SOLOPOS.COM - Foto Ilustrasi JIBI/Harian Jogja/Hengky Irawan

Angkringan Pakdhe Harjo kali ini ditulis Pemimpin Redaksi Harian Jogja, Anton Wahyu Prihartono

Harianjogja.com, JOGJA-Lik Jon tampak duduk santai di kursi angkringan miliknya. Maklum, setelah Magrib banyak sekali pelanggan angkringan yang mampir makan sega oseng teri yang jadi makanan khas angkringan miliknya. Es batu yang ada di termos juga sudah habis. Padahal, dia baru buka angkringan belum genap tiga jam. Namun, makanan yang lain masih menumpuk di meja angkringan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kipas yang biasanya untuk memanaskan perapian kini beralih dikipaskan ke arah dada. Beberapa kancing baju batik Lik Jon pun sengaja dibuka. Biar lebih isis maksudnya. Dua pelanggannya yang sejak tadi duduk didepannya pun tak banyak disapa.

Matanya menerawang jauh ke depan. Dia galau tahun depan tidak bisa mengangsur kredit sepeda motornya. Belum lagi tahun depan anaknya akan masuk SMP yang tentu saja membutuhkan biaya yang besar. Istrinya yang hanya buruh pabrik tak mampu berbuat banyak. Usaha jualan makanan di angkringan juga sedikit menurun alias lesu. Selesu ekonomi di Tanah Air.

Dua sahabat Lik Jon masih asyik menikmati makanan. Karyo asyik menikmati tiga bungkus sega oseng teri plus dua tempe bacem dan tiga tusuk sate usus. Sementara, Pak Dhe Harjo juga sibuk menikmati kacang godhok dan jadah bakar kesukaannya dan teh panas yang tentu saja tidak terlalu manis.

“Minta es teh Jon,” ujar Karyo sambil mengunyah tempe bacem. Si pemilik angkringan tak menjawab pesanan Karyo. “Es teh Jon!,” ujar Karyo dengan agak keras.

Lik Jon sedikit tergagap. Lamunannya dibuyarkan oleh suara agak serak yang keluar dari mulut laki-laki berbadan gelap dan sedikit pendek itu. Owner angkringan itu pun dengan cekatan menuangkan air panas ke gelas dan mencampurnya dengan gula dan kopi. Tanpa banyak kata-kata, kopi panas telah tersaji di depan meja Karyo.

“Es teh Jon! Bukan kopi!,” ujar Karyo agak keras.

Lik Jon hanya nyengir. Tidak biasanya bujang lapuk itu pesan es teh. Kopi sedikit kental selalu dipesan laki-laki yang bekerja jadi pengawas pembangunan gedung alias mandor ketika nongkrong di angkringan. “Biasanya kopi to Mas. Lagian, es nya juga habis,” jawab Lik Jon singkat.

Pak Dhe Harjo hanya tersenyum tipis. Namun, dari tadi pensiunan guru tersebut memperhatikan sikap Lik Jon yang banyak melamun sambil ngipas-ngipas. Namun, dia enggan bertanya kepada tetangganya itu. Namun, justru Karyo lah yang menyeletuk. “Ngapa Jon. Kok sajak gelisah. Ana masalah?” tanya Karyo setelah nyruput kopinya.
Lik Jon hanya tersenyum tipis. Pikirannya masih tertuju pada angka-angka upah minimum kabupaten (UMK) yang beberapa hari lalu dimuat di koran paling top di Jogja, Harian Jogja. Upah istrinya tahun depan hanya mundhak tak lebih dari Rp150.000. “Urip kok semakin rekasa ya Pak Dhe,” ujar Lik Jon bertanya kepada Pak Dhe Harjo.

Lik Jon pun mulai curhat tentang omzet angkringan yang sejak beberapa bulan terakhir mulai menurun. Jumlah orang yang datang ke angkringannya memang tidak berkurang, namun mereka hanya sekadar minum plus memesan beberapa nyamikan. Sejumlah makanan yang dititipkan pun terkadang masih banyak tersisa. Otomatis, keuntungannya pun berkurang.

Sementara, istrinya yang seorang buruh pabrik tekstil upahnya juga tak bisa diharapkan. “UMK 2016 naiknya cuma sedikit. Jualan angkringan juga semakin sulit. Lalu bagaimana saya harus menutup kredit?” keluh Lik Jon kepada Karyo dan Pak Dhe Harjo.

Karyo pun spontan langsung bereaksi. “Ah sami mawon Jon,” sahut Karyo.

Karyo yang kini masih tinggal bersama ibunya itu bercerita makin sulitnya bekerja di proyek pembangunan gedung. Dia menceritakan beberapa temannya sudah tidak dipakai oleh juragannya dengan alasan efisiensi. Bahkan, kata Karyo, gaji yang diterima dua bulan terakhir sudah tidak sesuai jadwal alias molor seminggu. “Kondisi ekonomi kita sedang pahit. Pekerjaan juga makin sulit. Kalau saya kena PHK, wetengku bisa melilit,” ungkap Karyo.

Pak Dhe Harjo hanya diam mendengarkan omongan dua koleganya itu. Dalam hati, dia bisa merasakan kesusahan yang dihadapi mereka. Gelombang PHK akhir-akhir ini terjadi di mana-mana. Upah buruh yang tidak sesuai harapan buruh juga menambah penderitaan mereka.

“Kalau Pak Dhe enak! Ongkang-ongkang saja sudah ditransfer tiap bulan,” ujar Karyo.
“Maksudnya piye,” tanya Pak Dhe.
Karyo pun protes dan kemudian membandingkan bahwa pemerintah lebih memperhatikan para pegawai negeri ketimbang rakyat kecil. Terlebih lagi pada 2016 mendatang bakal mendapat 14 kali gaji. “Pemerintah sekarang benar-benar memanjakan abdi negara. Gaji mundhak terus, padahal kinerja belum tentu naik. Kita yang rakyat kecil cuma buruh bangunan semakin terjepit,” keluh Karyo kepada Pak Dhe.
“Iya. Rakyat seperti kita-kita ini semakin susah hidupnya,” ujar Lik Jon gantian mengeluh.
“Hmmmm…,” guman Pak Dhe sembari menggeleng-geleng kepala.
“Ya kita akan semakin hidup miskin. Bisa-bisa kita nanti masak batu seperti yang di Cianjur itu,” imbuh Karyo mengeluh lagi. Malam itu, keduanya kompak berjamaah mengeluh kepada Pak Dhe Harjo.
“Stop!,” ujar Pak Dhe Harjo.

Pensiunan guru tersebut meminta kepada dua orang di depannya untuk menghentikan keluhannya. Dia meminta agar tetap bekerja keras penuh semangat. Dia yakin, barang siapa yang berusaha sungguh-sungguh, maka akan menuai hasilnya. Pak Dhe Harjo juga bercerita pemerintah juga sudah berupaya keras untuk mensejahterakan rakyatnya. Pemerintah juga telah berupaya sungguh-sungguh keluar dari kondisi ekonomi global yang sedang sulit ini.

“Kondisi ekonomi memang sedang sulit. Namun, kalau kita cuma mengeluh, maka itu juga tidak akan membawa pengaruh. Mengeluh hanya ciri-ciri orang yang tidak mau berpeluh. Makanya, di tengah kondisi ekonomi yang seperti sekarang ini, kita harus bekerja keras. Hasilnya, kita pasrahkan kepada Yang Di Atas,” ujar Pak Dhe sembari telunjuknya mengarah ke atas.

Kedua makhluk hidup di depan Pak Dhe Harjo hanya terdiam. Keduanya seolah-olah mendapat khutbah Jumat dari khatib. Mulut Karyo dan Lik Jon tak lagi mengeluarkan kalimat keluhan. “Wis bengi. Kabeh pira dietung? Karyo sisan. Jujule ora usah Jon,” ujar Pak Dhe menyerahkan uang limapuluh ribuan kepada Lik Jon.

“Alhamdulillah. Rejeki takkan ke mana,” sahut Lik Jon dan Karyo bersamaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya