SOLOPOS.COM - Wakil Pemimpin Redaksi Harian Jogja-Abu Nadhif (JIBI/Harian Jogja/dok)

Angkringan Pakde Harjo kali ini ditulis wartawan Harian Jogja, Abu Nadhif.

Harianjogja.com, JOGJA-“Kalau kalian pemain yang tidak terkenal, kalian tidak akan diperhatikan. Kalau kalian pemain hebat, kalian terancam. Benar-benar tidak ada pilihan.”

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Noyo berkata dengan intonasi keras. Lebatnya hujan disertai gelegar guntur membuat suara keras Noyo seolah terkubur. Ia menaikkan intonasinya.

“Di Indonesia ini, jika kita sudah menjadi pemain terkenal segera kita menjadi bahan taruhan.” Kali ini Noyo setengah berteriak yang membuat pengunjung Angkringan Pakdhe Harjo saling pandang.

Pembicaraan sore itu tentang sepak bola, olahraga terpopuler di dunia. Sebagaimana di Brasil dan Argentina, di Indonesia sepak bola sangat digilai. Karenanya, perbincangan di angkringan begitu gayeng. Temanya tentang kisruh PSSI versus Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), dihentikannya Liga Indonesia hingga terpilihnya La Nyalla Matalitti sebagai Ketua Umum PSSI dalam Kongres Luar Biasa di Surabaya, kemarin.

“Sepertinya itu bukan omonganmu sendiri, Yo,” Suto menimpali omongan sahabatnya. Hujan mulai reda. Tidak perlu berteriak lagi untuk berbicara.

“Maksudmu aku edan?” Noyo mendelik.

“Bukan, jangan marah dulu ta. Maksudku kayaknya kamu mengutip omongan seseorang. Biasanya kalau omonganmu sendiri tidak sedalam itu.” Suto tak bisa menahan tawanya.

Sontoloyo! Noyo mengutuk dalam hati. Tapi memang benar. Yang dia ucapkan itu bukan murni dari pikirannya. Noyo mengutip pernyataan budayawan yang juga penggila bola, Emha Ainun Najib, yang ia saksikan di media berbagi, Youtube.

Dalam salah satu kutbahnya, Cak Nun—nama tenar Emha Ainun Najib—mengatakan pemain sepak bola di Indonesia serba salah. Saat belum dikenal publik, walaupun sebaik apapun skill yang dimiliki, mereka tidak akan diperhatikan federasi sepak bola. Tapi jika sudah terkenal, segera ia akan menjadi bahan taruhan. Karenanya tidak aneh, pemain terkenal langsung layu setelah menjadi idola. Contohnya sangat banyak, di antaranya Irfan Bachdim, Boas Solossa dan Andik Vermansyah.

“Iya To, itu omongan Cak Nun.” Noyo akhirnya mengaku.

“Tapi benar seperti itu kan? Indonesia ini sepertinya bukan tempat yang baik untuk para pemain-pemain sepak bola kita yang multitalenta. Lebih baik mereka bermain di luar negeri,” sambungnya.

“Iya aku setuju. Aku tidak yakin negara kita akan bisa maju kalau pengurus PSSI-nya masih yang itu-itu saja. Mafia sepak bola masih mencengkeram. Apalagi dengan ketua umumnya yang baru terpilih ini. Siapa yang percaya ke dia? Sejak dulu dia menjadi bagian dari kekisruhan sepak bola Indonesia,” Noyo menambahi.

“Padahal di negara lain sepak bola benar-benar menjadi industri yang menghibur. Penonton senang, pemain gembira, klub kaya. Masyarakat ikut senang karena roda ekonomi berjalan. Semuanya tertata dengan baik. Tidak seperti di negara kita, semuanya amburadul. Pemainnya telat gaji, pengurusnya berantem, penontonnya selalu rusuh. Masyarakat resah karena sering bentrok dengan suporter yang melintas. Di Indonesia sepak bola malah menjadi horor,” Naryo yang baru datang ikut menimpali.

“Itu karena sepak bola kita masih dikuasai mafia,” sahut Noyo.

“Makanya saya setuju dengan pemerintah. PSSI dibekukan saja. PSSI dibersihkan dari pengaruh politik. Pengurusnya jangan orang-orang parpol. PSSI harus benar-benar difungsikan sebagai organisasi sepak bola yang berlandaskan fair play. PSSI jangan jadi tempat mencari uang dan kekuasaan,” Pakdhe Harjo yang sedari tadi diam ikut urun rembug.

Sepak bola Indonesia memang berada di titik nadir. Penuh masalah, minim prestasi. Reformasi yang digaungkan sebagian penggila bola beberapa tahun lalu gagal total. Struktur federasi sepak bola masih dikuasai orang yang itu-itu saja.

Satu-satunya kebanggaan terjadi dua tahun lalu saat Timnas U19 tampil sebagai juara Asia Tenggara. Nama Evan Dimas dkk. melambung kala memenangi Piala AFF di Sidoarjo, Jawa Timur. Harapan kian menjulang setelah beberapa pekan kemudian mereka memecundangi Korea Selatan 3-2 dan memastikan lolos ke final Piala Asia.

Kemenangan atas Korsel terasa luar biasa. Sebab di level senior, Negeri Ginseng itu adalah langganan Piala Dunia dan tidak pernah absen sejak 1986. Pemain-pemain mereka bertebaran di klub-klub papan atas Eropa. Di level yunior, Timnas U23 mereka juga sukses merebut perunggu pada Olimpiade 2012. Sedangkan Timnas U19-nya yang dikalahkan Evan Dimas dkk. adalah juara bertahan Piala AFC sekaligus peraih gelar terbanyak, 12 kali.

Karenanya, kemenangan atas Korsel seolah melemparkan Evan Dimas dkk. ke angkasa. Dalam sekejab penggawa U19 menjadi idola. Dan seperti senior-senior mereka sebelumnya, mereka pun laris menjadi “barang dagangan”. Anak asuh Indra Sjafrie dibawa keliling Tanah Air dan diadu dengan tim-tim lokal. Stadion penuh penonton. Uang berlimpah mengalir ke tangan orang yang itu-itu lagi.
Para pemain yang didapat dari blusukan Indra Sjafrie tersebut juga dibawa tur ke Timur Tengah. Total tidak kurang 25 pertandingan uji coba dilangsungkan. Apa yang terjadi kemudian? Timnas U19 lesu darah di ajang sesungguhnya, Piala Asia, dan gagal melaju ke babak selanjutnya. Indonesia gagal maning gagal maning.

“Sepak bola harus dikelola sebagai industri. Kepentingan politik harus dibuang jauh-jauh. Pengelolanya harus dari pihak profesional. Jika tidak, kita akan begini-begini saja,” ujar Naryo.
Naryo yang rajin membaca koran memaparkan perkembangan sepak bola di negara tetangga. Di Thailand, katanya, kompetisi Thai Premier League sudah sangat maju. Hampir semua klub sehat secara finansial. Bahkan beberapa klub mampu membangun stadion sendiri.

Musuh bebuyutan Indonesia, Malaysia pun tak kalah mengagumkan. Pada 2015 ini Football Association Malaysia (FAM) menjalin kerja sama dengan perusahaan media internasional, M & P Silva’s, hingga 2020 dengan kucuran dana Rp250 miliar. Dengan dana itu, FAM bisa menyubsidi peserta Liga Super Malaysia senilai Rp5 miliar per klub. Sebuah angka yang sangat fantastis.
Meski belum seglamor klub-klub Eropa, pengelolaan sepak bola di dua negara tetangga itu sudah sangat menjanjikan. Bandingkan dengan Indonesia. Jangankan membangun stadion, untuk bisa mengarungi kompetisi saja klub masih megap-megap setiap musim. Klub mengutang ke pemain dan pelatih setiap tahun.

Ironisnya, PSSI begitu gampang mengampuni klub, apalagi jika tim tersebut berbasis suporter besar. Contohnya adalah Arema Cronus dan Persebaya yang diloloskan ke Qatar National Bank (QNB)—dulu Indonesia Super League–kendati masih bermasalah secara internal.

“Mafia itu ibarat kentut. Tidak bisa dilihat atau ditangkap tapi baunya sangat menyengat. Kita belum bisa menangkap tangan mafianya, tapi gerakan mereka bisa kita rasakan,” Naryo menutup paparannya.



“Iya, pemerintah memang harus turun tangan. Tidak masalah kalau kita dihukum FIFA. Seperti Brunei Darussalam dulu, mereka dihukum FIFA karena pemerintah campur tangan di sepak bola. Tapi setelah hukuman selesai mereka bangkit lagi dengan sesuatu yang baru. Kita pun perlu begitu,” sahut Noyo.

Itulah obrolan wong cilik di Angkringan Pakdhe Harjo sore itu. Sangat terasa harapan besar mereka agar sepak bola Indonesia mendunia. Tapi jelas obrolan mereka tak terdengar ke telinga pengurus federasi. Yang pasti, saat hujan reda mereka segera bubar dan kembali ke dunia nyata. Kerja…kerja…kerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya