SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bagi Pakdhe Harjo, berita kenaikan harga kebutuhan pokok pada bulan puasa dan Lebaran seperti kaset kusut yang diputar ulang. Bukannya tidak suka dengan kedatangan Ramadan, tetapi juragan angkringan itu jengkel dengan ulah para tengkulak, juga kelakuan orang memborong bahan makanan.

“Bukannya puasa itu mestinya orang mengurangi makan? Dari tiga hari sekali menjadi dua kali? Tapi kenapa justru permintaan beras melonjak, ayam, telur, bahkan gula juga begitu,” Pakdhe Harjo mulai membuka forum dengan Lik No, keponakan sekaligus asisten pribadinya yang sangat setia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

”Halah, Pakdhe ini kog berlagak bodho. Gak tahu apa jika puasa, nafsu makan itu hanya ditahan siang hari, malam hari bebas. Bulan puasa itu juga masa-masa kemrungsung, di mana para tengkulak sedang nyari untung, buat bekal Lebaran. Mudik di kampung halaman,” sahut Lik No, mulai sok pinter.

”Ya itu yang bikin jengkel. Tapi tetap saja rakyat banyak yang jadi korban, duitnya jadi tidak berarti. Kalo dua bulan lalu Rp40.000 bisa untuk dua ekor ayam, sekarang cuma  bisa beli satu. Sebagai pemilik angkringan, jelas saya ini korban. Modalku jadi morat-marit, lalu apa tega naikin harga untuk orang-orang yang buka puasa?” kata Pakdhe Harjo sengit.

Ekspedisi Mudik 2024

Lik No hanya terdiam. Pakdhenya benar 100%. Kali ini dia tidak hendak mendebat dan nambah jengkel sang juragan. Namun, dia tetap tak habis pikir, mengapa rakyat banyak yang selalu jadi korban.

Semula, sebagai warga awam, dia berharap pemerintah yang turun tangan. Caranya terserah, turun ke lapangan dan merumuskan cara efektif pengendalian harga. Bisa juga mengambil cara ekstrem dengan mengambil tindakan tegas para tengkulak yang suka memainkan harga pada setiap kali Ramadan.

Ngarep pemerintah bertindak efektif? Kalo aku sudah bosen. Bosen liat sidak-sidak pejabat yang disiarin TV. Mosok pejabat kog tampak sama tak berdayanya dengan rakyat. Lha sing ngatur negoro iki njuk sopo?” Pakdhe Harjo membuyarkan lamunan Lik No.

”Ya gini Pakdhe, mbok jangan negative thinking terus. Siapa tahu para bupati, walikota, gubernur hingga menteri perdagangan itu sedang menyiapkan jurus pamungkas, agar para tengkulak kapok dan bisa membujuk rakyat agar mengurangi makan beras.”

E…e omonganmu sing terakhir wis koyo menteri. Ngurangi makan beras biar harga turun. Kuwi kethoke bener sekilas tapi sesat pikir!”

”Sesat pikir gimana,” Lik No terkaget-kaget dengan istilah terbaru yang baru sekali didengarnya dari Pakdhenya.

”Itu sesat pikir sebagai menteri yang maunya tinggal enak saja. Lha terus sebagai menteri dan pejabat dia ngapain? Imbauan boleh saja tapi juga harus dengan aksi nyata, misalnya bikin aturan yang membuat tengkulak dan pedagang tak semaunya sendiri. Cara selanjutnya, ya biar dipikirin sendiri wong dia yang dibayar negara.”

“Wah, jangan terus nesu gitu Pakdhe. Ini bulan puasa lho. Mending kita siapin saja masakan buat angkringan kita nanti sore. Biar pelangan nggak gelo, kita masak seenak-enaknya. Mereka seneng, lalu harga kita naikin dikit.”

Pakdhe Harjo terdiam, naikin harga? ”Ojo sakepenakmu dewe mundhakke rego  kowe Yon. Jelek-jelek gini Pakdhemu ini punya jiwa sosial tinggi, tak akan biarkan pelanggan kecewa. Aku gak popo, untung sedikit, itung-itung ikut meringankan beban rakyat, paling tidak rakyat yang mampir di warung angkringanku.”

”Itu baru Pakdhe Harjo, Sang Sosialis sejati.” Lik No beranjak sambil meniup tungku untuk membesarkan api.

Hery Trianto

Wartawan Harian Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya