumatra Utara dalam rute penerbangan Medan-Padang. Sedikitnya 10 awak pesawat dinyatakan gugur. Jumlah korban tewas terbanyak terjadi saat Hercules C 130H nomor A-1324 dengan pilot Mayor (Pnb) Syamsul Aminullah menabrak gedung Balai Latihan Kerja Condet pada 5 Oktober 1991. Sebanyak 135 orang meninggal dunia.

Sebelum musibah di Medan pada 30 Juni lalu, pada 20 Mei 2009 Hercules juga bernasib apes. Pesawat C130 nomor A 1325 yang dipiloti Mayor (Pnb) Danu Setiawan jatuh di Desa Geplak, Magetan, Jawa Timur. Sedikitnya 101 penumpang dan penduduk desa tewas.

“Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga Muryanto yang kehilangan kakak dan adik dalam musibah Hercules di dua waktu yang berbeda. Tapi itu takdir Tuhan yang mau tidak mau harus kita terima,” Nyoto bertutur.

“Tapi perbincangan ini jangan sekadar tentang takdir, karena itu prerogatif Tuhan. Urusan kita adalah berikhtiar agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi. Caranya adalah memperbaiki peralatan,” suara Yono muncul dari arah belakang. Ia yang baru datang langsung duduk di dingklik panjang Angkringan Pakdhe Harjo.

Ia meraih Harian Jogja di meja angkringan. Matanya tertuju pada headline koran yang bermarkas di Jl. A.M. Sangaji, Jetis, Jogja itu. Judulnya Masih Ada 22 Hercules Tua.
“Permasalahan alutsista [alat utama sistem pertahanan] selalu menjadi komoditas politik dari tahun ke tahun. Pemerintah dan DPR menjanjikan segera membenahi sistem pertahanan kita tapi hanya sebatas wacana, tidak ada buktinya,” katanya kemudian.

Pascamusibah Hercules, Presiden Joko Widodo memang menginstruksikan kepada TNI untuk memperbaiki manajemen alutsista. Menurut Presiden industri pertahanan harus terlibat mulai dari rancang bangun, produksi, operasional, pemeliharaan hingga pemusnahan alutsista yang tidak layak. Jokowi juga meminta TNI tidak lagi memberi pesawat bekas.

“Jokowi harus mengawal perintahnya itu. Tugas pemerintah adalah menyiapkan anggaran dan TNI mengeksekusinya. Pengawasan harus dilakukan secara ketat agar tidak ada kebocoran anggaran lalu alat yang dibeli benar-benar baru. Bukan barang bekas yang onderdilnya dicomot sana-sini,” Nyoto turut berkomentar.

Menurutnya, banyak pejabat kita yang terkena penyakit latah. Jika saat ini info terbaru adalah soal pesawat tua yang jatuh mereka ramai-ramai menyuarakan agar jangan lagi beli pesawat bekas. Tapi setelah lama mereka akan diam dan baru kembali berkomentar serupa jika ada musibah lagi.
Contohnya adalah pada momentum uji kompetensi calon Panglima TNI di DPR, Kepala Staf TNI AD, Jenderal Gatot Nurmantyo, beberapa hari lalu. Kandidat pengganti Jenderal Moeldoko itu dicecar para wakil rakyat tentang sistem pertahanan nasional. Gatot pun menjawab normatif bahwa idealnya penambahan peralatan dengan membeli baru bukan barang bekas dari sistem hibah.

“Calon-calon panglima sebelumnya pun jawabannya sama. Tapi masalahnya, ini harusnya menjadi policy pemerintah. Jangan hanya menjadi wacana tapi tidak pernah diterapkan,” sela Yono.

Yono menyebut, permasalahan utama Indonesia saat ini bukan pada sumber daya manusia tapi pada peralatan. Banyak peralatan pertahanan baik di TNI AD, TNI AL maupun di TNI AU yang berumur tua. Kalah canggih dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

“Benar itu, contohnya adalah keluhan dari Menteri Perikanan Susi Pujiastuti ketika aparat mengejar pencuri ikan di laut kita. Kapal-kapal yang dikejar larinya lebih kencang dibandingkan kapal patroli milik TNI AL, ya karena memang kapal-kapal kita berusia tua sedangkan para pencurinya melengkapi diri dengan kapal-kapal baru. Ini belum kalau kita dihadapkan dengan sesama militer dari negara tetangga, peralatan kita jauh tertinggal,” sambung Pakdhe Harjo.

“Tapi ada yang membanggakan, Pakdhe. Tentara-tentara kita sebenarnya tidak kalah tangguh dari tentara di negara maju seperti Australia dan Amerika Serikat. Bahkan kita lebih unggul. Misalnya saja siaran Discovery Channel yang menyebut kemampuan Kopassus berada di peringkat ke-3 di dunia setelah SAS (Inggris) dan MOSSAD (Israel). Dalam lomba menembak Australian Army Skill at Arms Meeting yang digelar pada pertengahan Mei lalu, juaranya juga tentara kita. Amerika hanya menjadi juara ketiga,” Yono menyela.

“Itulah, yang dibutuhkan sekarang adalah kebijakan politik dari pemerintah untuk secara serius memperbaiki alutsista. Jangan lagi membeli pesawat bekas karena selain biaya perawatan mahal juga membahayakan pilot dan penumpang. Kasihan jika kader-kader terbaik kita mati sia-sia akibat pesawat yang jatuh karena usia tua. Pemerintah dan DPR harus menjadikan peremajaan alutsista ini sebagai prioritas, karena ini tentang harga diri bangsa. Jangan hanya untuk urusan dana aspirasi atau dana bantuan parpol saja mereka bersemangat,” kata Pakdhe Harjo yang mengakhiri perbincangan. Jam menunjukkan pukul 24.00 WIB, saatnya angkringan ditutup.



 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya