SOLOPOS.COM - Foto Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/May)

Foto Ilustrasi (JIBI/Harian Jogja/May)

Harianjogja.com– “Merdeka Mbah!….Merdeka Mas Bro!” teriak Mas Tejo saat datang di gardu kampung Jumat malam.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Mbah Mul yang duduk di pojok gardu hanya diam saja. Dengan peci kebanggaan dan baju safari sisa-sisa saat menjadi PNS, dia hanya manggut-manggut.

Om Bambang juga tersenyum dengan ulah Mas Tejo yang antusias dalam menyambut perayaan Kemerdekaan RI. Mas Basuki pun tampak sibuk di angkringan samping gardu dan memilih menyiapkan teh manis untuk Mbah Mul dan Om Bambang.

“Panjenengan semua itu pada kenapa ta? Bangsa kita ini sedang merayakan HUT Kemerdekaan RI. Jadi harus semangat seperti para pahlawan itu lho. Mana jiwa nasionalimenya,” kata Mas Tejo mempertanyakan.

Om Bambang hanya diam saja sambil nyruput teh yang disajikan Mas Karyo. “Kita ini belum merdeka mas…Kita masih dijajah,” ungkap Mbah Mul lirih.

Mas Tejo pun langsung tertawa lebar. “Kok bisa Mbah. Apa Mbah Mul lupa pelajaran sejarah. Kita ini sudah 68 tahun merdeka. Mbah Mul ini memang harus diperiksakan ke dokter biar daya ingatnya tajam kembali. Iya ta Om Bambang?” kata Mas Tejo.

Om Bambang pun hanya mesem. “Mbah Mul benar Mas Tejo,” ungkap Om Bambang lirih.

“Wah-wah…ternyata panjenengan juga ikut-ikutan sakit Om Bambang. Jangan menambah bingung kita yang muda-muda ini ta Om,” tegas Mas Tejo.

Mbah Mul yang semula hanya manggut-manggut kemudian angkat bicara. “Benar, Belanda atau Jepang sudah tidak ada di Indonesia. Ini penjajahan gaya baru. Bangsa ini sekarang sedang dijajah oleh orang kita sendiri. Paham enggak kamu Mas Tejo?” ungkap Mbah Mul menjelaskan.

Mas Tejo pun makin bingung. “Maksud Mbah Mul apa ta?” tanya Mas Tejo.

“Oalah. Mas Tejo-Mas Tejo. Kalau jadi ketua karang taruna itu mbok yang gaul. Baca koran atau lihat berita di televisi. Kita ini dijajah oleh koruptor. Pelaku, aktor intelektual atau sutradaranya adalah orang-orang kita sendiri.

Tengok saja, Indonesia ini sudah merdeka 68 tahun lalu, tapi korupsi justru merajalela. Banyak tokoh seperti bupati, gubernur bahkan menteri yang sudah dijebloskan ke penjara. Kabarnya banyak wakil rakyat di Senayan sana yang juga ikut ditahan karena korupsi. Penjara sudah tidak membuat takut para koruptor.
Malah aksi koruptor makin menjadi-jadi. Memang benar-benar bangsa ini sarang maling,” ungkap Mbah Mul geram.

Mbah Mul kemudian menceritakan berita paling gres soal penangkapan tersangka suap yang juga Kepala SKK Migas beberapa hari lalu. Pejabat SKK Migas tersebut tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tak tanggung-tanggung, uang yang disita KPK mencapai Rp10 miliar. “Bayangkan Mas Tejo, sepuluh miliar. Mas Tejo pernah lihat uang sepuluh miliar rupiah? Benar-benar negeri pencoleng,” kata Mbah Mul sambil gedhek-gedhek.

Mas Busuki tampak khusyuk mendengarkan khutbah singkat Mbah Mul. Sebagai wong cilik dia pun tampak murka melihat Bumi Pertiwi yang diinjak-injak oleh koruptor.

“Soekarno, Hatta atau Bung Tomo akan menangis jika melihat bangsa ini dikuasai berandalan koruptor pengkhianat kemerdekaan. Kalau gitu kita kibarkan bendera setengah tiang saja Mbah,” tegas Mas Basuki.

***
Korupsi atau rasuah yang dalam bahasa latin corruptio berasal dari kata kerja corrumpere yang berarti rusak, busuk, memutarbalikkan dan menyogok. Menurut Kamus Hukum (2002), korupsi dimaknai sebagai tindakan penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Dari kaca mata hukum, tindak pidana korupsi memenuhi beberapa unsur di antaranya perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan maupun kesempatan, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, memberi atau menerima hadiah atau penyuapan.

Bila kita menengok ke belakang, budaya korupsi sebenarnya telah terjadi pada masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram. Pada zaman itu, abdi dalem atau petugas penarik upeti juga melakukan keculasan dengan mengambil sebagian upeti atau pajak yang dipungut dari rakyat sebelum diserahkan kepada demang. Demang juga sedikit mengambil upeti itu sebelum menyerahkan kepada tumenggung. Demikian pula dengan tumenggung. Tumenggung juga mengambil “jatah” sebelum menyerahkan hasil pajak itu kepada raja.

Perilaku ini juga terjadi pada masa kolonial. Kebiasaan menarik upeti juga terjadi pada masa ini yang kemudian menimbulkan pemberontakan-pemberontakan atas penindasan terhadap pribumi. Pasca-Indonesia merdeka pun warisan korupsi masih terjadi. Pada Orde Lama pun juga dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi yang dipimpin oleh AH Nasution. Gelora melawan korupsi terus terjadi pada 1963. Nasution melalui Kepres diminta untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi sampai ke meja pengadilan.

Budaya korupsi tak kalah hebat saat masa Orde Baru. Pada awal Orde Baru sempat dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi. Namun tetap saja, “tikus-tikus” tetap merajalela. Beberapa lembaga seperti Bulog, Pertamina, dan beberapa kementerian diduga menjadi bandit-bandit yang menggarong uang negara.

Orde Baru tumbang berganti Orde Reformasi. Korupsi bukannya hilang di era ini, tapi sebaliknya malah menjadi-jadi. Padahal orde ini diberi “wasiat reformasi” yakni untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan yang bersih dari korupi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Garong-garong berdasi semakin liar. Mereka seolah berpesta di tengah lembeknya penegakan hukum. Uang ratusan triliun rupiah dijarah pencoleng kelas kakap. Aparat hukum pun dengan mudah dikecoh. Dengan dalih berobat ke luar negeri, bandit-bandit tersebut bisa melenggang bebas dan akhirnya bisa menikmati harta hasil jarahan di luar negeri.



Hukum seolah bisa mereka beli. Pemberian SP3 kepada konglomerat hitam penjarah uang negara dan lolosnya dari jeratan eksekusi putusan MA semakin menunjukkan bahwa pemerintah dan juga penegak hukum kurang serius dalam memberantas korupsi. Padahal nyata-nyata, bangsa ini bangkrut akibat bandit-bandit koruptor itu.

Pada 2003 dibentuklah KPK, lembaga yang secara khusus menangani korupsi. Namun, apa daya, korupsi seolah sudah menjadi budaya negeri ini. Mulai lurah, camat, bupati, gubernur, menteri maupun wakil rakyat baik DPRD maupun DPR banyak yang tersandung korupsi. Bahkan korupsi dilakukan secara berjamaah dan tentu saja dengan modus yang canggih nan ciamik.

Memang, banyak koruptor yang sudah dijebloskan ke jeruji besi. Namun tetap saja perilaku korup masih saja terjadi. Dan di usia Republik yang ke-68 inilah, semangat pemberantasan korupsi harus digali kembali. Jangan beri ruang para bandit-bandit korup manari-nari. Jangan beri celah para pencoleng uang negara melakukan tipu daya. Sudah waktunya, bangsa ini merdeka dari penjajahan yang bernama korupsi dan memperoleh kemerdekaan yang hakiki. Dirgahayu Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya